Rabu 15 Apr 2020 09:55 WIB
Ilsam

Kekuasaan, Keadilan, Akal dan Ilmu Dalam Islam

Hikmah dan tanggung jawab ilmu dan kekuasaan mewujudkan keadilam

Suasana peradilam zaman Ottoman.
Foto: google.com
Suasana peradilam zaman Ottoman.

REPUBLIKA.CO.ID --  Oleh DR Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara

Kebesaran sesorang yang sebenarnya terletak di dalam

kesadarannya akan tujuan yang jujur dalam Kehidupan

yang dibangun atas perkiraan yang adil tentang dirinya

 

dan yang lain, atas perkiraan diri sendiri berkali-kali

dan ketaatan yang mantap kepada kehendak Allah.

(Al-Ghazali)

---------------

Tidak dulu, tidak sekarang hukum tetap saja menjadi satu perkara terpenting di aantara dua yang lainnya. Selalu begitu disepanjang panorama kehidupan. Hukum disepanjang jalan itu selalu diminta dan diandalkan untuk menyudahi berbagai soal, berat maupun ringan.

Mengawali eksistensi dengan tampilan tak yang sedikitpun memperlihatkan manisnya, indah dan bening, perlahan hukum membuat dunia bercahaya kemilau. Tetapi periode indah itu hanya sebentar. Tabiat buruk, menjengkelkan dan menakutkan dari hukum muncul lagi seiring dengan patahan, perginya orang hebat-hebat untuk selamanya.

Hikmahnya pun terlihat. Hukum yang nilai instrinsiknya memukau, ternyata pada level lain mengidap dualitas yang tak mudah disingkirkan. Apakah itu disebabkan hukum diciptakan, dibuat oleh orang? Tidak juga. Mengapa? Karena penggalan-penggalan sejarah menyuguhkan panorama indah seindah rembulan dalam urusan hukum. Kalau begitu apa penyebabnya?

Orang, sekali lagi orang yang harus ditunjuk sebagai penyebab terbesar, bahkan satu-satunya. Sejarah menyediakan lembar demi lembar catatan itu. Penguasa tersaji di atas meja sejarah sebagai faktor utama, yang mendekorasi dunia hukum. Hitam, putih, manis dan pahitnya hukum mengalir dari penguasa, dalam berbagai arti. 

Akal Belaka 

Memiliki sifat empiris sebagai hal dualistis, hukum menampilkan eksistensi sesuai hasrat pembentuk dan penegaknya. Dualitas ini mewakili dua entitas intrinsik yang satu dan lainnya saling menyangkal, walau kadang bisa seiring sejalan dalam nada dan tujuan yang sama indahnya.

Itu terlihat begitu jtelanjang pada sejarah Mesir kuno. Ini wilayah Firaun. Dan Firaun yang menjadi pangkal cerita utamanya menempatkan akal semata sebagai prima facie  pembentukan dan penegakan hukum. Disisi lain yang berdekatan, Persia kuno dan Romawi kuno juga sama dalam hampir semua aspeknya.

Sejarah memang tak selamanya adil mengungkap detail-detailnya. Catatan-catatan sejarah modern tentang hukum dan pemerintah hanya menempatkan warisan Romawi kuno mewarnai pemikiran hukum, politik dan negara. Apa bentuknya? Tinggalkan dulu itu sejenak. Mari susuri Mesir kuno yang  melambung menembus lapisan-lapisan langit bermil-mil jauhnya.

Firaun, untuk satu dan lain alasan yang dapat diverifikasi, cukup tepat disematkan sebagai sosok pengguna akal di atas segala-galanya. Akalnya melambungkan dirinya menggapai kesombongan tak perperikan. Akalnya yan membawanya pada pilihan anak-anak laki yang baru lahir pun harus dibunuh.

Dia korup sekorup-korupnya. Hukum yang dibuat dan dilaksanakannya menjadi cermin siapa dia. Semuanya dipandu dengan akal belaka. Dia adalah kerajaan itu sendiri, bahkan Dia adalah Tuhan buat dirinya dan sebagian rakyatnya. Tapi tidak untuk Musa Alaihissalam, Nabin Allah Subhanahu Wata’ala ini.

Firaun menjadi hukum itu sendiri. Dia juga jadi hakim untuk hukum yang dibuatnya sendiri. Dia adalah  algojo paling brilyan, yang pada level tertentu terlihat diadopsi oleh Gaius veres di Romawi kuno berabad-abad kemudian. Mereka sama dalam beberapa aspek; tak punya belas kasih.

Dia jadi langit untuk alamnya sendiri. Tetapi akal andalannya itu ternyata justru menjadi kebut tebal buat dirinya. Kabut itu memendekan jarak pandangnya, sehingga tak mampu mengetahui kalau masih ada langit lain di atasnya.

Itu mungkin menjadi cerita utama kegagalannya menolak Musa Alaihissalam, bati kecil yang kelak menjadi Nabi Allah, yang menantang dirinya. Bocah kecil itu, sampai di Istananya dengan cara yang tak dapat diterima akal abadi. Hanya akal Firaun, tertutup telah kabut kesombongan  harus menerima dan membiarkannya hidup di dalam Istananya.

Akal bekerja dengan caranya sendiri, dan hati juga bekerja dengan caranya sendiri. Cintanya pada Asyiah, istrinya, begitu alasannya, membawa dia mencari wanita yang tepat untuk mengurusi, menyusui Musa, sang nabi yang masih bayi itu. Akal  memenjarakan dirinya. Firaun tak mampu mengetahui bahwa yang menyusui Musa kecil itu, tidak lain adalah ibu kandungnya.

Firaun yang tersohor dengan keganasan dan keangkuhan dalam seluruh spektrumnya, entah merupakan sebuah skenario atau bukan, dapat dibilang menandai satu gerak linear sejarah. Akalnya tak dapat menembus masa lalu, suram, yang ditinggalkan Namrud. 

Namrud mendahuluinya untuk kesombongan yang hampir serupa. Sayang dia tak mampu mengambil hikmahnya. Firaun mengabaikan, melalaikan dan membiarkannya tanpa makna, tanpa hikmah. Itu soalnya.

Namrud dengan keangkuhan khas penguasa tolol, bertuhan akal sempit, dengan balutan otoritarian, menantang Nabi Ibrahim Alaihissalam. Ketika Nabi Ibrahim Alahissalam menyeru kepadanya menyembah Allah Ta’ala, ia menyepelekannya dengan keangkuhan tololnya.

Menyambut seruan Nabi Ibrahim itu, begitu tulis Hamid Ahmad At-Tahrir mengutip “Firman-Nya “Dia berkata Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Maksudnya ia (Namrud) juga bisa melakukan hal itu. Ia bisa menjaga kehidupan orang dengan cara, orang yang ingin dibunuh, dibiarkan tak dibunuh. Dan itu menurutnya adalah menghidupkan. Ia juga bisa membunuh siapa saja. Dan itu menurutnya adalah  mematikan. 

Ibnu Jurais berkata, begitu tulis At-Tahrir dalam lanjutan kajiannya tentang Namrud, ketika dua orang dihadapkan pada Namrud, lalu ia membunuh salah satunya dan membiarkan yang lainnya, ia mengatakan “Aku menghidupkan dan mematikan.”  Itu menjadi sebab yang meyakinkan Zaid bin Assalam berkata “sesungguhnya diktator pertama yang ada dimuka bumi ialah Namrud.

Menyatakan dirinya Tuhan “ketika menjawab ajakan seorang tamu yang mengajaknya menyembah Allah” Namrud malah menjawab “memangnya ada Tuhan selain aku? Tapi apa yang terjadi kelak disuatu sesudahnya? Tuhan ini (Namrud), nyatanya tak menantang nyamuk.

Namurd tak dapat memanggil kekuasaan dan kehebatannya yang tak tertandingi itu mengeluarkan nyamuk dari dalam batang hidunya. Nyamuk itu tinggal di dalam batang hidupnya selama 400 tahun. Namrud, sang tuhan jadi-jadian itu pun, harus harus terus-terusan memukul kepalanya sendiri selama itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement