Jumat 17 Apr 2020 14:27 WIB

Penjelasan Medis dan Pandangan Islam Soal Jenazah Covid-19

Banyak kasus penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah petugas medis mengangkat peti jenazah pasien positif COVID-19 saat simulasi pemakaman di Lhokseumawe, Aceh, Jumat (17/4/2020). Simulasi tersebut dilakukan untuk meningkatkan dan melatih kesiapan sarana dan tenaga medis yang sewaktu waktu dibutuhkan dalam membantu menangani pemakaman jenazah pasien positif COVID-19.
Foto: Antara/Rahmad
Sejumlah petugas medis mengangkat peti jenazah pasien positif COVID-19 saat simulasi pemakaman di Lhokseumawe, Aceh, Jumat (17/4/2020). Simulasi tersebut dilakukan untuk meningkatkan dan melatih kesiapan sarana dan tenaga medis yang sewaktu waktu dibutuhkan dalam membantu menangani pemakaman jenazah pasien positif COVID-19.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Stigma negatif atas korban meninggal akibat Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) berkembang, khususnya soal pemulasaran jenazah. Akibatnya, banyak kasus penolakan pemakaman jenazah korban Covid-19.

Dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dr Agus Widiyatmoko mengatakan, kita perlu memahami penanganan jenazah berstatus ODP, PDP maupun positif Covid-19.

"Jenazah yang memiliki status ODP, PDP maupun positif Covid-19 diperlakukan serupa korban meninggal positif Covid-19, kata Agus, Selasa (14/4).

Ini karena hasil tes pasien ODP dan PDP yang sudah meninggal dunia mungkin belum keluar, jadi belum bisa ditetapkan negatif atau positif Covid-19. Tapi, pasien PDP memiliki risiko lebih besar untuk mendapatkan hasil tes positif Covid-19.

Untuk meminimalisasi risiko penyebaran virus, jenazah pasien ODP dan PDP diperlakukan sama seperti jenazah positif Covid-19. Perlakuan atas jenazah tersebut sudah sesuai SOP protokol yang sudah ditetapkan tenaga ahli.

"Namun, jika ternyata hasil tes pasien ODP dan PDP negatif dan meninggal, pemulasaran jenazah dilakukan seperti biasanya, tidak sesuai dengan protokol penanganan jenazah Covid-19," ujar dokter spesialis penyakit dalam tersebut.

Agus menilai, yang memiliki risiko tinggi tertular tidak lain tenaga medis karena bersinggungan langsung jenazah Covid-19 saat pemulasaran. Karenanya, ada protokol yang mengatur pemulasaran jenazah pasien Covid-19.

Dimulai dari tenaga medis yang sudah terlatih, menggunakan APD yang lengkap, sampai proses diusakan menghambat dan mencegah penyebaran virus. Proses ini menggunakan protokol sangat ketat demi meminimalisasi risiko penyebaran.

Proses jenazah tidak dimandikan dan langsung dikafani bagi yang beragama Islam. Kemudian, dibungkus plastik, disemprotkan disinfektan, menggunakan peti khusus yang direkatkan memakai lem agar tidak perlu dibongkar lagi.

Agus menekankan, pada jenazah Covid-19 ketika dikuburkan virusnya akan mati karena di tubuhnya sudah tidak banyak lagi kandungan oksigen. Serta, tidak ada lagi kandungan bahan-bahan yang mampu membuat virus hidup lebih lama.

Dia mengimbau, masyarakat tidak khawatir apalagi sampai menilak jenazah yang akan dikuburkan. Sebab, pada dasarnya jenazah betul-betul sudah disiapkan sebaik mungkin untuk tidak menulari orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Masyarakat harus paham adanya protokol ini menjadikan keluarga korban tidak dapat melihat langsung selama proses pemulasaran jenazah," kata Agus.

Dosen Fakultas Agama Islam UMY, Drs Muhsin Haryanto menerangkan, di situasi normal jenazah memang diperlakukan sesuai syariat umumnya. Tapi, di situasi abnormal atau darurat, jenazah memang harus diperlakukan sesuai protokol.

Untuk itu, ketika ada jenazah pasien Covid-19, tenaga medis akan menangani pemulasaran sampai proses pemakaman. Masyarakat, khususnya umat Islam, harus bersikap proporsional jika memang jenazah Covid-19 memiliki efek penularan.

Cukup fokus sikapi cara agar tidak tertular dari virus, dan jangan khawatir jika jenazah menulari virus. Sebab, pelaksanaan pemulasaran sudah sesuai SOP pemulasaran jenazah pasien Covid-19.

"Untuk melakukan sikap proporsional, fatwa perlu dikeluarkan ulama dengan bahan pemikiran yang tepat agar saat melaksanakan ijtihad, fatwa yang tepat tersebut dapat memandu masyarakat menyikapi wabah Covid-19," ujar Muhsin.

Muhsin menambahkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus memiliki satu bahasa untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. Jadi, masyarakat tidak kebingungan untuk sikapi wabah Covid-19 menurut ajaran Islam.

Sikap proporsional umat Islam melalui fatwa harus terintegrasi antara satu ulama dengan ulama lain. Selain itu, masyarakat harus diberikan pemahaman, misal, soal maslahat dan mudharat ikut orang banyak untuk menolak jenazah.

"Ketika ada dua maslahat yang saling berseberangan, diambil mashalat yang baik, yang lebih tinggi nilainya, dan ketika ada mudharat, mudharat yang lebih kecil yang harus mereka pilih," kata Muhsin. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement