Sabtu 04 Apr 2020 11:34 WIB

Respon Positif Pasar Modal Atas Penanganan Covid-19

Dampak covid-19 dirasakan pengusaha mikro kecil hingga besar

Di tengah pandemi virus corona (covid-19) yang sedang fokus diatasi pemerintah, kabar baik muncul dari pasar uang dan pasar modal. Kepercayaan pasar (market confidence) mulai tumbuh kembali setelah dalam dua pekan terakhir kurs rupiah dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) terkoreksi tajam.
Foto: istimewa
Di tengah pandemi virus corona (covid-19) yang sedang fokus diatasi pemerintah, kabar baik muncul dari pasar uang dan pasar modal. Kepercayaan pasar (market confidence) mulai tumbuh kembali setelah dalam dua pekan terakhir kurs rupiah dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) terkoreksi tajam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Di tengah pandemi virus corona (covid-19) yang sedang fokus diatasi pemerintah, kabar baik muncul dari pasar uang dan pasar modal. Kepercayaan pasar (market confidence) mulai tumbuh kembali setelah dalam dua pekan terakhir kurs rupiah dan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) terkoreksi tajam. 

Kondisi tersebut merupakan respon positif terhadap kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19 melalui penerbitan Perpu No 1 Tahun 2020 dan sejumlah stimulus ekonomi yang dialokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 405,1 triliun. Pada penutupan pasar akhir pekan, IHSG ditutup naik 0,02 persen menjadi 4.623,429. Sedangkan rupiah ditutup menguat dari Rp 16,741,- per dolar AS menjadi Rp. 16,464 per dolar AS.

Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Ekonomi dan Keuangan, Dr. Lukmanul Hakim mengungkapkan, tumbuhnya kepercayaan pasar memberikan harapan terhadap perekonomian nasional agar tidak terjerembab dalam krisis yang lebih dalam. “Meski begitu, perlu diwaspadai kondisi ekonomi Indonesia ini akan bergatung pada kesuksesan penanganan Covid-19 yang kita semua berharap dapat segera teratasi,”kata Dr Lukmanul Hakim dalam Focus Group Discussion (FGD) Online  bersama Tim Ekonomi Arus Baru Indonesia, Jumat sore, 3 April 2020.

FGD melalui webinar yang mengusung tema: “Penyelamatan Ekonomi Indonesia di Tengah Badai Covid-19 menghadirkan narasumber: Dr Lukmanul Hakim,  Slamet Edy Purnomo (Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan), Bambang Widianto (Staf Ahli Wakil Presiden RI), Lukman Purnomosidi (Pengurus Real Estate Indonesia), Prof Dr Muhammad Syakir (Perhimpunan Ahli Agronomi Indonesia), dan Mayxedul Sola (Sekretaris Jenderal Dewan Jagung Indonesia), dipandu moderator Guntur Subagja (Asisten Staf Khusus Wakil Presiden RI Bidang Ekonomi dan Keuangan).

Lukmanul Hakim menilai, dampak covid-19 tidak hanya dirasakan  usaha mikro, kecil, dan menengah. Tapi, kondisi ini juga berdampak besar pada perusahaan-perusahaan besar. “Dalam kondisi sekarang perusahaan mengurangi produksinya, sementara gaji karyawan tetap dibayar penuh, dan kewajiban kepada perbankan tetap berjalan,” katanya.

Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan III Slamet Edy Purnomo mengungkapkan pandemi covid-19 yang terjadi saat ini berdampak pada sentimen negatif fundamental ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Pemerintah sudah merancang skenario mulai dari skenario berat hingga skenario terberat. Dampak ekonominya cukup besar pada sektor keuangan dan sektor riil. Akibat covid-19 tersebut, terjadi capital outflow sekitar Rp 300 triiun. “Saat ini market confidence tumbuh, investor asing mulai masuk lagi,”paparnya.

Pemerintah telah memiliki konep penyelematan ekonomi  yang melibatkan berbagai lembaga yang diharmonisasikan oleh Menteri Koordinator Perekomian. Berbagai kebijakan tersebut, jelas Slamet Edy Purnomo,  efektivitasnya tergantung pada penanganan masalah Covid-19 itu sendiri. “Kunci nomor 1 bagaimana penanganan Covid-19. Perpu Nomor 1/2020 dikeluarkan supaya tidak terjadi kondisi terburuk,”ujarnya.

Pasca pemerintah mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi, kini saatnya ditindaklanjuti oleh semua pihak dengan pendekatan kustomisasi per sektor. Di sektor perbankan, misalnya, OJK sudah mengeluarkan Peratuan OJK mengenaii relaksasi kredit, sehingga sektor riil bisa tetap berproduksi dan tidak terlalu terbebani oleh kewajibannya membayar utang ke bank.

Perbankan sudah memiliki pola untuk melakukan restrukturisasi kredit, baik kredit usaha kecil dan menengah, KUR, maupun kredit perusahaan besar. “Supply chain sektor riil harus tetap berjalan, sehingga usaha besar juga harus dijaga keberlangsungannya,”kata Slamet.

Untuk kebijakan restrukturisasi kredit atau penundaan pembayaran didasarkan pada kesempatan perbankan dengan debiturnya. Kondisi ini juga diprioritaskan di wilayah-wilayah yang menjadi epicentrum covid-19 dan daerah yang terdampak secara signifikan. “Bank-bank dapat mengkustomisasi polanya disesuaikan dengan sektor usaha debitur dan ketahanan perbankan, karena bank juga sebagai intermediasi harus memenuhi kewajiban kepada deposannya,”paparnya.

Lukman Purnomosidi memaparkan kondisi usaha sektor properti dan perhotelan saat ini. Menurut salah satu pengurus Real Estate Indonesia (REI) ini, industri properti sudah tertekan menurunnya daya beli sejak dua tahun lalu. Kondisi itu makin parah dengan pandemi covid-19 saat ini. “Masyarakat yang tadinya membayar cicilan ke developer banyak yang menghentikan cicilannya karena penghasilan berkurang, sedangkan yang membeli juga banyak yang membatalkannya," kata Lukman.

Sedangkan di industri perhotelan sudah lebih seribu hotel yang memberhentikan (PHK) karyawannya. “Industri perhotelan dan pariwisata ini paing terpukul awal dari pandemi Covid-19 ini. Karena itu perbankan perlu segera memberikan penundaan pembayaran kredit atau restrukturisasi,”katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement