Jumat 10 Apr 2020 11:42 WIB

Tawakal dan Fokus Pegangan Manusia Menghadapi Covid-19

Sangat penting kehati-hatian dalam hal dan situasi kompleks seperti sekarang ini.

Virus corona (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Virus corona (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Jhody Arya Prabawa*

Wabah penyakit seperti virus corona atau Covid-19 bukanlah kejadian baru di bumi manusia ini. Dalam catatan sejarah peradaban dunia, pandemi seperti ini sudah beberapa kali terjadi. Manusia pernah mengalami epidemi pada tingkat yang paling dahsyat sekalipun pada zaman dahulu.

Namun, kondisinya juga perlu disikapi. Salah satu caranya adalah belajar dari sejarah, sebagaimana Bung Karno bilang, Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah) dan dikatakan oleh George Santayana, “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”.

Karena itu ada dua hal mendasar yang baiknya dilakukan manusia dalam menghadapi pandemi yang mewabah di lebih dari 170 negara ini, yakni tawakal dan fokus.

 

Tawakal

Saat ini sedang populer adanya argumen yang dibangun dan disebarluaskan; jangan takut shalat di masjid, karena masjid adalah rumah Allah, virus corona adalah ciptaan Allah, maka ini ujian untuk keimanan, justru harus makin rajin ke masjid karena Allah yang akan menjaga, dan hidup mati sudah ditentukan. Lalu ada juga yang bilang “Ini Masjid Phobia,” padahal semua rumah ibadah agama lain juga mengalami situasi yang sama, jadi tidak hanya terjadi pada Islam kita semata.

Bagi saya orang-orang yang menghindari kerumunan di masjid maupun mushala justru merupakan bagian dari menjaga dan memakmurkan masjid. Bahkan di Baitullah pun umroh diberhentikan dulu dan dibatasi sekali saat ini, sebagaimana di tempat-tempat suci umat agama lain di dunia.

Imbauan (bukan larangan) terkait berjamaah di masjid, saat ini, justru adalah bentuk lain dari adanya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan perwujudan Islam yang rahmatan lil’alamin, yaitu Islam yang memikirkan kemaslahatan umat dalam arti luas. Sehingga akan menjadi aneh jika memaksakan argumen bahwa hal itu adalah bentuk ketakutan pada virus dan kematian, dan lalu dipertentangkan dan atau sengaja dibenturkan dengan sikap bahwa takut hanya boleh kepada Allah.

Logika begini agak ngeri kalo dipakai sembarangan. Nanti para Nabi mulia bisa-bisa dituduh “pengecut” jadinya, seolah lebih takut pada manusia ketimbang Allahnya.

Rasulullah SAW pernah menghindari upaya jahat dari kaum Musyrikin Quraish, lalu Nabi Musa AS juga pernah lari dari kejaran pasukan Fir'aun, dan Nabi Ibrahim AS pun pernah bersembunyi dari tentara Raja Namrud. Jadi memang sangat penting kehati-hatian dalam hal dan situasi kompleks seperti sekarang ini.

Mencegah penyebaran virus merupakan wujud perintah syariah, sebagai bentuk ketaqwaan kepada Allah SWT agar mendahulukan menghindari mudharat ketimbang mengejar manfaat, jika memang pilihan dan situasinya kompleks seperti saat ini. Padahal Rasulullah SAW menjelaskan agar mengikat unta kita terlebih dahulu baru kemudian bertawakal. Dan dalam ushul fiqh juga jelas kaidahnya: menghindari mudharat lebih diutamakan ketimbang mengejar manfaat dalam situasi begini!

‎دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ

"Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement