Rabu 08 Apr 2020 06:59 WIB

Buya Hamka dan Wacana Emansipasi Islam (Bagian 2)

Buya Hamka dan Feminisme

Buya Hamka dan isterinya
Foto: Google.com
Buya Hamka dan isterinya

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh: Priyanka Kusuma Wardhani – Peminat Sejarah Islam di Indonesia

Sebagian pihak menuding Al-Qur’an bias gender.
Buya Hamka meluruskan kekeliruan tersebut.

Al-Qur’an Bias Gender?

Menurut kelompok feminis Islam, salah satu alasan adanya ketimpangan sosial dalam memandang perempuan di masyarakat disebabkan pemahaman dan penafsiran Islam yang distortif dan bias gender. Ada beberapa ayat di Al-Qur’an yang dianggap meletakan perempuan sebagai kaum inferior. Anggapan bahwa perempuan sebagai the second human being bahkan sudah dimulai sejak kisah penciptaan Adam dan Hawa.

Menurut Musdah Mulia, seorang aktivis perempuan Indonesia, ayat ini membawa pada pemahaman bahwa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah. Hawa diciptakan setelahnya dan konon berasal dari tulang rusuk Adam.

Makna yang menyebar, menurut kelompok feminis, dalam masyarakat terhadap ayat ini adalah anggapan bahwa perempuan hanyalah kaum kelas dua. Perempuan dianggap sebagai subordinat laki-laki sebab hanya tercipta dari bagian tubuh laki-laki. Kaum feminis memandang bahwa hal ini membawa perempuan pada posisi pelengkap kehidupan laki-laki saja. Perempuan bukanlah makhluk utama sebab itu tidak pantas berada di depan atau sebagai pemimpin.

Tidak cukup didiskreditkan menjadi karena tercipta dari bagian tubuh laki-laki, perempuan disalahkan atas turunnya manusia ke Bumi.Setidaknya anggapan yang berkembang di masyarakat seperti itu menurut. Hawa-lah yang pertama kali terkena bujukan setan untuk memakan buah terlarang.

Cerita ini, menurut Musdah, membuat perempuan mendapat stigma sebagai “…makhluk penggoda dan dekat dengan iblis.” Citra buruk tersebut membuat perempuan memiliki keterbatasan ruang gerak dalam menjalankan kehidupan sosial.

Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 34 turut dianggap memojokan kedudukan perempuan. Karena laki-laki yang disebut sebagai pemimpin bagi perempuan, maka perempuan tidak layak untuk memimpin. Ditambah lagi dengan penilaian kalau perempuan memiliki fisik lemah dan akal yang pendek serta perasaan yang halus. Dikhawatirkan, perempuan tidak bisa mengambil keputusan dengan tegas.

Menurut Musdah, ketiga contoh ayat di atas membawa opini bahwa kedudukan perempuan itu rendah. Laki-laki dianggap lebih superior dibanding perempuan. Sayangnya, masih menurut Musdah, pemahaman bias gender dalam Al-Qur’an tersebut dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Namun, apakah memang benar bahwa Al-Qur’an menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi kedudukannya dibanding perempuan?

                      *******

Tafsir Buya Hamka Terhadap Ayat ‘Bias Gender’

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang dikenal luas sebagai Hamka merupakan salah satu buya terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Taufiq Ismail menyebutkan bahwa Buya Hamka merupakan sosok panutan yang berhati mulia “...teladan manusia berjiwa besar, pemaaf, dan berlapang dada.” Jusuf Kalla memuji Buya Hamka sebagai tokoh yang komplit “...tak ada ulama yang selengkap Buya Hamka. Dia ahli agama, sastrawan, juga pemikir.”

Terlahir sebagai putra Haji Abdul Karim Amrullah, ulama masyur dari Minangkabau, Buya Hamka sejak lahir sudah dicita-citakan menjadi seorang ulama oleh ayahnya. Saat kelahirannya, ayahnya mengatakan “sepuluh tahun.” Artinya tak lain jika usia Buya Hamka nanti sudah sepuluh tahun, akan dikirimnya dia ke Mekkah untuk belajar agama dan menjadi alim seperti ayah dan leluhurnya.

Pada kenyataannya, Buya Hamka merantau ke Jawa pada usia 15 tahun terlebih dahulu untuk berguru kepada H.O.S. Cjokroaminoto, Haji Fachroddin, R.M. Surjopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, dan Buya Sutan Mansyur. Tidak hanya ilmu agama saja yang dipelajari, beliau juga mempelajari ilmu sosial dan logika dari guru-gurunya itu.Ketika usianya belum 18 tahun, beliau baru berangkat ke kota Mekkah untuk semakin mendalami agama Islam.

Masa kecil Buya Hamka tidak dilaluinya dengan mulus. Kedua orang tua kandung Buya Hamka bercerai saat usianya baru 12 tahun. Perceraian kedua orang tuanya sempat membuat hidup Buya Hamka goyah. Namun, tekad untuk menjadi manusia berguna tertancap kuat di hatinya. Tekad itu yang membangkitkan lagi semangat hidup Buya Hamka dan berniat untuk terus belajar dan membaca.

Haji Abdul Karim Amrullah sebenarnya memiliki dua istri selain Syafiyah, ibu kandung Buya Hamka, yaitu Hindun dan Rafi’ah. Sebelum itu, istri pertamanya, Raihanah meninggal ketika melahirkan anaknya. Namun, pada tahun 1920 beliau bercerai dengan Syafiyah dan pada 1929 berpisah dengan Rafi’ah. Pada tahun 1944, Hindun meninggal dunia. Syekh Abdul Karim kemudian menikah lagi dengan Dariyah yang menemani selama di pengasingan. Selain itu, beliau pun beberapa kali menikah tetapi tidak lama usia pernikahannya.

Meskipun ayahnya berpoligami, Buya Hamka tidak pernah memandang nista kaum perempuan. Bukan berarti pula beliau pro-feminisme. Posisi beliau jelas, tidak mendukung feminisme. Buya Hamka menyebukan bahwa kaum feminisme mengubah pusaka agamanya yang jelas. Feminisme hanyalah salah satu produk kaum orientalis yang berusaha menjauhkan umat Islam dari agamanya.

Dalam beragam tafsir dan tulisannya tentang perempuan, Buya Hamka menguraikan kemuliaan perempuan dalam Islam menurut dalil dari Al-Qur’an dan hadist. Betapa sempurnanya Islam mengatur hak dan kewajiban umat manusia, baik laki-laki maupun perempuan, secara adil. Meskipun sudah ditulis beberapa tahun silam, tulisan beliau masih sangat relevan untuk menjawab logika kaum feminis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement