Ahad 05 Apr 2020 11:47 WIB

Alawiyyah Binti Husein Al-Jufri, Sayyidah Piawai Berdakwah

Alawiyyah juga menjadi contoh seorang ibu yang berhasil mendidik anaknya

Rep: Andrian Saputra/ Red: A.Syalaby
Ilustrasi Muslimah
Foto: Mgrol120
Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, Alawiyyah binti Hu sein bin Ah mad al-Hadi al- Jufri bukan saja dikenal sebagai perempuan yang memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat kepada Allah SWT.

Ia juga seorang perempuan yang cerdas dan memahami ilmu-ilmu agama. Alawiyyah yang la hir di Syibam, Hadramaut, Yaman, pada 1240 H, sangat piawai dalam menyampaikan dakwah.

Ia juga seorang anak yang patuh kepada orang tuanya dan seorang istri yang patuh pada suami nya. Dari rahimnyalah di kemu dian hari lahir seorang ulama masyhur, penggubah Simtud Durar yaitu Habib Ali al-Habsyi.

Pancaran kebaikan pada diri Alawiyah binti Husein membuat Habib Muhammad bin Husein al- Habsyi yang merupakan seorang ulama besar dari Kota Seiwun ingin memperistrinya.

Habib Muhammad kemudian mengirimkan dua utusannya untuk menemui ayah dari Sayyidah Alawiyyah yakni Habib Husein bin Ahmad al-Jufri. Dua utusan itu pun me nyampaikan maksud Habib Mu hammad yang berniat menikahi Alawiyyah. Niat Habib Muhammad pun disambut baik ayah Sayyidah Alawiyyah.

Habib Husein pun memberitahu Alawiyyah tentang seseorang yang mengirim utusan yang bermaksud menikahinya. Tanpa ragu sedikit pun dan dengan rasa hormat serta kepatuhan pada orang tuanya, Alawiyyah tak menolak. Seketika itu juga, Alawiyyah menerima pinangan itu. Meski, saat itu Alawiyyah belum mengetahui tentang Habib Muhammad dan kota asalnya.

Alawiyyah yang berasal dari keluarga sederhana tak memiliki apa-apa termasuk pakaian yang bagus untuk pernikahannya. Namun,  Allah SWT memberikan bantuan, di antara penduduk Syibam terdapat beberapa orang yang mengirimkan keperluan yang dibutuhkan Alawiyyah untuk pernikahannya. Akhirnya pernikahan Sayyidah Alawiyyah dengan Habib Muhammad al- Habsyi dapat terlaksana.

Setelah menikah, Alawiyyah turut serta bersama suaminya tinggal di Kota Taribah. Di kota itu, nama Alawiyyah kian hari kian termasyhur. Bukan saja karena menjadi seorang istri ulama yang besar, tapi juga karena Alawiyyah begitu piawai berdakwah seperti suaminya.

Itu semua tak lepas dari peran guru-guru nya. Dalam menimba ilmu, Alawiyyah tak berpaku pada satu guru saja. Ia belajar pada bebe rapa ulama besar seperti Habib Ahmad bin Umar bin Smith, Habib Abdullah bin Husein bin Thahir, Habib Abdullah bin Husein Bilfaqih, Habib Abdullah bin Ali bin Syihab, dan Habib Hasan bin Shaleh al-Bahr.

Di awal-awal perjuangan dak wahnya, Alawiyyah dengan penuh kesabaran membimbing orang-orang yang belum mengetahui tentang Islam terutama dalam hal ibadah. Alawiyyah awalnya mengajarkan seorang wanita tua yang selama hidupnya belum pernah melaksanakan shalat. Sejak saat itu, perempuan-perempuan di Taribah mulai berdatangan. Mereka ingin menjadi murid untuk belajar Islam dari Alawi yyah.

Kabar tentang banyaknya orang-orang yang belajar pada Alawiyyah pun sampai pada ayahnya Habib Husein al-Jufri. Habib Husein pun begitu gembira mendengar kabar itu. Ia langsung mengabarkan kepada Habib Ah mad bin Umar bin Smith dan mengabarkan kepada penduduk di Kota Syibam. Alhasil, kabar tentang banyaknya orang-orang yang belajar kepada Alawiyyah pun makin luas tersiar hingga ke Kota Syibam.

Alawiyyah juga contoh seorang ibu yang berhasil mendidik anaknya. Hubungan Alawiyyah dan putranya Habib Ali al-Habsyi begitu erat. Sejak kecil hingga Habib Ali berusia 17 tahun selalu bersamanya. Hari-harinya, Alawiyyah menanamkan akhlak yang luhur bagi putranya itu.

Tak secuil kata pun yang terlontar dari lisan Alawiyyah kepada putra nya berupa kalimat kasar ataupun kemarahan. Melainkan Alawiyyah sentiasa mendoakan putranya itu kelak mendapatkan kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat. Ia begitu tabah dan tegar merelakan putranya untuk menimba ilmu ke Makkah saat Habib Ali berusia 17 tahun.

Pada 6 Rabi'ul Akhir 1309 H, Alawiyyah binti Husein al-Jufri meninggal dunia. Kepergian Ala wiyyah pun membuat sedih Habib Ali. Kendati demikian, kese dihan Habib Ali tak berlarut-larut. Sebab, ia menyadari kepergian ibunya merupakan takdir yang sudah digariskan Allah SWT. Ini sebagaimana tertuang dalam sepucuk surat yang dituliskan Ha bib Ali untuk Hafidz bin Abdullah bin Syeikh Abu Bakar tentang kabar ibunya meninggal.

"Semoga Allah merahmatinya dengan rahmat kaum abrar, dan menempatkannya di surga Firdaus yang paling tinggi bersama kaum muqarrabin dan akhyar. Perpisahan ini membuat hatiku sedih, hanya Allah-lah yang tahu betapa sedih hatiku. Akan tetapi, seorang hamba tidak dapat lari dari qadha dan qadar Allah," be gitu kulipan dalam surat Habib Ali sebagaimana ditulis dalam buku Biografi Habib Ali al- Habsyi Mualif Simtud Durar. 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement