Selasa 07 Apr 2020 15:15 WIB

Ombudsman DKI Saran Pembatasan Mobilitas Warga Sesuai PSBB

Sekarang ini, perlu pembatasan alur keluar masuk warga ke maupun dari Jakarta.

Warga beraktivitas di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah resmi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta dalam rangka percepatan penanganan COVID-19, penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Warga beraktivitas di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (7/4/2020). Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah resmi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di wilayah DKI Jakarta dalam rangka percepatan penanganan COVID-19, penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/239/2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk segera melakukan pembatasan alur keluar masuk (mobilitas) warga ke dan dari Jakarta. Hal itu sesuai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.

"Yang terpenting dilakukan saat ini adalah pembatasan alur keluar masuk warga ke maupun dari Jakarta, walaupun dengan PSBB sangat terbatas," kata Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jakarta Raya Teguh P Nugroho ketika dikonfirmasi di Jakarta, Selasa (7/4).

Baca Juga

Menurut Teguh, alur keluar masuk warga ke dan dari Jakarta sebagai potensi penyebaran COVID-19 paling tinggi sehingga perlu diutamakan setelah PSBB ditetapkan. Namun, Teguh mengingatkan, pengertian pembatasan dalam PSBB berbeda dengan karantina wilayah yang sama sekali tidak membolehkan keluar dan masuk.

Sedangkan PSBB masih dimungkinkan alur keluar masuk tapi kuantitas dan kualitasnya yang diturunkan. "Misalnya, dari kapasitas MRT satu gerbong 40 dikurangi jadi 20 penumpang untuk penerapan social atau physical distancing. Begitu juga dengan bus antar kota antar provinsi (AKAP)," kata Teguh.

Namun, Ombudsman menilai langkah tersebut tidak cukup. Karena itu, menyarankan Pemprov DKI Jakarta melakukan koordinasi dengan Satgas COVID-19 tingkat pusat dan 2 provinsi lainnya, yakni Banten dan Jawa Barat.

"Mengevaluasi efektifitas pembatasan ala PSBB ini supaya pendekatannya bisa regional," kata Teguh.

Langkah selanjutnya, yang dapat dilakukan Pemprov DKI adalah bantuan bagi para pekerja harian lepas dan masyarakat tidak mampu lainnya. Menurut Teguh, walau dengan keterbatasan anggarannya Pemprov DKI sudah menyediakan. Hal ini harusnya menjadi tugas dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 di tingkat nasional juga membantu mengkoordinasikan ini dengan kementerian terkait.

"Jabodetabek bukan wilayah Jakarta sendiri," katanya.

Saran berikutnya, yakni dengan status PSBB ini, Pemprov DKI lebih leluasa mengalokasikan anggaran daerah, termasuk bagi pengadaan alat pelindung diri (APD), insentif, dan fasilitas bagi tenaga medik. Ombudsman mendorong Provinsi DKI memerintahkan BUMD nya menjadi 'leading sector' penyediaan APD yang bisa diproduksi di dalam negeri dengan melibatkan UMKM dan mengimpor langsung APD serta alat tes cepat (rapid test) yang tidak diproduksi di dalam negeri atau sulit dipenuhi di dalam negeri.

"Karena penyediaan APD dan alat rapid test dari pemerintah pusat terbatas," kata Teguh.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menetapkan status Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk wilayah DKI Jakarta dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Penetapan PSBB untuk wilayah DKI Jakarta tersebut tertuang pada Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/239/2020 tentang Penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Wilayah Provinsi DKI Jakarta Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 yang ditandatangani oleh Menkes Terawan Agus Putranto tanggal 7 April 2020.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement