Jumat 03 Apr 2020 22:34 WIB

Ahli Ingatkan Ledakan Corona Jika Tak Ada Sikap Tegas

Ahli menilai jaga jarak bisa berhasil jika diterapkan dengan benar.

Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.
Foto: CDC via AP, File
Ilustrasi virus corona dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli epidemiologi dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat Defriman Djafri Ph.D mengingatkan ancaman ledakan kasus Covid-19 di Tanah Air apabila pemerintah tidak tegas dalam memutus mata rantai penularan. Saat ini pemerintah menggunakan metode jaga jarak buat mencegah penyebaran Corona.

"Siap-siap saja akan menjadi outbreak yang luar biasa kalau pemerintah tidak tegas dalam pembatasan kontak fisik atau physical distancing," kata dia saat dihubungi di Jakarta, Jumat.

Baca Juga

Ia memperkirakan apabila tidak ada tindakan tegas, maka puncak penularan diperkirakan terjadi pada awal-awal bulan puasa atau saat masyarakat berbondong-bondong mudik Lebaran ke kampung halaman masing-masing.

Terkait pembatasan sosial berskala besar apakah bisa memutus mata rantai penularan, Djafri hanya menilai physical distancing atau pembatasan jarak fisik antarindividu cukup efektif bila diterapkan dengan benar.

"Di China itu studi yang sudah dilakukan pada minggu pertama turun 66 persen," katanya.

Kemudian pada minggu kedua setelah karantina wilayah diterapkan angkanya turun mencapai 86 persen. Terakhir mencapai 95 persen. Keberhasilan itu, ujar dia, harus disertai kedisiplinan masyarakat pula dan ketegasan pemerintah dalam mengontrol kebijakan.

Di Indonesia kebijakan untuk melakukan karantina wilayah mungkin masih mempertimbangkan ekonomi, politik dan sebagainya. Meskipun demikian, ujar dia, prinsip human capital menjadi penting untuk diperhatikan. "Penduduk suatu negara ini menjadi penting dari pada yang dihasilkan oleh negara itu sendiri," katanya.

Sebab, ujar dia, bagaimana negara ini akan dijalankan sementara rakyatnya sakit atau meninggal karena terinfeksi COVID-19 sehingga hal tersebut harus jadi pertimbangan presiden.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement