Selasa 07 Apr 2020 16:19 WIB

Teori Imam Suyuthi Terkait Gempa dan Pengobatan Nabawi

Imam Suyuthi mempunyai teori soal gempa dan pengobatan Nabawi.

Imam Suyuthi mempunyai teori soal gempa dan pengobatan Nabawi. Ilustrasi Gempa
Foto: Pixabay
Imam Suyuthi mempunyai teori soal gempa dan pengobatan Nabawi. Ilustrasi Gempa

REPUBLIKA.CO.ID, Imam Jalaluddin As Suyuthi dikenal sebagai ulama multitalenta. Dia tidak hanya menguasai ilmu-ilmu dasar agama, tetapi juga disiplin ilmu lainnya.  

Syekh Muhammad Said al-Mursi dalam Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, menjelaskan, kesibukan harian as-Suyuthi adalah mengarang, meresume, dan membuat syarah (penjelasan) lebih dari 600 judul buku.

Baca Juga

Banyak di antara karya-karyanya tersebut yang sudah dipublikasikan. Buku pertama yang ditulisnya adalah Syarh Al-Isti'aadha wa al-Basmalah. Buku ini ia tulis pada 866 H, saat usianya 17 tahun. Tidak sedikit dari karya-karyanya yang juga mengupas mengenai ilmu pengetahuan alam dan eksakta, di antaranya mengenai gempa bumi dan kedokteran. 

As Suyuthi tercatat sebagai ilmuwan pertama yang menulis mengenai studi awal bagaimana bertahan dari gempa bumi. Ia tak mengikuti teori fisik tentang gempa bumi yang diadopsi Al Kindi, Ibnu Sina, Al Qazwini, maupun Al Tifashi. 

Sebaliknya, As Suyuthi malah menerima teori pseudo-fisik gunung Qaf dan menceritakan bahwa gempa bumi dan bencana alam lainnya adalah hukuman dari Tuhan terhadap orang-orang berdosa. Dia kemudian membuat catatan 130 gempa bumi yang terjadi di berbagai wilayah Muslim. 

Karya As Suyuthi ini menginspirasi karya-karya lainnya dalam menjelaskan tentang gempa bumi. Muridnya, Al Dawudi, menambahkan informasi tentang delapan gempa bumi yang terjadi di Kairo, Mesir. Murid lainnya, Abdulqadir As-Syadzili, hidup pada 1528 M, melakukan hal sama.

As Syadzili menuliskan pengalamannya saat mengalami dua gempa bumi. Lalu, ada Badr Al Din Al Ghazzi, yang pada 1576 memberikan informasi tentang tiga gempa bumi yang terjadi di Damaskus, Suriah. Najm Al Din Al Ghazzi menuliskan 12 gempa bumi di sejumlah tempat.

Sementara itu, terkait dengan kedokteran, Jalaluddin As Suyuthi, sebagaimana disampaikan pada Seminar Pengobatan Ilmiah dan Islam di Universitas Diponegoro Semarang, guru besar Epidemologi dan Kedokteran Islam, Universitas Brunei Darussalam, Prof Dr Omar Hasan Kasule MB ChB MPH, mengungkapkan, upaya pengobatan penyakit melalui tindakan pencegahan (preventif) menurut kacamata Islam, tergantung pada kondisi ilmu pengetahuan serta perubahannya mengikuti ruang dan waktu.   

Prof Kasule dalam makalahnya ini, menulis sebuah buku tentang thibb an-Nabawi (pengobatan cara Nabi) yang bertajuk Mukhtashar al-Tibb al-Nabawi. Dalam bukunya itu, As Suyuthi membagi pengobatan menjadi tiga jenis: tradisional, spiritual dan pencegahan. 

Kebanyakan thibb an-Nabawi, menurut As Suyuthi, merupakan pencegahan. Konsepnya tergolong ilmu pengetahuan yang sangat maju pada masa hidup Rasulullah SAW serta diyakini merupakan ilham yang turun langsung dari Allah. As Suyuthi menguraikan langkah medis preventif seperti makanan dan olah raga.

Langkah medis preventif lainnya yang dijabarkan As Suyuthi adalah sebagaimana yang diajarkan di dalam hadis. Antara lain, meliputi karantina untuk penderita wabah, hijr sihhi, melarang urinasi pada air yang tenang (tidak mengalir), penggunaan sikat gigi, siwaak, perlindungan rumah pada malam hari dari kebakaran dan penyakit pes, meninggalkan sebuah negara karena keadaan air dan iklimnya, kesehatan mental dan pernikahan, kesehatan pernikahan dan seksual, kontrol diet untuk mencegah berat badan berlebihan, menjaga kebersihan dan mencegah najis.

Sementara pengobatan dengan metode spiritual, As Suyuthi menerangkan bahwa ada aspek-aspek spiritual dari penyembuhan dan pemulihan. Doa, pembacaan Alquran, dan mengingat Allah sebagai satu-satunya sesembahan. 

Penyakit psikosomatik dapat merespons pendekatan spiritual. Penggunaan ruqyah (surat Al Fatihah dan Al Mu'awadzzatain/ Al Falaq dan An Naas) jatuh di antara proses penyembuhan fisik dan spiritual. Bagian penyembuhan dari ruqyah bisa dipahami dalam istilah modern: bahwa jiwa mampu mengendalikan mekanisme kekebalan tubuh yang mencegah penyakit.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement