Selasa 14 Apr 2020 11:15 WIB

Pengulangan Pidana Narapidana Bukti Pembinaan tak Berjalan

Upaya bebaskan narapidana di tengah pandemi corona harus dilakukan secara selektif.

Warga binaan berada di dalam Lapas Klas IIB Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (2/4/2020). Sebanyak 120 warga binaan lapas setempat mendapatkan asimilasi sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19. Keluarnya narapidana di tengah pandemi namun menimbulkan kekhawatiran publik.
Foto: Antara/Syaiful Arif
Warga binaan berada di dalam Lapas Klas IIB Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (2/4/2020). Sebanyak 120 warga binaan lapas setempat mendapatkan asimilasi sebagai upaya mencegah penyebaran Covid-19. Keluarnya narapidana di tengah pandemi namun menimbulkan kekhawatiran publik.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Rizkyan Adiyudha

Lebih dari 30 ribu narapidana di Tanah Air terpaksa dibebaskan oleh pemerintah. Alasan ruang tahanan yang kelebihan kapasitas hingga bisa memicu penyebaran virus corona jenis baru menyebabkan ribuan narapidana melenggang bebas sebelum waktunya.

Baca Juga

Masalah baru lalu muncul. Timbul ketakutan di publik, para narapidana yang dibebaskan melakukan aksi kriminal yang merugikan masyarakat. Terbukti sudah ada beberapa narapidana yang ditangkap kembali setelah dilepaskan karena perbuatan kriminal.

Pengamat Hukum Pidana Teuku Nasrullah mengatakan pembebasan terhadap lebih dari 30 ribu narapidana yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan pandemi virus corona jenis baru menjadi langkah yang dapat dilakukan di tengan kondisi saat ini. Ia bahkan menilai bahwa hal ini tepat dilakukan, namun dengan mengacu kepada tiga disiplin ilmu hukum yang mendasarinya.

“Melihat dari sudut pandang tiga disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum pidana, hukum penitensier, dan kriminologi, kebijakan untuk membebaskan narapidana ini tepat. Tetapi, dari 30 ribu yang dibebaskan saat ini tidak dilihat dari tiga disiplin hukum ini,” ujar Teuku Nasrullah kepada Republika.co.id.

Teuku menuturukan dilihat dari tiga disiplin ilmu hukum tersebut, serta undang-undang yang berlaku mengenai remisi, pembebasan narapidana di tengah kondisi saat ini dimungkinkan. Terlebih dengan pertimbangan rumah tahanan yang berpotensi membuat penyebaran virus sangat mudah terjadi, ia mencontohkan seperti ruang penjara berukuran 2x3 yang dapat dihuni oleh enam hingga tujuh orang.

Tetapi, Teuku menegaskan proses yang dilakukan untuk pembebasan narapidana yang dilakukan Kemenkumham saat ini tidak dilakukan secara selektif dan mengacu dari disipilin hukum tersebut. Salah satu disiplin ilmu hukum yang sangat penting untuk dilihat saat ini terkait pembebasan narapidana adalah penitensier, atau ilmu yang mempelajari pidana dan pemidanaan.

Teuku mengatakan pemidanaan bukan lagi bersifat sebagai pembalasan dendam, tetapi pembinaan. Karena itu, terkait pembebasan ini, ia menggarisbawahi apakah mereka yang dibebaskan sudah dalam kategori berhasil dibina.

“Saya dukung sepenuhnya narapidana dikeluarkan dengan mengacu tiga dispilin hukum ini. Bahkan mungkin 50 ribu hingga 100 ribu narapidana, tetapi proses dilakukan selektif. Apakah orang-orang yang dibebaskan sudah berhasil dibina, harus ada data, jangan ambil rata untuk mereka yang hanya sudah menjalani 2/3 masa hukuman saja,” jelas Teuku.

Teuku menekankan bahwa pengulangan tindak pidana oleh para narapidana yang dibebaskan saat ini adalah bukti bahwa mereka belum berhasil dibina selama menjalani masa tahanan. Karena itu, terkait kebijakan pembebasan ini harus dijalankan dengan operasional yang baik, melihat data dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) secara benar agar potensi terjadinya hal ini saat narapidana dilepas ke masyarakat akan sangat kecil.

Lebih lanjut Teuku mengatakan agar data yang dimiliki LP dapat menjadi tolak ukur yang baik dalam pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik. Ia menjelaskan bahwa di setiap blok LP ada petugas yang  mencatat perubahan perilaku setiap narapidana dari hari ke hari.

“Masalahnya memang kemungkinan ada kekeliruan karena beberapa faktor, seperti pertama narapidana berpura-pura untuk tujuan remisi, ini kan di luar kemampuan manusia. Kedua, yang terjadi masif, perubahan baik yg tercatat lebih kepada misalnya mereka memberikan sesuatu ke petugas, ini yang sangat bahaya,” kata Teuku.

Teuku mengatakan sikap mental dan moralitas dari para petugas LP yang baik dan tidak koruptid membuat dihasilkannya data yang akurat sebagai acuan memberikan remisi, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait narapidana.

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala meminta publik tidak memandang sinis kebijakan pemerintah yang membebaskan 30 ribu narapidana. Adrianus mengatakan, fasilitas kesehatan (faskes) dalam lapas sudah tentu tidak akan bisa menangani pasien Covid-19 alias corona. Lanjutnya, kapasitas tempat tidur pasien yang dimiliki faskes di lapas juga tidak akan sanggup menampung pasien yang terpapar nantinya.

"Makanya ada pertimbangan untuk mengeluarkan mereka yang memang sudah berhak untuk menerima asimiliasi," kata Adrianus Meliala. Meski demikian, dia tidak menampik bahwa ada beberapa dari puluhan ribu narapidana yang dibebaskan itu kembali melakukan tindak kriminal setelah dibebaskan. Dia menduga hal itu dikarenakan proses pengecekan latar belakang pemberian asimilasi itu dipercepat.

Dia mengatakan, dalam kondisi normal narapidana yang mendapat asimilasi akan menjalani sidang hingga dicek terlebih dahulu akan kelakuan baik mereka selama mendekam. Dia melanjutkan, percepatan itu pada akhirnya membuat beberapa kualifikasi guna mendapatkan asimilasi terlewatkan dan membuat mereka diputuskan keluar penjara.

"Saya meduga karena tidak ada filter maka kemudian mereka-mereka yang tidak menunjukkan good behavior itulah yang berbuat aneh-aneh di luar," katanya.

Adrianus mengaku mengamati bahwa sekitar lima hingga enam orang saja yang telah dibebaskan dan kemudian mengulangi tindak kriminal mereka. Dia lantas meminta publik tidak memandang negatif kebijakan yang dikeluarkan pemerintah karena perbuatan segelintir orang.

"Jadi jangan karena segelintir lalu langkah kemanusiaan ini menjadi jelek citranya. mereka kan juga manusia," katanya.

Dia mengatakan, para narapidana setelah keluar dari lapas juga sudah bukan menjadi tanggungan pemerintah. Namun, dia mengungkapkan, mereka masih mendapatkan pengawasan dari balai pemasyarakatan (bapas) atau istilahnya probation service.

Dia mengungkapkan, mengingat jumlah narapidana yang dilepas teralalu banyak maka Kemenkum HAM telah meminta bantuan kejaksaan dan kepolisian untuk mengawasi mereka. Dia berpendapat bahwa kembali tertangkapnya narapidana usai dibebaskan merupakan bukti bahwa ketiga lembaga itu bekerja.

Meski demikian, menurutnya, pemerintah telah memberikan sejumlah stimulus sosial kepada seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu, sambung dia, dilakukan tanpa melihat latar belakang warga baik bekas narapidana atau tidak namun mengacu pada pendataan penduduk alias KTP.

Aksi kriminal yang dilakukan oleh narapidana yang dibebaskan tercatat terjadi di sejumlah daerah. Di Palembang narapidana resedivis kembali beraksi melakukan curanmor. Seorang narapidana yang dibebaskan karena asimilasi di Surabaya, Jawa Timur, kembali masuk penjara karena menjambret di Jalan Raya Darmo.

Sebelumnya, Kemenkumham mengeluarkan dan membebaskan 35.676 narapidana dan anak melalui program asimilasi dan integrasi berkenaan dengan pandemi Covid-19, seperti dirilis dalam data pada 8 April lalu. Menurut Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen PAS, Rika Aprianti, program asimilasi dan integrasi akan terus dilakukan hingga status kedaruratan terhadap penanggulangan wabah yang ditetapkan pemerintah berakhir. Hal tersebut sesuai dengan penetapan pemerintah, pasal 23 Permenkumham No. 10 Tahun 2020.

Dalam Pasal 23 disebutkan, narapidana menerima asimilasi atau integrasi telah menjalankan 2/3 masa pidananya. Sementara anak telah menjalankan setengah masa pidananya sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.

Program asimilasi dan integrasi tersebut tidak berlaku bagi pelaku kejahatan tindak pidana luar biasa seperti teroris dan korupsi sebagaimana Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur pengetatan remisi.

photo
Pembatasan Sosial Berskala Besar di DKI - (mgrol100)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement