Selasa 21 Apr 2020 09:41 WIB

Dokter Nisa Merawat PDP dan OPD Corona yang Rutin Naik KRL

Selain lelah fisik, Nisaul Izzati juga merasakan lelah psikis gara-gara corona.

Rep: Antara/ Red: Erik Purnama Putra
Dokter merawat pasien Covid-19 (ilustrasi).
Foto: republika
Dokter merawat pasien Covid-19 (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Malam itu sejumlah pengguna KRL komuter dibuat khawatir atas permintaan sejumlah kepala daerah penyangga Ibu Kota Jakarta untuk menghentikan operasional kerea pada 18 April 2020. Seorang pengguna KRL aktif, Nisaul Izzati (27 tahun), duduk menunggu kereta terakhir tujuan Jakarta Kota di selasar teras mushala di Stasiun Manggarai, Jakarta, Jumat (17/4) malam WIB, sambil mengutak-atik aplikasi transportasi daring dari layar ponselnya. Nisa, panggilan akrabnya, adalah pengguna kereta aktif yang berprofesi sebagai dokter umum di unit gawat darurat (UGD) salah satu rumah sakit umum milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta di wilayah Sawah Besar, Jakarta Pusat. Kala itu ia mendapat giliran dinas malam.

Walau tidak menjadi rumah sakit rujukan, rumah sakit tempat Nisa bekerja juga merawat pasien Covid-19 dengan status orang dalam pengawasan (ODP) dan pasien dalam pemantauan (PDP) sejak pandemi merebak di Jakarta. Satu tahun sudah ia bekerja di rumah sakit. Hari-hari yang dilaluinya tidak sesantai dahulu lagi sebelum Covid-19 melanda Ibu Kota. Nisa masih bisa pulang-pergi Bekasi-Jakarta menggunakan kereta setiap hari dengan happy walau pekerjaan dan perjalanan melelahkan tubuh mudanya.

Namun, kini rutinitas yang dilalui dokter milenial itu lelahnya menjadi berkali-kali lipat dari biasanya. Selain lelah fisik, lelah psikis juga dirasakannya gara-gara corona.

Virus Covid-19 telah mengubah semua yang ada, mulai dari jadwal kereta hingga sikap orang-orang yang dijumpainya, termasuk tetangga yang mengetahui pekerjaannya. Sejak pulang dari umroh pada Januari 2020, kekhawatiran Nisa tentang Covid-19 menjadi nyata. Awal Maret 2020, Indonesia mengonfirmasi kasus pertama corona. Angkanya terus bertambah dari dua menjadi ribuan jiwa kini.

Korban tidak hanya menyerang masyarakat umum, tetapi juga kalangan tenaga kesehatan. Tak sedikit dokter dan perawat yang gugur setelah berjuang di garis depan melawan virus SARs-CoV-2 itu.

Nisa harus pandai-pandai merawat diri. Jangan sampai lelah fisik dan psikis yang dirasakan menguras imunitasnya. Dokter lulusan Universitas Trisakti itu merasa permintaan penyetopan operasional KRL kurang tepat karena masih banyak tenaga medis yang mengandalkan transportasi umum untuk berangkat kerja.

Mereka tidak bisa di rumah saja karena pekerjaan sebagai tenaga medis menuntut mereka tetap berada di garis depan peperangan global melawan pandemi Covid-19. Nisa dan rekan-rekanya pengguna setia transportasi umum sempat mengatur strategi agar tetap bisa pulang-pergi; mulai dari rencana bawa kendaraan sendiri, tetapi khawatir lelah di jalan.

Terpikir untuk naik kendaraan bersama, tetapi urung karena aturan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang sudah diterapkan di wilayah Jabodetabek. "Tadinya mau nebeng saja, tapi kan sudah tidak bisa. Kalau naik mobil, dibatasi. Apalagi, naik motor harus satu alamat KTP," kata Nisa. Satu-satunya jalan keluar dari kesulitan mendapatkan transportasi umum, Nisa harus mengandalkan orang tua untuk mengantarnya pulang-pergi jika kereta benar-benar berhenti guna mencegah pandemi.

Ada alasan mengapa Nisa tidak mendaftar diri untuk mendapatkan fasilitas penginapan yang disediakan oleh Pemprov DKI bagi tenaga medis yang menangani Covid-19. Selain karena terbatasnya jumlah fasilitas tersebut, Nisa melepas kesempatan untuk bisa fokus dan aman selama menjalani tugas melayani pasien karena mempertimbangkan kedua orang tuanya.

Baginya, kedua orang tua adalah obat dari segala kelelahan fisik maupun psikis yang dirasakannya. "Orang tua alasan yang membuatkan aku tetap pengin pulang (ke rumah)," kata Nisa yang tinggal bersama kedua orang tuanya di Bekasi.

Nisa mengakui keinginannya itu adalah sebuah keegoisan yang harus dibayar dengan lelah yang akhir-akhir ini dirasakannya. Namun, lelah fisik tak seberapa baginya dibanding lelah psikis yang ikut membebani perasaan dan pikirannya. Di satu sisi, pilihannya membawa risiko terhadap kedua orang tuanya. Nisa bisa saja pulang membawa virus (carrier) bila tidak benar-benar menerapkan protokol kesehatan selama bertugas.

Dengan ilmu dan pemahamannya tentang Covid-19 yang dimilikinya, Nisa mencegah sedemikian rupa agar kedua orang tua tidak terpapar selama berinteraksi dengannya di rumah.

Keluar rumah, cukup seperlunya. Tidak lupa mencuci tangan. Saat keluar rumah, selalu menggunakan masker. Makan makanan yang bergizi. Selain itu, tetap olah gerak agar imun tetap baik. "Aku sekarang kalau pulang enggak salim, enggak peluk-peluk mama atau papaku, lebih sering di kamar saja, enggak berani keluar-keluar," kata Nisa.

Nisa meyakini, selama menjaga kebersihan diri, rajin mencuci tangan dan mandi setelah pulang bepergian, serta mengganti baju sebelum pulang; virus tidak akan ada. Dia merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Di tengah pandemi ini, adiknya yang sedang kuliah di Surabaya tidak dibolehkan pulang ke Bekasi. Karena itu, dia tetap pulang-pergi Bekasi-Jakarta selama bertugas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement