Sabtu 11 Apr 2020 11:52 WIB

Kelompok Islamofobia Manfaatkan Isu Corona Sudutkan Muslim

Islamofobia terjadi di sejumlah negara selama pandemi corona.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Gerakan Islamofobia Manfaatkan Covid-19 untuk sudutkan Muslim. Foto: Ilustrasi Penyebaran Virus Corona
Foto: MgIT03
Gerakan Islamofobia Manfaatkan Covid-19 untuk sudutkan Muslim. Foto: Ilustrasi Penyebaran Virus Corona

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kelompok-kelompok sayap kanan telah mengambil keuntungan dari ketakutan orang-orang terhadap pandemi covid-19 (virus corona), melalui teori konspirasi dan disinformasi dengan menjelek-jelekkan kaum Muslim, dan menyebarkan propaganda Islamofobia. Di Inggris, polisi kontraterorisme telah menyelidiki puluhan kelompok sayap kanan yang dituduh memicu insiden anti-Muslim selama beberapa pekan terakhir.

Sementara di Amerika Serikat, situs website sayap kanan telah menyebarkan propaganda anti-Muslim secara daring. Mereka menyebarkan teori konspirasi palsu bahwa gereja-gereja di negara itu akan dipaksa untuk tutup selama pandemi, sementara masjid akan tetap terbuka untuk beribadah.

Baca Juga

"Sayangnya, yang kami lihat yakni virus corona sebagai alasan untuk rasis dan xenofobik yang ada didorong ke depan dan tengah," kata Direktur First Draft News AS, sebuah organisasi nirlaba yang didedikasikan untuk menangani disinformasi, kata Claire Wardle, dilansir dari Huffpost, Sabtu (11/4).

Sementara di India, para ekstrimis menyalahkan seluruh populasi Muslim di negara itu. Ekstrimis mengklaim muslim sengaja menyebarkan virus melalui "corona-jihad".

Banyak di antara pelaku propaganda anti-Muslim memiliki sejarah mendokumentasikan pembuatan konten xenophobia, dan Islamofobia sebelum pandemi corona. Mereka membuat statistik tentang infeksi virus dan menciptakan cerita yang menyalahkan umat Islam atas krisis.

Konten penyebaran informasi palsu dan kebencian menyebar semakin mengkhawatirkan. Hal ini karena banyak orang tinggal di rumah, mereka sering mendapatkan berita dan bersosialisasi secara daring.

Di India, tagar dan meme Islamofobia dimulai segera setelah wabah. Sentimen anti-Muslim sudah sangat tinggi di sana, dan lebih dari 50 orang telah tewas dalam kerusuhan anti-Muslim semenjak Februari. Pandemi covid-19 mengintensifkan Islamophobia di negara itu.

Pihak berwenang India mengaitkan hampir 1.000 kasus Covid-19, dengan kelompok Muslim pinggiran yang menolak seruan untuk tinggal di rumah dan mengadakan konferensi tahunannya. Para politisi dengan cepat menyalahkan populasi Muslim untuk penyebaran virus. Namun penilaian tersebut salah, mayoritas populasi Muslim India mengutuk acara tersebut dan menghormati seruan karantina.

Kemudian muncul video-video viral yang menyatakan muslim meludahi polisi dan warga India yang bukan Muslim untuk menuduh menyebarkan virus. Sebuah fenomena yang dijuluki "corona-jihad" atau "bio-jihad".

Sejumlah berita juga melaporkan informasi yang keliru dan meme xenofobik. Mereka melukiskan Muslim dengan karakter kartun jahat yang sengaja menyebarkan virus.

Menurut sebuah kelompok hak asasi manusia digital Asia Selatan yang berbasis di AS, Equality Labs, Xenophobia ini menyebar secara daring. Tagar #coronajihad digunakan hampir 300 ribu kali antara 29 Maret dan 3 April, sebagian besar di India dan AS. Organisasi ini melacak ratusan tagar anti-Muslim, banyak yang menggambarkan Muslim sebagai pembom bunuh diri yang diikat dengan "bom virus" dan termasuk istilah-istilah seperti "#IslamicVirus, #BioJihad, dan #MuslimVirus".

Meme dan rumor ini telah menyebabkan kerugian besar. Seorang lelaki Muslim di India dilaporkan meninggal karena bunuh diri setelah masyarakat desanya mengucilkannya, karena mereka curiga ia terinfeksi covid-19 setelah berhubungan dengan muslim yang dinyatakan positif mengidap penyakit tersebut.

Selain itu, pedagang buah Muslim dilarang dan dipaksa untuk menutup operasinya di Haldwani, sebuah kota di India yang dikenal dengan pasar perdagangannya.

Sementara itu, di Inggris, kaum nasionalis kulit putih menyatakan di sosial media bahwa kaum Muslim melanggar peraturan 'lockdown', dan mengabaikan aturan isolasi dengan berkumpul di luar dan di masjid-masjid. Mereka membagikan rekaman lama yang diambil sebelum 'lockdown'. Kelompok-kelompok advokasi Muslim seperti Tell Mama dan polisi semenjak itu memerangi propaganda tersebut.

Tokoh-tokoh sayap kanan di Inggris juga menuduh Muslim sebagai "25 persen dari kasus virus corona" di negara Inggris. Ini karena mereka menolak untuk mengisolasi diri.

Taktik serupa digunakan oleh tokoh-tokoh sayap kanan di AS. Mereka menyebut peraturan perlindungan akan dicabut tepat pada waktunya pada bulan Ramadhan untuk mengakomodasi umat Islam, sementara itu komunitas agama lain diabaikan, seperti mereka yang merayakan Paskah.

Kelompok-kelompok advokasi meminta perusahaan media sosial untuk melakukan sesuatu dalam menghentikan propaganda anti-Muslim dan seruan kebencian. Koalisi kelompok advokasi merilis surat banding publik kepada CEO Facebook Mark Zuckerburg dan CEO Twitter Jack Dorsey, mendesak mereka untuk berbuat lebih banyak untuk menghentikan peningkatan pesat disinformasi daring anti-Muslim.

Equality Labs, yang mempelopori surat itu, juga meluncurkan tagar #StopCOVIDIslamophobia di Twitter untuk meningkatkan kesadaran Islamofobia, yang tersebar luas di tengah pandemi tersebut.

"Organisasi dan perusahaan seperti Facebook dan Twitter memiliki tanggung jawab besar, dan mereka bertanggung jawab atas apa yang terjadi di platform mereka ketika orang-orang hampir mati karena sesuatu yang mereka baca di Twitter, yang merupakan tempat sebagian besar tagar ini lepas landas," kata seorang juru bicara di Equality Labs.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement