Senin 13 Apr 2020 16:19 WIB

Papua: Kirim Kami APD dan Rapid Test

Dua dokter di Papua diisolasi terkait Covid-19.

Petugas kesehatan memeriksa suhu tubuh salah satu warga di Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom, Papua, Senin (13/04/20). Pemerintah Kabupaten Keerom melakukan pencegahan COVID-19 melalui pemeriksaan penumpang serta penyemprotan disinfektan ke barang bawaan maupun kendaraan yang hendak masuk Kabupaten Keerom melalui pintu utama Arsopura
Foto: ANTARA/ indrayadi th
Petugas kesehatan memeriksa suhu tubuh salah satu warga di Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom, Papua, Senin (13/04/20). Pemerintah Kabupaten Keerom melakukan pencegahan COVID-19 melalui pemeriksaan penumpang serta penyemprotan disinfektan ke barang bawaan maupun kendaraan yang hendak masuk Kabupaten Keerom melalui pintu utama Arsopura

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA – Penularan Covid-19 di wilayah Papua masih terus menunjukkan peningkatan. Pihak-pihak berwenang yang menangani pandemi di wilayah tersebut meminta bantuan guna mengatasi keterbatasan alat pelindung diri (APD) dan alat rapid test alias tes cepat.

“Tidak usah bicara banyak-banyak. Kirim saja itu APD dan rapid test. Biar kami urus dari sini. Biar kami bisa segera isolasi jika ada yang tertular. Sa (saya) kasih makan, sa kasih tempat sampai mereka sembuh,” kata juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Papua, dr Silwanus Sumule, saat dihubungi Republika.co.id, Senin (13/4).

Ia menyatakan, bantuan tersebut diperlukan karena infrastruktur kesehatan di Papua akan kewalahan jika Covid-19 tak segera ditangani. Menurut dia, saat ini pelayanan kesehatan di Papua masih didera kekurangan jumlah sumber daya manusia, distribusi tenaga kesehatan yang tak merata, serta minimnya kompetensi tenaga kesehatan.

Ia menyatakan, di seluruh Provinsi Papua hanya ada tujuh dokter spesial paru-paru. Dokter spesialis itulah yang sangat dibutuhkan guna menangani pasien Covid-19. “Sementara, dokter-dokter itu hanya ada di kota-kota. Yang di kampung-kampung hanya perawat-perawat yang sudah tua,” kata dr Silwanus.

Dari jumlah tenaga medis yang minim itu, menurut dia, sudah dua dokter yang harus diisolasi dengan dugaan tertular Covid-19 sehingga tak bisa bertugas. “Jadi, dari awal saya sudah teriak. Kami kunci orang (melakukan pembatasan pergerakan manusia) karena begitu kondisinya. Bisa lihat sendiri di sini,” ujarnya.

Selain itu, ada juga faktor budaya di Papua yang sangat mementingkan kehidupan komunal. “Jadi, yang pernah di Papua pasti sudah tahu, toh bahwa kami di sini hidupnya suka berdekatan,” kata dia. Hal itu, menurut dia, ikut meningkatkan potensi penularan Covid-19 di Papua.

Ia menyatakan, sementara ini Provinsi Papua belum memohon restu penerapan pembatasan sosial berskala besar (PPSB) karena mereka sejak awal penularan terdeteksi di Papua sudah menerapkan pembatasan sosial yang diperluas dan diperketat. Salah satu bentuknya, pergerakan manusia dibatasi antarkabupaten, baik melalui jalur darat, laut, maupun udara. Pembatasan juga berlaku bagi kedatangan dari luar daerah.

Sejauh ini, di Papua terdapat 63 pasien positif Covid-19 dengan lima orang sembuh dan tiga meninggal. Menurut dr Silwanus, tingkat kematian di Papua disebabkan mereka yang tertular kebanyakan berusia 50 sampai 60 tahun. “Kami hanya punya satu pasien yang umurnya 40 tahun,” kata dia. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement