Ahad 19 Apr 2020 06:38 WIB

BI dan Penyelamatan Ekonomi di Tengah Pandemi Covid-19 (1)

Peran bank sentral selalu berubah seiring dinamika dan krisis ekonomi.

Bank Indonesia, ilustrasi
Foto: Tahta/Republika
Bank Indonesia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, 

Oleh: Andi Rahmat, Pelaku Usaha/Mantan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI

Situasi ini memang tidak normal. Unprecendented. Hari-hari ini, selain jumlah korban yang terjangkit Covid 19, mereka yang terpapar ekonominya juga menjadi makanan berita sehari-hari. Nyawa yang berhubungan dengan paru (Acute Resipatory Sindrome) dan nyawa yang berhubungan dengan perut, secara simultan, menjadi tema pembicaraan kita hari-hari ini.

Subjek tulisan saya kali ini adalah Bank Indonesia (BI). Lembaga lender of last resort yang fungsi vitalnya dalam perekonomian sedang dan perlu dikalibrasi. Dan saya tambahkan lagi, sedang di-“overhaul”. 

Apa sesungguhnya yang sedang di kalibrasi dan di overhaul itu?  Urgensinya di mana? dan Apa yang diharapkan darinya?

Kalau kita perhatikan apa yang dilakukan oleh berbagai bank sentral di berbagai belahan dunia dalam merespons efek ekonomi dari pandemi Covid-19, kita akan menemukan model dan bentuk aksinya yang di luar pakem konvensional yang selama ini dianut oleh berbagai Bank Sentral dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Tradisi dan sejarah kebank-sentralan dapat dilacak sejak pendirian pertamanya di tahun 1668. Swedish Riksbank merupakan bank sentral pertama yang berdiri dan fungsi utamanya adalah meminjamkan uang kepada pemerintah dan sebagai clearing house perdagangan di masa itu. 

Tetapi formula yang kemudian menjadi model hingga sekarang adalah Bank of England yang didirikan pada tahun 1694 dengan fungsi yang kurang lebih sama dengan Swedish Riksbank.

Pada masa itu fungsi Bank Sentral terfokus pada pinjaman kepada pemerintah dan clearing house bagi perdagangan. Adalah Banque The France yang dibentuk oleh Napoleon Bonaparte ditahun 1800 yang mulai memperkenalkan fungsi stabilisasi mata uang, setelah hyperinflasi melanda Prancis selama masa-masa peperangan.   

Evolusi fungsi ini memerlukan waktu lebih dari 130 tahun bersamaan dengan tumbuhnya merkantilisme dan cikal bakal perdagangan global. 

Yang perlu dicatatkan juga, kalau Swedish Roksbank dan Bank of England pada mulanya adalah joint stock company, alias perusahaan swasta, maka Banque the France merupakan institusi bentukan negara. 

Evolusi praktik kebank-sentralan sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian, termasuk dan terutama krisis perekonomian yang dialami oleh suatu perekonomian. 

Sebelum perang dunia ke-1, praktek kebanksentralan mulai bertambah dengan makin kuatnya fungsi lender of last resortnya. Dalam situasi krisis, terutama krisis keuangan, Bank Sentral pada masa itu juga berfungsi sebagai penolong terakhir yang bisa menyediakan likuiditas bagi perekonomian. 

Jadi, fungsi lender of last resort ini pun juga melekat kedalam tradisi fungsi kebanksentralan sejak dini.  

Setelah perang dunia ke-1 terjadi pergeseran dalam fungsi kebank sentralan di mana fokus fungsinya pun bertambah dengan persoalan level harga, ketenaga-kerjaan dan aktivitas ekonomi riil. 

Pada Tahun 1920, The Fed mulai memperkenalkan  “the riil bill doctrine” bersamaan dengan fungsi barunya dalam menjaga kuantitas uang (jumlah uang beredar/quantity of money). 

Doktrin ini menganut pemahaman bahwa kuantitas uang secara natural akan tersedia dalam perekonomian sepanjang tidak ada bank yang mengajukan likuidasi diri sendiri (self-liquiditing).

Doktrin ini berujung pada persepsi keliru pada boom pasar saham Amerika di tahun 1928, di mana The Fed mengambil  langkah pengetatan uang yang berujung jatuhnya harga saham pada tahun 1929.

Ini juga memicu depresi perekonomian yang berkepanjangan di mana fungsi lender of last resort The Fed akhirnya terlambat dan tidak lagi efektif. Suplai uang mengalami kolaps, memicu deflasi dan akhirnya menjadi great depression. 

Setelah perang dunia ke-2, fungsi bank sentral kembali bertambah. Pada mulanya kebank-sentralan  secara semgaja aktif dalam  kebijakan counter cyclical perekonomian. 

Namun pada tahun 1960-an, dimulailah tradisi yang disebut activist stabilization policy. Di mana fokusnya bukan lagi inflasi yang rendah tapi kebijakan yang berdampak pada peningkatan tenaga kerja. 

Di Amerika, kebijakan ini menimbulkan masalah berupa tingginya inflasi yang ujungnya merugikan perekonomian Amerika. Paul Volcker yang menjadi Gubernur The Fed   di tahun 1978 mengubah model aktivisme ini. 

Pada tahun 1982, kebijakan yang beroeientasi pada target inflasi ini berhasil mengatasi perekonomian Amerika dan sejak itu, model inflation targeting framework menjadi model praktek kebijakan kebank sentralan diberbagai belahan dunia. Alat Kebijakan utama bagi bank sentral dalam menjalankan pendekatan ini adalah Suku Bunga Acuan bank sentral. 

Sejak itupula, praktek kebanksentralan dalam perekonomian menjadi lebih berjarak terhadap sektor riil. Sepanjang dekade 90-an hingga sekarang, kita kemudian mengenal istilah economic decoupling; suatu istilah yang mengambarkan terbentuknya dinding pembatas antara ekonomi sektor riil dan ekonomi sektor keuangan. 

Suatu fenomena yang menganggap bahwa kedua bentuk perekonomian ini tidak lagi dalam satu bejana berhubungan, tetapi merupakan dua entitas yang makin tidak terhubung. Atau lebih tepatnya lagi, hubungan diantara nya akan tetap ada tapi makin menipis.

Datanglah krisis Keuangan tahun 2008. Krisis ini dipicu kegagalan di pasar produk turunan (derivatif) keuangan yang eksotik. Umumnya yang berbasis Collaterized Debt seperti subprime mortgage. Krisis ini direspons oleh bank sentral di banyak negara dengan kebijakn Quantitative Easing alias mencetak duit. Dimulailah era baru dalam praktek kebanksentralan. T

ampaknya, banyak bank sentral mengambil pelajaran dari krisis di pasar saham tahun 1928 yang direspons keliru oleh The Fed di masa itu yang kemudian berujung pada great depression. Kebetulan sekali, The Fed di tahun 2008 dan sesudahnya dipimpin oleh Ben Bernanke yang memang dikenal sebagai pakar Great Depression dan Market Panic (Panik di Pasar Keuangan).

Dari penceritaan ringkas ini, dapat dipahami bahwasanya praktek kebanksentralan tidaklah bersifat kaku. Dan selalu menyesuaikan diri dengan perubahan dan tantangan lingkungan perekonomian. 

Di Indonesia, Bank Indonesia selaku Bank Sentral juga memiliki pengalaman sendiri dalam prakteknya. Sebelum Krisis 1997-1998, BI berperan sangat aktif dalam perekonomian riil. Bahkan BI aktif dalam memberikan fasilitas kredit yang kita kenal sebagai KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia). 

Namun dalam prakteknya, KLBI menjadi pengalaman traumatik bagi Bank Indonesia. Kredit ini dikemudian hari ditemukan banyak sekali penyimpangan. 

Setelah UU No 23 Tahun 1999 Tentang BanK Indonesia, fokus dan fungsi Bank Indonesi dibidang moneter menjadi dibatasi. Pembatasannya antara lain fungsi definitifnya sebagai penjaga nilai tukar, penjaga cadangan devisa dan penjaga inflasi. 

UU No 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang juga memberi kewenangan kepada BI sebagai otoritas satu-satunya dalam pengaturan dan pengelolaan mata uang  Rupiah, termasuk mencetak dan menyalurkannya. 

Pembatasan kewenangan BI terhadap pengaturan dan pengawasan terhadap perbankan dikukuhkan melalui UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 

Semua tugas dan fungsi BI yang berhubungan dengan perbankan dilimpahkan seluruhnya kepada OJK. Kecuali yang terkait dengan aspek Makro Prudensial perbankan. Kebetulan, saya sendiri terlibat dalam pembahasan kedua UU ini. Dan khusus untuk UU OJK, pada masa itu saya menjadi wakil ketua pansusnya. 

Kembali kepada pertanyaan di awal tulisan ini. Apa sesungguhnya yang sedang di kalibrasi dan di overhaul itu?  Urgensinya dimana? dan Apa yang diharapkan darinya?

(Bersambung ke Bagian 2)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement