Rabu 08 Apr 2020 05:45 WIB

Defisit Melonjak Capai Rp 853 Triliun, Ini Jurus Sri Mulyani

Pemerintah menerapkan strategis dinamis, oportunistik, dan tetap berhati-hati.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Foto: dok. Humas Kementerian Keuangan
Menteri Keuangan Sri Mulyani.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Defisit anggaran tahun ini diperkirakan mencapai Rp 853 triliun, naik dari proyeksi sebelumnya, Rp 307,2 triliun. Untuk menutupinya, pemerintah berkomitmen menjalankan strategi pembiayaan yang bersifat sangat dinamis dan oportunistik, namun dengan tetap berhati-hati.

Pemerintah akan berhati-hati dalam menghadapi situasi pasar yang bergejolak di tengah tekanan dampak dari pandemi virus corona (Covid-19).

Baca Juga

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, langkah tersebut diturunkan dengan mencari sumber pembiayaan yang memiliki risiko paling kecil.

"Kita akan gunakan sumber-sumber pembiayaan paling aman dan biayanya paling kecil sebelum kita mengambil instrumen lain yang memiliki tingkat biaya dan responsible tinggi," katanya dalam teleconference dengan media, Selasa (7/4).

Di sisi lain, pemerintah juga tetap fleksibel dalam mencapi kesempatan terbaik. Dalam sentimen market yang sangat buruk sekarang, Sri menilai, tetap akan ada kesempatan bagi pemerintah untuk masuk dengan instrumen menarik bagi para investor.

Saat ini, sudah muncul beberapa berita positif, terutama pemulihan di China. Sri mengatakan, kondisi itu berpotensi menimbulkan keinginan investor kembali. Kesempatan ini akan digunakan, terutama untuk penerbitan global bond atau surat utang dengan denominasi dolar AS.

Adapun oportunistik yang dimaksud adalah dari sisi waktu dan ukuran. Sri menjelaskan, pihaknya tidak memiliki target khusus lelang sekian dalam satu pekan atau dalam tiap penerbitan.

"Kita gunakan seluruh kesempatan yang ada dan lihat appetite, risiko dari calon investor serta kebutuhan APBN kita," tuturnya.

Meningkatkan hubungan dengan lembaga-lembaga keuangan domestik juga terus dilakukan, terutama dalam pembelian Surat Berharga Negara (SBN). Misalnya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang memegang dana penjaminan hingga Rp 125 triliun. Dana tersebut harus diletakkan pada instrumen investasi dan salah satu yang disebut Sri sebagai preferensi adalah SBN.

Selain LPS, badan pengelola haji, PT Taspen (Persero) dan BPJS Ketenagakerjaan juga menempatkan dana masyarakat ke instrumen investasi yang dianggap aman dan reliable, yaitu SBN.

"Mereka mengelola uang masyarkat, jadi harus berhat-hati menempatkannya ke instrumen," kata Sri.

Sumber lain yang mungkin digunakan adalah pinjaman dari lembaga multilateral dan bilateral seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) maupun Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB).

Sri menyebutkan mereka sebagai sumber penting. Sebab, mereka memiliki sumber dana yang dapat dipinjam ke negara berkembang dengan konsesi cukup baik.

"Mereka juga tidak ikut market yang cukup besar fluktuasinya. Ini berdampak positif ke komposisi pijakan yang kami lihat cukup aman," ucapnya.

Meski dinamis, Sri memastikan, pemerintah tetap semaksimal mungkin untuk predictable atau bergerak dengan pola. Ia menggambarkan dinamis dengan memberikan kesempatan untuk melakukan penyesuaian secara hati-hati dan calculated.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement