Ahad 19 Apr 2020 13:41 WIB

Pengungsi di Myanmar Khawatir Ancaman Virus Corona

Pengungsi merupakan salah satu kelompok yang paling rentan di Myanmar.

Rep: Lintar Satria/ Red: Dwi Murdaningsih
Pengungsi Rohingya melintas membawa karung bantuan pangan dari lembaga donor di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Pengungsi Rohingya melintas membawa karung bantuan pangan dari lembaga donor di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, KACHIN -- Pengungsi Negara Bagian Kachin Myanmar khawatir dengan ancaman pandemi virus corona. Masyarakat yang kehilangan tempat tinggal karena konflik di negara bagian itu tidak membuang waktu untuk mencegah virus mencapai tempat pengungsian mereka.

"Karena kami tinggal dalam kondisi padat penduduk, jika satu dari kami terinfeksi, wabah sangat mungkin terjadi,"ketua kamp pengungsi dalam negeri (IDP) Jaw Masat, Galau Bawm Myaw seperti dilansir dari Aljazirah, Ahad (19/4).

Baca Juga

Kapasitas Myanmar dalam mencegah dan mengatasi wabah virus korona atau Covid-19 dalam skala nasional masih dipertanyakan. Sementara 240 ribu IDP di negara itu menyadari risiko mereka sangat tinggi.

Sekitar 100 ribu diantaranya adalah etnik Kachin yang tersebar di 138 kamp dan gereja di ujung utara Myanmar. Dekat perbatasan dengan Cina.

"Kami menyarankan orang-orang mengikuti pedoman Kementerian Kesehatan untuk menjaga diri kami tetap sehat dan menyerahkan nyawa kami pada Tuhan," kata Myaw. 

Sebagian besar IDP dari Kachin adalah warga yang meninggalkan desa mereka. Setelah gencatan senjata antara Pasukan Kemerdekaan Kachin dan militer Myanmar gagal pada tahun 2011 lalu.

Pada 1 April lalu Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia PBB meminta pemerintah-pemerintah di berbagai negara melindungi 40 juta IDP di seluruh dunia. Menurut komisi tinggi IDP 'salah satu kelompok yang paling rentan' terhadap pandemi virus corona. 

IDP di Kachin sangat memahami kerentanan mereka. Sejak bulan Maret lalu pemimpin kamp pengungsi IDP di Jaw Masat yang berpopulasi 600 orang menerapkan larangan masuk dan keluar kamp.

Mereka juga melarang pertemuan kelompok dan menyekat pusat pelatihan di kamp itu menjadi ruang berdoa individu. Karena mereka juga menghentikan misa gereja.

Kamp di Jaw Masat juga mendirikan tempat cuci tangan di depan gerbang kamp. Mereka juga membangun sebuah pondok bambu yang diperuntukan bagi mereka yang harus menjalani karantina. Semua orang yang baru pulang dari kota atau luar negeri harus menjalani karantina selama 14 hari.

Pengunjung yang datang untuk memberikan penyuluhan kesehatan atau donasi akan disemprot dengan desinfektan. IDP yang tinggal di Kamp Bethlehem di Myitkyina yang berpopulasi lebih dari 700 orang juga menerapkan pendekatan yang serupa.

Kedua kamp itu menyiarkan pedoman pencegahan penularan Covid-19 Kementerian Kesehatan Myanmar melalui pengeras suara. Para IDP mematuhi pedoman itu dengan taat.

"Saya tetap tinggal di rumah bersama keluarga saya sebanyak mungkin dan kami menerapkan kebersihan pribadi yang tepat, kami berusaha sebaik mungkin untuk melindungi diri kami," kata salah satu IDP di Jaw Masat, Kumbu Seng Gu.

Namun para IDP khawatir upaya mereka tidak cukup. Sebab, setiap keluarga tinggal di pemukiman bambu yang disekat-sekat bersama keluarga lain. Hanya tersedia beberapa toilet digunakan ratusan orang. 

Bantuan kemanusian sudah berkurang selama bertahun-tahun. Sebagian besar dari mereka mengandalkan upah harian untuk mencukupi kebutuhan.

"Kami tinggal di kondisi padat penduduk dan makanan dengan gizi buruk, sementara pemerintah menginstruksikan untuk menghindari kerumunan dan memakan makanan bergizi, kata Seng Gu.

Ia mengatakan para pengungsi sudah kehabisan uang untuk membeli produk kebersihan dasar. Seng Gu juga khawatir bila kamp pengungsian itu diterpa wabah.

"Karena kami tidak menerapkan pembatasan sosial, ketiadaan pasokan medis dan makan, saya khawatir dengan wabah dan berdoa pada Tuhan untuk mengatasi ini," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement