Ahad 19 Apr 2020 08:27 WIB
Jawa

Kekerasan Jawa: Laku Bandit Hingga Romantisme Lagu Swedia

Kekerasan Jawa: Dari Laku Bandit Hingga Romantisme Lagu Swedia

Lukisan suasana duka akibat kekerasan di Perang Sipil Amerika Latin.
Foto: artnet.com
Lukisan suasana duka akibat kekerasan di Perang Sipil Amerika Latin.

 REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

’The winner takes its all. Sejarah hanya ditulis oleh pemenang!’’ Pepatah Eropa sudah begtu lama tertancap. Tak hanya menusuk nurani manusia semenjak zaman Yunani dan Romawi, tapi pada masa kurun sekarang.

Bahkan, di masa kini pernah ada lagu yang menjadi top hits dunia yang dinyanyikan kugiran musik  dari Swedia yang bertema soal hanya pemenanglah yang berhak menulis sejarah.  Grup nusik ini bernama ABBA' Mereka terdiri dari Benny Andersson, Björn Ulvaeus, Agnetha Fältskog, dan Anni-Frid Lyngstad. Lagu mereka pada tahun 1980-an. The Winners Takes It All’ menjadi lagu memorial dan lagu abadi dunia.

Anggaan bahwa sang pemenang bisa berbuat apa saja berkelindan sampai sekarang. Tak ada hal yang tercatat dari apa pun –meski mereka berjasa – kalau itu berasal dari pihak pecundang atau pihak yang dikalahkan. Bahkan jargon sejarah ditulis oleh pihak yang berjaya ini seakan menjadi kredo bagi dunia yang memang kian materilistis dan kapitalis ini. Tak ada lagi kasih sayang atau cinta yang menggebu ala para kaum sufi menjadi dasar peradaban manusia.

Celakanya sejarah Indonesia pun begitu. Apalagi sejak zaman kolonial, sejarah yang mereka tulis dan ajarkan hanya sejarah kemenangan dipihaknya. Di luar itu mereka akan ‘delete’ dari peradaban dengan menyebut ekstremis, teroris, pemberontak, dan aneka sebutan pejoratif lainnya. Ini persis dengan kepongahan Amerika Serikat yang menyembunyikan kekalahannya dalam perang Vietnam melalui film yang jadi hits dunia pada 1980-n:Rambo.

Untunglah di tengah situasi penulisan sejarah itu datang sosok seperti sejarawan Sartono Kartodirjo. Lelaki asal Yogyakarta dengan disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, tentang pemberontakan petani Banten tahun 1888, merubah pandangan baru. Mulai dari tangan dan pemikirannya arus sejarah Indonesia berusaha di balik dari sejarah yang hanya cenderung menulis kepada sang pemenang (politik), kini menjadi sejarah yang juga menyertakan catatan kisah dan hikmah dari perjuangan serta gejolak di kaum kecil atau rakyat biasa terkalahkan.

Salah satu yang bisa dikenang dari Sartono Kartodirjo adalah ungkapannnya yang menyebut bahwa bila pulau Jawa sebenarnya masyarakatnya tak pernah hidup aman tentram seperti kisah dalam dongeng atau suluk para dalang wayang kulit sebagai negeri ‘tata tentrem karta raharja’. Sekujur Jawa sepanjang sejarang – apalagi setelah usai perang Jawa (1925- 1830) selalu penuh gejolak kekerasan. Suasana tragis itu diibaratkan seperti ‘hujan gerimis’ yang melanda sepanjang tahun. Jadi,’’Memang tak ada perang besar (usai Perang Jawa) namun perlawanan dan pergolakan rakyat ternyata terus terjadi disekujur pulau Jawa seperti hujan gerimis, bukan hujan lebat.”

Maka, mengenangkan pernyataan Sartono tersebut, maka tak usah terlalu heran bila sekarang ini di tengah ‘pageblub’ Corona asal Wuhan Cina, terdengar aksi kekerasan yang disebut-sebut dilakukan oleh para pelaku pidana setelah mendapatkan remisi berupa pemotongan hukuman penjara.

Situasi seperti ini selalu jamak terjadi di Jawa. Ini misalnya merebaknya kekerasan di sekitar kawasan pantai utara Jawa (Pantura) pada masa awal kemerdekaan yang lazim disebut sebagai ‘ Peristiwa Tiga Daerah’. Kala itu tanpa ada alasan jelas terjadi amuk masa. Dan hal yang sama juga terjadi di kawasan Sumatra Timur. Kekerasan di sana memakan banyak sekali memakan korban, salah satu diantaranya adalah 'bapak sastrawan Indonesia', Amir Hamah.

Bahkan dalam skala yang lebih luas munculnya aksi kekerasan atau kerap disebut ‘perbanditan’ di Jawa sudah meluas semenjak dahulu, baik itu di Banten, Batavia, Surakarta dan Yogyakarta, maupun hingga Pasuruan dan Probolinggo. Aksi perbanditan dilakukan sebagai tindakan balas dendam terhadap penindasan kolonial.



Alhasil, Jawa yang sempat dikatakan mendiang Gubernur Hindia Belanda asal Inggris, Thomas Stamford  Raffles, sebagai sebuah tempat asri dan subur, di mana dari batas hutan yang berada di gunung hingga ke kawasan pantai penuh aneka rupa tetumbuhan dan selalu dikucuri air melimpah, ternyata dalam sejarahnya terus menerus penuh pergolakan. Jadi seperti yang disebut Sartono, bahkan dalam banyak kajian para sejarawan lainya, kerapkali menyebut pulau Jawa itu tak pernah ‘benar-benar’ tentram. Keributan dan konflik, hingga peperangan terbukti telah dan terus terjadi sepanjang waktu.

                      ******

Kenyataan itu, terlihat jelas ketika menelisik buku ‘Bandit-Bandit’ Pedesaan di di Jawa (Studi Historis 1850-1942), karya  sejarawan Universitas Gadjah Mada, DR Suhartono. Dalam kajian mengenai dunia ‘perbanditan’ di Jawa pada kurun itu  (penelitian dilakukan di tiga daerah: Banten dan Batavia di Jawa Barat, di Yogyakarta dan Surakarta di Jawa Tengah, dan Karesidenan Pasuruan), maka kemudian tampaklah dengan sangat jelas situasi sosial seperti apa yang membuat munculnyaaksi kekerasan tersebut.

Dalam kajiannya Suhartono menulis, memang perbanditan (kalau masa sekarang mungkin bisa disebut sebagai aksi premanisme, red) pada saat itu adalah bentuk dari kriminalitas yang berkembang di masyarakat agraris.

Meski begitu, istilah perbanditan sebenarnya masih dapat dibedakan, yaitu semata-mata kriminal dan ‘venal’ yang bertujuan mendapatkan hasil harta rampokan untuk hidup, sedangkan yang lain adalah bentuk perbanditan sosial model Robin Hood, yakni melakulan perbanditan yang hasil kejahatannya itu nantinya dibagikan kepada anggota masyarakat miskin.

Lalu model perbanditan apa yang kemudian terjadi di Jawa pada kurun itu? Dalam kajian Suhartono secara sekilas dapat dikatakan, meski ada sifatnya yang ‘murni kriminal’ itu, namun sebenanrya perbanditan di Jawa pada kurun tersebut lebih banyak bersifat sebagai protes sosial.

‘’Secara khusus perbanditan yang banyak terjadi di pedesaan Jawa adalah 'kecu', rampok, 'koyok', dan sejenisnya. Dan karena aksi ini secara sadar dilakukan sebagai usaha perbaikan kondisi ekonomi dari pihak pelakunya, maka aksi mereka  dapat juga dikatakan sebagai perbanditan sosial. Di Jawa perbanditan politik yang mengarah pada pemberontakan untuk menderikan negara jarang terjadi,’’ tulis Suhartono.
                      

                  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement