Sabtu 18 Apr 2020 07:36 WIB
covid 19

Memahami Ancaman Gangguan Kejiwaan Semasa dan Pasca COVID-19

Gangguan Kejiwaan Semasa dan Pasca COVID-19

Petugas mengenakan kostum Spiderman membagikan nasi bungkus di depan Hotel Dafam, Seturan, Sleman, D.I Yogyakarta, Rabu (15/4/2020)
Foto: Antara/Andreas Fitri Atmoko
Petugas mengenakan kostum Spiderman membagikan nasi bungkus di depan Hotel Dafam, Seturan, Sleman, D.I Yogyakarta, Rabu (15/4/2020)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mi’rajul Akbar, Mahasiswa Magister Psikologi Profesi Bidang Klinis UGM Jogjakarta

Sampai hari ini, tampaknya pemerintah Indonesia terus berfokus untuk meminimalisasi dampak ekonomi dan jasmaniah dari pandemi COVID-19. Padahal, selama dan pasca pandemi, juga ada hal lain yang dipertaruhkan: kesehatan jiwa. Adanya kemungkinan “gelombang pasang” gangguan kejiwaan selama dan pasca pandemi ini semestinya juga menjadi perhatian pemerintah.

   

Kita mulai dari yang jelas dirasakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Ancaman krisis ekonomi di depan mata, bahkan IMF mewanti-wanti apa yang disebut sebagai The Great Lockdown: disebut sebagai krisis ekonomi terburuk semenjak Depresi Besar pada 1930-an.

WHO menyebutkan bahwa keadaan sosioekonomik yang tidak stabil akan berkontribusi pada terpaparnya orang dewasa terhadap stress dan kecemasan tinggi. Jika krisis ekonomi Asia 1998 mampu membuat tingkat bunuh diri di Jakarta saja meningkat hingga 33,3%, tentunya tidak berlebihan jika kita andaikan bahwa The Great Lockdown beban psikologisnya akan jauh lebih berat.

Selain ancaman krisis ekonomi, physical distancing atau kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar berkontribusi terhadap kesehatan jiwa. Pembatasan sosial akan mengurangi adanya interaksi interpersonal, dan hal ini membuat individu rentan terhadap perasaan terisolasi.

Pada sebuah publikasi tahun 2013, peneliti Louise Hawkley dan John Cacioppo menunjukkan bahwa perasaan terisolasi atau kesepian dapat meningkatkan perasaan rentan dan terancam, yang mana semasa pandemi COVID-19, akan diperparah oleh persepsi individu tentang bahayanya penyakit tersebut. Hal ini akan berakibat pada timbulnya depresi, kecemasan, dan berbagai masalah kesehatan mental lainnya.

Tentunya, ketakutan akan isolasi ini, dan keyakinan individu bahwa tidak ada yang dapat menolongnya selain dirinya sendiri, juga dapat berkontribusi pada fenomena panic buying pada masyarakat kelas menengah. Kepanikan ini selanjutnya menyebabkan stok bahan pangan di pasaran menurun, dan akhirnya menyebabkan kepanikan lebih besar, meningkatkan beban psikologis masyarakat pada akhirnya.

Hal yang terakhir lebih jarang diperhatikan, yaitu adanya masalah neuropsikiatris (masalah kejiwaan yang disebabkan gangguan pada sistem saraf) pasca infeksi virus. Pada sebuah publikasi tanggal 13 April 2020, peneliti Emily Troyer, Jordan Kohn dan Suzi Hong menunjukkan bahwa infeksi virus dapat diikuti oleh berbagai permasalahan neuropsikiatris seperti ensefalopati dan gangguan degenerasi saraf, serta gangguan seperti depresi, kecemasan, stress pascatrauma, dan psikosis.

Meskipun penjelasan sebab akibatnya belum jelas, hubungan ini tetap ada, dan ketiga peneliti memprediksi bahwa beban neuropsikiatrik pandemi COVID-19 akan signifikan, mengingat luasnya tingkat infeksi penyakit tersebut.

Mengingat penjelasan diatas, negara-negara, terutama Indonesia, perlu melakukan langkah penanggulangan pandemi yang juga mempertimbangkan kesehatan jiwa masyarakat. Salah satu solusi yang sedang dikaji peneliti di University of Toronto, adalah model periodic physical distancing, atau pembatasan sosial yang dilakukan secara berkala.

Pembatasan sosial dengan model ini akan dilakukan jika tingkat penularan penyakit meningkat, dihentikan apabila penularan menurun, dan dilakukan lagi apabila kembali terjadi peningkatan. Dengan kata lain, adanya periode pembatasan dan kelonggaran.

Menurut peneliti, model pembatasan sosial berkala ini dapat mengurangi beban ekonomi dan psikologis individu dari karantina yang berkepanjangan, karena terdapat periode dimana batasan akan dilonggarkan sehingga memungkinkan antar individu kembali berinteraksi dan beberapa dapat kembali bekerja. Model ini juga dimaksudkan untuk menghemat sumber daya yang diperlukan dalam perawatan medis intensif.

Tentu saja, jika Indonesia akan menerapkan pembatasan sosial berkala, beberapa hal harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, perlu dikaji dan dipastikan apakah ada dampak bagi sektor-sektor ekonomi apabila aktivitas masyarakat “dinyalakan dan dimatikan”. Hal ini perlu untuk memastikan mana sektor yang dapat diaktifkan kembali selama periode kelonggaran.

Kedua, pemerintah perlu merencanakan aturan yang ketat dalam pembagian periode pembatasan dan kelonggaran tersebut. Hal ini akan mencakup jumlah orang yang boleh berkumpul, kegiatan apa saja yang diperbolehkan selama kedua periode tersebut, hingga moda transportasi mana yang boleh digunakan. Pembagian yang ketat tersebut penting agar pembatasan tidak terkesan “tanggung”.

Ketiga, pola komunikasi pemerintah harus jelas agar masyarakat mengetahui dengan pasti kapan periode pembatasan atau kelonggaran dimulai, dan mematuhi aturan apa saja yang berlaku di masing-masing periode.

Keempat, pengetesan COVID-19 perlu diperluas agar pemerintah dapat memetakan daerah-daerah mana yang akan menjalani periode pembatasan atau kelonggaran, serta demi mendapatkan data yang akurat tentang penyebaran penyakit agar pemerintah dapat cepat merespons dengan beralih ke periode pembatasan atau kelonggaran.

Selain solusi pembatasan sosial berkala, tentu saja pemerintah perlu menggunakan pendekatan integratif psikoneuroimunologi dalam menanggulangi kondisi psikologis individu yang pernah terinfeksi virus, yang mungkin selama ini terlewatkan. Apakah pasien positif COVID-19 memiliki potensi mengidap gangguan neuropsikiatrik penyerta, dan jika iya, pendampingan psikologis atau intervensi psikiatrik apa yang dapat diberikan? Pertanyaan tersebut perlu dijawab untuk melengkapi pelayanan kesehatan yang sudah ada.

Kepada masyarakat umum, edukasi yang tepat tentang kesehatan jiwa, perluasan layanan pendampingan psikologis selama maupun pasca pandemi, disertai komunikasi yang seimbang tentang keadaan negara saat ini (tanpa disertai political bravado yang melebih-lebihkan kesiapan negara dalam menghadapi pandemi) adalah usaha-usaha yang perlu untuk menjaga kesehatan jiwa masyarakat.

Bagaimanapun, sebagaimana ditulis Jared Diamond dalam Upheaval, krisis negara dalam beberapa aspeknya dapat dianalogikan dengan krisis psikologis individu. Kondisi krisis menunjukkan bahwa strategi coping atau penyelesaian masalah kita tidak sesuai dengan masalah yang dihadapi, sehingga harus diubah. Hanya dengan keinginan untuk mengakui adanya masalah dan mengganti cara kita mendekatinya, barulah individu maupun negara dapat melewati krisis dengan selamat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement