Kamis 16 Apr 2020 10:50 WIB

Menyentuh Suami Usai Berwudhu, Batalkah?

Terjadi perbedaan pendapat mengenai makna kalimat 'aulaa mastumunnisaa'

Sejumlah umat islam mengambil air wudhu untuk melaksnakan shalat Maghrib saat acara Dzikir Nasional di Masjid Agung At Tin, jakarta, Senin (31/12).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah umat islam mengambil air wudhu untuk melaksnakan shalat Maghrib saat acara Dzikir Nasional di Masjid Agung At Tin, jakarta, Senin (31/12).

REPUBLIKA.CO.ID, Berwudhu merupakan salah satu kewajiban yang diperintahkan saat seorang Muslim hendak beribadah, khususnya shalat baik wajib atau sunah. Wudhu seseorang ketika hendak shalat dapat menjadi penyebab Allah SWT memberi ampunan atas dosa yang dilakukan antara wudhu itu dengan shalat berikutnya. (HR Muslim).

Tak hanya itu, wudhu juga menjadi penanda seorang mukmin saat hari kiamat. Hadis dari Abu Hurairah menjelaskan bahwa umat Rasulullah SAW akan memiliki tanda belang putih di kakinya yang merupakan bekas wudhu. Secara khusus, Allah SWT pun berfirman mengenai tata cara wudhu. "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu telah akan mengerjakan shalat maka basuhlah muka kamu dan tangan kamu sampai siku dan sapulah kepala kamu dan kaki-kaki kamu sampai dengan kedua mata kaki." (QS al-Maidah: 6).

Lantas, menjadi pertanyaan apakah seorang istri yang notabene memiliki mahram suami dapat batal wudhunya ketika bersentuhan. Padahal, kemesraan setiap pasangan menjadi bumbu kehidupan untuk memperkokoh mahligai rumah tangga. Allah SWT pun mengistilahkan pakaian bagi istri terhadap suaminya.

"Mereka (para istri) adalah pakaian bagimu dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka," (QS al-Baqarah: 187). Allah SWT sebenarnya mengatur secara eksplisit mengenai hal tersebut. Lanjutan ayat dalam QS al-Maidah ini menjelaskan mengenai beberapa penyebab batalnya wudhu salah satunya berkaitan dengan perempuan. ".. Dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik.." (QS al-Maidah: 6).

Namun, di kalangan para sahabat terjadi perbedaan pendapat mengenai makna kalimat aulaa mastumunnisaa yang menjadi bagian dari ayat tersebut. Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas mengartikan firman Allah SWT tersebut dengan arti melakukan hubungan suami istri alias bersetubuh. Sementara, Umar bin Khattab dan Abdullah Ibnu Mas'ud mengartikan ayat itu yakni sebatas persentuhan antara laki-laki dan perempuan.

Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah menjelaskan, adanya perbedaan pemahaman di antara kalangan sahabat berdampak kepada adanya perbedaan pendapat mengenai apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu atau tidak. Pendapat yang pertama menjelaskan, persentuhan laki-laki dengan perempuan tidak membatalkan wudhu. Adanya perbedaan apakah menyentuh sebatas 'menyentuh' dengan menyentuh sebagai jima' menyebabkan ulama terbagi di tiga pendapat besar.

Pendapat pertama menjadi pegangan dari mazhab Hanafi. Sementara, pendapat kedua yang mengatakan, menyentuh perempuan membatalkan wudhu diamini oleh ulama dari mazhab Syafii dan Hanbali. Berbeda dari tiga mazhab tersebut, ulama Malikiyah berpendapat bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan membatalkan wudhu apabila menimbulkan syahwat.

Dalam hal ini, Majelis Tarjih Muhammadiyah berpegang kepada pendapat pertama, yakni tidak membatalkan wudhu. Ini diperkuat dengan adanya hadis dari Aisyah menjelaskan "Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah SAW dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang dua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud." (HR Muslim dan at-Tirmidzi).

Di dalam riwayat yang lain, Aisyah pun pernah berkisah. "Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium beberapa istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu lebih dahulu." (HR Ahmad).

Meski demikian, pendapat kedua menjadi landasan bagi Imam Syafi'i untuk berfatwa bahwa memegang perempuan dapat membatalkan wudhu. Seperti ditukil dari Ibnu Rusyd, Imam Syafii berpendapat bahwa siapa yang menyentuh lawan jenisnya tanpa alat, baik menimbulkan berahi atau tidak, maka batal wudhunya. Sementara, ada riwayat lain menyatakan bahwa dalam hal wudhu, Imam Syafi'i mempersamakan istri dengan semua mahram. Wallahu a'lam.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement