Kamis 16 Apr 2020 07:17 WIB
Mekkah

Kisah Ritual Subtitusi yang Dipercaya Pengganti Haji

Ritual Subtitusi Yang Dpercaya Pengganti Haji

Mengadakan
Foto: Republika
Mengadakan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Pergi haji itu memang bagi yang mampu baik lahir dan batin bagi orang Islam. Persyaratan ‘istitaah’ ini memang tak bisa semua Muslim memenuhinya. Sehingga di Nusantara yang tempatnya sangat jauh dari Makkah, berkembang kepercayaan bahwa ada ritual lain yang bisa menjadi atau pahalanya setara dengan pergi haji yang ke tanah suci  itu.

Dalam buku ‘Naik Haji Di masa Silam’ karya Henri Lambert –Choir,  ada yang menarik tentang kepercayaan ini. Begini di antaranya:

Pada waktu lalu, banyak orang menganggap bahwa berziarah tujuh kali di Masjid Demak sama nilainya dengan naik haji ke Mekkah. Ziarah ini termasuk pesta Besaran yang pernah dideskripsikan pada tahun 1930 yang ada pada Encyclopedia van Nederlandsh-Indie: Orang berkerumun di Demak selama 10 hari dari tanggal 1 sampai 10 Zulhijah. Ritualnya tidak lebih dari sembahyang dan mengaji di masjid serta menziarahi makam para Sultan masa silam dan malam Sunan Kalijaga did esa Kadilangu.

Acara itu di Demak itu disertai pasar malam yang ramai di alun-alun. Tradisi tak pernah kering. Sebuah artikel yang terbit di malahan ‘Soera Oemoem’ tahun 1930 menganjurkan agar kilbat Mekkah agar diganti dengan kiblat Demak, dan haji ke Mekkah diganti haji ke Demak. Pada tahun 1960-an sebuah upacara ziarah menyerupai ibadah haji dilaksanakan di Demak pada musim haji.

Sebuah buku baru yang berjudul ‘Kaji Blangkon’ ziarah ke makam Wali Songo sebagai hajinya orang Jawa miskin dan mengusulkan supaya para peziarah  diberikan gelar: Kalau para haji ke Mekkah diberi gelar Haji atau huruf ‘H”, maka sepatutnya para haji ke Wali Songo memakai ‘Kaji Blangkon’ atau diberi gelar hurug ‘K’. Menurut tradisi lain. Empat puluh kali ziarah ke Imogiri sama dengan naik haji: dalam hierarki kesakralan, Imogiri jauh di belakang Demak rupanya.

Makam lokal sebagai pengganti Mekkah dalam sebuah simulasi haji tidak terbatas pada pesisir utara Pulau Jawa saja.Kepercayaan serupa terdapat di Sumatra Barat. Sebelah kota Padang. Di sana ada ziarah yang disebut ‘basapa’ atau ‘bersapar’ (bersafat) karena upacaranya diadakanpada hari Rabu setelah tanggal 10 Safar untuk memperingati wafatnya Syekh Burhanduddin (10 Safar 1111 H,atau 1699 M). Ulakan bahkan disebut sebagai ‘Meka Ketek’ (Mekkah Kecil).

Di Sulawesi Selatan juga ada kepercayaan serupa. Di sana terdapat sebuah situs sejarah yang disamakan dengan haji, yaitu Gunung Bawakaraeng’ sekitar 75 kilometer sebelah utara kota Makassar. Pas pada musim haji sejumlah besar orang Makassar melaksanakan sebuah ritus di tempat tersebut sebagai ganti ibadah haji. Mereka disebut ‘Haji Bawakaraeng’.

Contoh lain lagi juga ditemukan di Jawa Barat. Seperti terlihat di atas, Kartosuwiryo menamakan Mekkah-nya untuk markas lamanya di Gunung Sawal dan Madinah-nya di markas barunya di Cisampang. Bagi pengikut Darul Islam, berziarah ke Gunung Sawal sama naik haji. Kisah ini ditulis sejarawan Belanda Van Dijk pada tahun 1981.

Tapi, mengangkat sebuah situs keramat lokal sebagai gantu kota Mekkah, bukan fenomena khas Indonesia saja. Terdapat contoh lain di kota Mashad, Iran, di Hyderabad, India, dan di tempat lain di negara Suddan. Ini juga terjadi di Toauba, Senegal, serta di makam Sultan Abu Yusuf di Rabat, Maroko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement