Senin 06 Apr 2020 07:31 WIB
Hikmah

Kompromi dan Politik Islam

Kisah teladan dari Amerika Serikat Hingga Dua Orang Khalifah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka.
Foto: Republika/Dessy Suciati Saputri
Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh DR, Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara

Sebaik-baiknya ucapan adalah yang dibenarkan oleh tindakan.

Jalinlah  persahabatan dengan cara membuat mereka

menangisimu  saat kau telah tiada dan membuat

mereka menyayangimu saat kau masih ada

                           (Sayidina Ali Ibn Abi Thalib)

                                 *****

Pak Joko Widodo, jamak disapa Pak Jokowi, Presiden Republik Indonesia saat ini,  dikenal juga sebagai mantan walikota Solo, dan mantan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Di Solo, pria ini menjabat selama dua periode secara berturut-turut, walau pada periode kedua ia tak sempat menyelesaikannya.

Beliau, entah telah menjadi suratan takdirnya atau karena kecemerlangan kalkulasi politik,  kemudian memasuki Jakarta. Di daerah penuh serigala politik ini, Jokowi pun  mengikuti pemilihan kepala daerah DKI Jakarta. Sukses. Fauzi Bowo, gubernur incumbent, pesaingnya, harus tersingkir. Jadilah beliau gubernur untuk beberapa saat. 

Sembari menjabat gubernur DKI Jakarta, pria ini melanjutkan langkahnya memasuki dunia politik puncak. Beliau, entah dengan nasihat siapa dan bagaimana, mengejutkan politik Indonesia dengan menjadi calon presiden tahun 2014. Hari-hari menjelang dan selama pertarungan politik pemilu itu, menjadi hari-hari yang berat.

Begitulah politik, selalu memiliki sudut-sudut tak terlihat yang tersebar dimana-mana. Skeptisisme datang dan pergi berbaju isu, dan sejenisnya. Antusiasme pemilih, sesuatu yang selalu dapat direkayasa, menjadi kenyataan lain, berbeda, tersaji dimana-mana. Kemenangan akhirnya jatuh ke genggamannya. Jadilah ia presiden 2014-2019.

Kritik demi kritik berakhir dengan persidangan, menemani pemerintahan periode pertamanya. Bagi sebagian orang pemerintahannya tak dapat dibilang menggelorakan hati banyak orang. Pembangunan fisik menandai wajah Indonesia mutakhir, justru teridentifikasi sejumlah kalangan sebagai mercusuar.

Korporatisasi negara terlihat menandai wajah kritik sebagian kalangan Intelektual, termasuk kalangan Islam terhadap pemerintahannya. Sikapnya terhadap pembangunan –penimbunan laut- dikenal dengan nama “reklamasi pantai utara Jakarta” berkaliber dan bercorak kapitalistik tulen, mengundang tanya atas nalarnya.  

Pembangunan moral bangsa, juga tak cukup mampu menjauhkannya dari  kritik demi kritik. Terus-menerus disepanjang pemerintahnnya, kritik itu mengalir deras. Ummat Islam, tentu tak semuanya, menemukan diri tersingkir, diperlakukan tak adil. Ummat Islam, anehnya, malah teridentifikasi secara artifisial sebagai warga negara, tentu sebagian, yang diragukan level Pancasilais-nya.

Tak cukup jelas tujuan dan maknanya, tetapi ungkapan 'Saya Pancasila dan saya NKRI', menarik respons kritis lebih luas kalangan Islam. Tak itu saja, hukum dalam identifikasi ummat Islam, terlihat pincang dengan dimensi yang cukup menakutkan. Hukum bekerja dengan semangat yang sulit dikatakan tak kelewat birokratis.

Tembok besar ini harus dibongkar dengan peristiwa yang belum pernah tersaksikan sepanjang sejarah Indonesia. Ummat Islam menggerakan dan melipat-gandakan energi politik mereka hanya untuk memaksa dirinya menegakan hukum terhadap Basuki Tjahaya Purnama. Basuki, pria yang suka disapa Ahok ini adalah Gubernur DKI yang naik ke jabatan itu bersama-sama Jokowi dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI.

Penolakan ekspresif ummat Islam ini dikenal dengan peristiwa 411 dan 212, yang menghebohkan itu. Berhasil memang, tetapi telah menyisakan luka teramat dalam disanubari ummat Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam ini.

                    ******

Mungkin banyak pihak mengganggap ekspresi ummat Islam itu tidak lebih dari sekadar kerumunan orang-orang kebingungan (ini tesis klasik Walter Lippman), jurnalis top yang bersama Louise Brandise menjadi penasihat Woodrow Wilson, Pak Jokowi mantap melangkah maju mengikuti pilpres 2019 untuk periode jabatan 2019-2024. Itu memompa level kritis multi dimensi.

Protes pun bermunculan, terutama selama proses pemilu itu. Tetap hukum politik punya cerita sendiri. Dalam kenyataannya protes terhadap hal-ihwal pemilu itu berlalu bersama hiruk-pikuk pemilu itu sendiri. Kesangsian beralasan atas kebenaran jumlah pemilih dalam Daftar Pemiih Tetap (DPT) dari fungsionaris-fungsionaris Pak Prabowo, tak lebih dari sekadar hiasan buram demokrasi.

Protes itu tak membawa Komisi Pemilu ke titik meyakinkan menurut akal sehat alam hukum pemilu. Hukum pemilu malah bekerja dengan rasa pemilu-pemilu tak kredibel umumnya. Kesempatan kampanye yang terasa tak cukup menyegarkan nurani politik dan hukum yang sehat pun, tersaji sebagai material pemilu itu.

Namun waktu terus berjalan, dan kemenangan Pak Jokowi seperti telah tergariskan oleh alam politik. Protes pun bermunculan, berdarah-berdarah ditengah Ramadhan Al-Mubarrakh bagi Ummat Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam. Tetapi semua protes itu hanya meninggalkan bekas, tak lebih dari sekadar kembang-kembang layu di taman politik. 

Mahkamah Konstitusi yang tak punya sejarah mengenal satu demi satu soal hitam disepanjang jalannya pemilu itu, entah bagaimana ceritanya, dimohonkan Pak Prabowo untuk mengoreksi hasil pemilu. Kemenangan sebagai akhir yang jelas  dalam proses ini pun bernar-benar muncul setelah MK menyatakan keputusannya. Anehnya keputusan itu disambut kehebohan kecil.

Lalu politik bekerja lagi dengan cara yang lazim. Suatu hari yang telah sirna dari ingatan, muncul berita akan ada pertemuan kecil, tetapi bernilai tinggi,  antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Dimana? Di statusnya kereta api moderen yang baru di bangaun, entah apa namanya. Bagaimana tepatnya? Dalam perjalanan dari  Lebak Bulus-Senayan. Heboh lagi.

Apa-apaan ini? Begitulah politik. Selalu ada jalan sempit menuju kompromi untuk  mengakhiri semua debat dan antagonisme. Begitulah titah sejarah. Seni mengakhiri perbedaan, menemukan dan memperbesar kesamaan, selalu menanti ditengah lorong kecil politik.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement