Senin 13 Apr 2020 22:47 WIB

Tak Hanya Dakwah Teoritis, Satgas MUI Tangani Krisis Pandemi

Tidak mungkin orang lapar diceramahi dan sakit kemudian diberikan fatwa.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis berpose untuk Republika  pada gelaran Festival Republik dan Dzikir Nasional 2019 di Masjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (1/1).
Foto: Thoudy Badai_Republika
Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis berpose untuk Republika pada gelaran Festival Republik dan Dzikir Nasional 2019 di Masjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, Rabu (1/1).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Juru bicara Satgas Covid-19 MUI, KH M Cholil Nafis mengatakan MUI sebagai lembaga Islam tertinggi di Indonesia tidak hanya bergerak dalam dakwah teori semata apalagi di tengah pandemi Covid-19.

"Sesuai dengan kebutuhan publik MUI memiliki berbagai komisi, seperti komisi fatwa, kajian dan dakwah. Terjadinya krisis pandemi Covid-19 ulama menganggap bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan individu tetapi juga kita semua. Sehingga dalam rapat kami menganggap perlu membentuk satgas untuk Covid-19," jelas dia dalam MUI Dakwah Online, Senin (13/4).

Namun kerja Satgas Covid -19 MUI ini bukan untuk sekadar berdakwah. Karena tidak mungkin orang lapar diceramahi dan sakit kemudian diberikan fatwa.

Ketika kondisi lahiriah masyarakat mulai lebih baik maka ulama bisa kembali berdakwah di tengah mereka. Satgas Covid -19 ini memiliki dua tugas besar.

Pertama, kembali mensosialisasikan fatwa dan panduan terkait tindakan dan perilaku yang berhubungan dengan ibadah keagamaan selama pandemi. Kedua, terjun ke lapangan untuk membantu masyarakat terdampak Covid-19.

"Masih banyak kesalahpahaman yang terjadi pada fatwa yang telah disampaikan MUI terkait Covid-19. Seperti fatwa mengenai shalat Jumat, MUI sebenarnya tidak melakukan pelarangan, fatwa sifatnya adalah imbauan sedangkan pihak yang berhak melarang adalah pemerintah daerah setempat," jelas dia.

Perlu diperjelas kembali jika di satu daerah sudah masuk dalam zona merah maka shalat Jumat boleh ditiadakan dan orang yang terinfeksi virus haram hukumnya mengikuti shalat Jumat tersebut. Namun bagi daerah yang masih zona hijau selama pemerintah daerah tidak melarang masih dibolehkan untuk sholat Jumat.

Pihak yang berhak menentukan pengaturan zona adalah pemerintah bersama tim medis setempat. Tak hanya itu, Kyai Cholil juga mengimbau bagi mereka yang telah terinfeksi amupun masih bergejala tak hanay obat-obatan dan makanan bergisi, tetapi juga perlu dimotivasi, karena penguatan batin amatlah penting.

"Penguatan bathin ini yang akan dibahas, program seperti apa yang akan kami lakukan untuk diberikan di setiap rumah sakit rujukan misalnya,"ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement