Kamis 02 Apr 2020 13:07 WIB

Muasal Aksara Arab Jawi di Nusantara

Istilah Jawi sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Jawah

Red: A.Syalaby
Tulisan Raja Ali Haji dengan aksa Pegon (tulisan arab) berbahasa Melayu
Foto: ist
Tulisan Raja Ali Haji dengan aksa Pegon (tulisan arab) berbahasa Melayu

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu peninggalan yang sangat berharga dari peradaban Islam di Indonesia masa lampau adalah aksara Arab Jawi. Dalam istilah lain juga dikenal sebagai abjad Arab Melayu. Aksara tersebut adalah bentuk modifikasi dari abjad Arab yang disesuaikan dengan bahasa orang-orang Melayu di seluruh wilayah nusantara.

Ahmad Darmawi dalam artikelnya ber judul "Perihal Aksara Arab Melayu" mengungkapkan, kemunculan abjad ini adalah akibat dari pengaruh budaya Islam yang lebih dulu masuk ke nusantara dibandingkan de ngan pengaruh budaya Eropa—yang datang belakangan pada zaman kolonialisme. Menurut dia, aksara Arab Melayu sudah dikenal sejak zaman Kerajaan Samudera Pasai, Ke rajaan Malaka, hingga Riau.

Darmawi menjelaskan, tulisan Jawi mulai digunakan secara jamak oleh masya rakat Melayu sejak awal kedatangan Islam di Indonesia. Istilah Jawi sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Jawah, nama untuk merujuk kepada bagian utara Pulau Sumatra sebagai daerah yang mula-mula menerima agama Islam.

"Aksara Jawi telah mengambil peran dan fungsi aksara Pallawa dan Kawi (dari India) yang sebelumnya dipakai oleh ma sya rakat nusantara untuk mengeja ba ha sa Melayu," ungkap sastrawan asal Riau itu.

Dia menuturkan, bangsa Melayu sendiri termasuk salah satu rumpun dari bangsa Austronesia. Bahasa yang digunakan oleh masyarakatnya pun masih serumpun de ngan rumpun bahasa Mi kro nesia, Melanesia, dan Polinesia.

Rumpun bahasa Austronesia boleh dise but kelompok bahasa yang memiliki jum lah bahasa terbanyak di dunia, yaitu sekitar 1.200 bahasa. Selain itu, rumpun bahasa Melayu juga mempunyai rentang wilayah sebaran geografis terluas di du nia, sebelum terjadinya ekspansi bang sa Eropa pada abad ke-15 silam.

Adapun unsur budaya yang paling menonjol dari bangsa Austronesia adalah bahasa Melayu. Luasnya penyebaran bahasa ini, kata Darmawi, menjadikannya sebagai salah satu lingua franca (bahasa pengatar—Red) di kalangan masyarakat Asia, khususnya Asia Tenggara.

Ketika terjadi proses Islamisasi Ke pu lauan Melayu yang berlangsung dalam ge lombang besar pada paruh kedua abad ke-13, pengadopsian dan penggunaan kosa kata bahasa Arab di nusantara pun me nemukan momentumnya. Hal itu di buktikan dengan banyaknya historiografi Islam yang ditemukan di kawasan ini.

"Hampir seluruh tulisan sejarah mengatakan bahwa tegaknya institusi politik Islam bermula dari konversi penguasa lokal menjadi penguasa Muslim (Sultan) yang diikuti oleh para elite istana dan selanjutnya disusul oleh seluruh rakyatnya," tutur akademikus dari Uni ver sitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau itu lagi.

Dia menambahkan, kedatangan Islam setelah runtuhnya kerajaan Hindu di Jawa telah mengubah semangat dan jiwa penduduk di pulau ini dengan sema ngat agama yang sarat akan nilai-nilai in telektual dan rasionalisme. Hal itu di tan dai dengan beralihnya pandangan orang-orang Melayu dari dunia mitos kepada budaya ilmiah yang berdasarkan pada pandangan Islam.

Staf pengajar Pesantren Sumatera Tha walib Parabek, Bukittinggi, Fadhli Lukman, dalam satu tulisannya berjudul "Mari Ajarkan (kembali) Aksara Arab- Melayu" berpendapat, abjad Jawi adalah bagian dari identitas ma syarakat nusantara yang mesti dipertahan kan kelestariannya.

Di masa lalu, sekolah-sekolah di Sumatra pernah mengajarkan Baca Tulis Arab Melayu sebagai mata pelajaran muatan lokal bagi para siswanya. Namun sayang, tradisi pengajaran tersebut kini seakan-akan telah sirna ditelan zaman.

Saat ini, kata Fadhli, tulisan Latin te lah menguasai dunia literasi Indonesia. Ukuran seseorang bisa disebut tunaaksara ataupun "melek huruf" diukur de ngan aksara Latin, bukan dengan aksara lain nya. Anak-anak sekolahan pun seka rang tidak lagi diajarkan materi Arab Melayu oleh gurunya.

"Sebagai dampaknya, anak-anak atau remaja kita kehilangan salah satu instrumen penting yang sebenarnya bisa mendekatkan mereka dengan huruf hijaiyah," ujar kandidat doktor di Univer sitas Albert Ludwigs di Freiburg, Jerman, itu.

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement