Ahad 19 Apr 2020 08:05 WIB

BI dan Penyelamatan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19 (2)

Bank Indonesia (BI) harus keluar dari mindset lama atasi dampak ekonomi wabah corona

Bank Indonesia: BI dan Penyelamatan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19 (2)
Foto: Tahta/Republika
Bank Indonesia: BI dan Penyelamatan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19 (2)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Rahmat, Pelaku Usaha/Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang baru saja dirilis pemerintah dan sedang menunggu persetujuan DPR RI menambahkan satu kewenangan baru bagi Bank Indonesia (BI). 

Kewenangan itu berupa dibolehkannya BI untuk membeli obligasi pemerintah di pasar primer. Sebelumnya BI hanya diperbolehkan membeli obligasi di pasar sekunder. 

Perbedaannya cukup mendasar. Dengan kewenangan baru ini, BI dapat menjadi pemberi pinjaman bagi pemerintah dalam bentuk sebagai pembeli obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah. 

 

Dan bagi pemerintah, di masa sulit ini, akan sangat membantu manakala mereka memerlukan pinjaman yang tidak mudah diperoleh di pasar utang normal.

Kewenangan ini menunjukkan kehendak BI untuk mengkalibrasi fungsinya. Dan menjadi pemain yang lebih aktif dalam perekonomian. 

Dari sisi suplai uang, dengan model semacam ini, pengelolaan terhadap dampak inflasi moneter yang menjadi ancaman tradisional pada setiap upaya meningkatkan kuantitas suplai uang menjadi lebih bisa dikelola.

Secara argumentatif, model Quantitative Easing (QE ) yang dipraktekkan oleh banyak bank sentral setelah krisis tahun 2008, rupanya tidak berdampak besar terhadap peningkatan inflasi. Salah satu sebabnya adalah model yang diterapkan di masa  itu di mana bank sentral membeli obligasi pemerintah di perbankan dan institusi keuangan untuk memperkuat struktur neracanya. 

Walhasil, perbankan yang menerima itu, mayoritas tidak menyalurkannya kembali kepada sektor riil. Melainkan mempertahankannya demi menjaga struktur neracanya. 

Argumen lainnya adalah kelebihan likuiditas di negara- negara itu seperti Amerika dan Inggris, dikarenakan kuatnya posisi mata uang mereka dalam perekonomian global, kemudian diekspor ke negara-negara lain yang menyebabkan inflasi di dalam negaranya dapat dikendalikan. 

Bagi para pengkritiknya, model  QE semacam ini, setelah 10 tahun berjalan, dianggap makin memperlebar jurang ketimpangan ekonomi. Dan meninggalkan jejak berupa makin terbatasnya alternatif kebijakan bagi bank sentral dalam mengatasi krisis keuangan. 

Karena itu, saya menyarankan agar BI dalam menjalankan kewenangannya; baik yang lama maupun yang baru ditambahkan, juga tidak ragu-ragu dalam mengambil peran yang lebih aktif. 

Dalam hal ini, tidak ragu dalam menerapkan kebijakan yang pro pada peningkatan angkatan kerja (full employment policy/activist stabilization policy). Kerangka kerjanya adalah memastikan obligasi yang dibelinya dari pemerintah adalah obligasi yang dihubungkan (earmark) dengan upaya penciptaan tenaga kerja. 

Saya malah menyarankan lebih jauh, earmark ini dihubungkan juga dengan upaya penerbitan obligasi untuk sektor UMKM dan ekonomi informal, yang terbukti merupakan sektor pemberi kerja yang signifikan dalam perekonomian. 

Kerangka ini memastikan bahwa upaya “open ended policy” BI tidak berakhir pada makin melebarnya jurang kaya dan miskin di Indonesia.

Upaya ini tentunya tidak akan membuat praktek kebank-sentralan BI menjadi asing dan tidak “peering” dengan praktek kebank-sentralan dinegara lain. 

Upaya ini tidak akan bersifat unilateral karena pada dasarnya, The Fed sendiri sudah memulai langkah yang mirip. Dalam rilis kebijakan terakhirnya senilai USD 2,3 Trilliun, The Fed memastikan sektor UMKM menjadi bagian integral dalam paket kebijakannya (CNBC. 09/04/2020 ).

Inilah yang saya maksudkan sebagai upaya kalibrasi “ mindset” BI. Dalam bagian pertama tulisan ini, sengaja saya memaparkan sejarah dan variasi kebijakan dalam praktek kebanksentralan yang terus berkembang dan beradaptasi dengan tantangan perekonomian. 

Upaya untuk mengeluarkan bank sentral yang cenderung membatasi dirinya dalam menjalankan fungsinya, terutama yang berbasis pada pengendalian inflasi sudah banyak dikritik. 

Kerangka Kerja Pengendalian Target Inflasi bukannya tidak memberikan dampak positif bagi perekonomian dalam jangka panjang. Tapi yang dianggap sebagai kelemahannya adalah dampaknya dalam menyederhanakan fungsi dan peran Bank Sentral (Axel Weber, Mantan Gubernur Bank Sentral Jerman, World Economic Forum, 08/06/2015).

Dengan demikian, lahirnya Perppu 1 Tahun 2020 perlu ditafsirkan sebagai perppu yang tidak mengukuhkan praktek “rabun dekat” BI selama ini yang seakan-akan asing dari sektor UMKM dan Ekonomi informal. 

BAB III perpu 1/2020 jika dibaca begitu saja, potensial membuat BI makin “ rabun dekat” terhadap sektor UMKM dan ekonomi informal, alias ekonomi rakyat jelata. 

Jika BI mempertahankan mindset tradisionalnya yang selama ini dipraktekannya, maka materi dalam perppu itu hanya akan bermanfaat bagi korporasi besar, bukan ekonomi rakyat jelata. Sebab, Bab ini hanya membicarakan pemerintah dan perbankan saja. 

BI perlu menghembuskan nafas baru dalam penanganan krisis ekonomi di Indonesia. Nafas baru itu berupa kebijakan yang didasari beratnya penderitaan yang menimpa sektor UMKM dan ekonomi informal akibat pandemi Covid 19. 

BI perlu menafsirkan kewenangannya dalam penangan krisis kali ini sebagai perluasan ruang gerak untuk memastikan keberlangsungan usaha UMKM dan ekonomi informal. Memastikan bahwa sektor ini kembali pulih dengan cepat adalah tanggung jawab besar Bank Indonesia. 

Sebagai penutup, saya ingin mengutip tulisan dua mantan pimpinan The Federal Reserve, Ben Bernanke dan Janet Yellen yang dimuat di Financial Times: “Central bank tools cannot eliminate the direct costs of the virus, including the suffering and loss it will create. However, ...can help mitigate the economic effects of the outbreak, particularly by assuring that, once the virus’s direct effects are controlled, the economy can rebound quickly” (Financial Times, 18/03/2020). Wallahu‘alam. 

(Selesai)

BACA JUGA: BI dan Penyelamatan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19 (1)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement