Selasa 07 Apr 2020 11:49 WIB

Dugaan Pelanggaran Pilkada Terus Bertambah

Bawaslu telah memeriksa 501 kasus sepanjang pelaksanaan tahapan Pilkada 2020.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Esthi Maharani
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan)
Foto: Antara/Rivan Awal Lingga
Anggota Bawaslu Ratna Dewi Pettalolo (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI tetap memproses dugaan pelanggaran Pilkada 2020 meskipun tahapan pemilihan ditunda akibat wabah virus corona. Laporan dan temuan dugaan pelanggaran pilkada terus meningkat, per 3 April 2020, Bawaslu telah memeriksa 501 kasus sepanjang pelaksanaan tahapan Pilkada 2020.

"Jenis pelanggaran, 147 kasus administrasi, 22 kasus kode etik, dua kasus pidana, dan 330 kasus hukum lain," ujar Anggota Bawaslu RI Ratna Dewi Pettalolo dalam keterangan tertulis, Senin (6/4).

Bawaslu mencatat dugaan pelanggaran yang berupa temuan sebanyak 524 kasus, laporan dari masyarakat sebanyak 97 kasus. Akan tetapi, setelah dilakukan kajian awal, terdapat 121 kasus dinyatakan bukan termasuk pelanggaran.

Dewi menuturkan, dugaan pelanggaran administrasi yang paling banyak dilakukan adalah pengumuman seleksi penyelenggara ad hoc (sementara) tidak sesuai ketentuan atau tidak profesional. Ada juga dugaan calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) tidak memenuhi syarat karena berasal dari partai politik (parpol).

Kemudian terdapat dugaan calon anggota PPK dan PPS telah dua periode menjabat, pelayanan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam proses pendaftaran penyelenggara ad hoc, adanya survei terhadap bakal calon, serta pemalsuan dokumen syarat pendaftaran.

Sementara, lanjut Dewi, dalam kaitan pelanggaran pidana sebanyak dua kasus. Pertama, dugaan menghilangkan hak seseorang menjadi pasangan calon (paslon). Kedua, dugaan memalsukan daftar dukungan dari jalur perseorangan.

Selanjutnya, tren pelanggaran kode etik penyelenggara pilkada bentuknya seperti Panitia Pengawas Pemilihan tingkat Kecamatan (Panwascam) menjadi pengurus partai politik. Panwascam memberikan dukungan kepada bakal paslon, KPU Kabupaten/Kota meloloskan PPS yang menjadi pengurus parpol, hingga KPU Kabupaten/Kota tak profesional dalam pembentukan PPK dan PPS.

Selain itu, pelanggaran hukum lainnya didominasi oleh pelanggaran menyangkut netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa ASN memberikan dukungan melalui media sosial, ASN melakukan pendekatakan atau mendaftarkan diri pada salah satu bakal paslon, ASN menyosialisasikan bakal paslon melalui alat peraga kampanye (APK), dan ASN menghadiri kegiatan silaturahmi yang dianggap menguntungkan bakal paslon. Bahkan, ada kasus dugaan pelanggaran oleh bupati yang melakukan penggantian pejabat dalam periode enam bulan sebelum penetapan paslon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement