Sabtu 04 Apr 2020 01:01 WIB

Kesenjangan Miskin Kaya dalam Pandemi Virus Corona

Saat orang kaya sibuk menyelamatkan diri dari corona, si miskin mati tanpa dikenali.

Nur Aini
Foto: dok. Republika
Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nur Aini*)

Virus corona memang bisa menyerang siapa saja tanpa memandang kelas ekonomi kaya maupun miskin. Akan tetapi, upaya perlawanan terhadap virus corona menggambarkan jurang kesenjangan yang nyata antara warga kelas miskin dan kaya. Gambaran itu terlihat jelas dalam dua hal, yaitu pencegahan penularan dan penanganan pasien positif virus corona.

Dalam upaya pencegahan penularan virus corona, dunia mengenal berbagai istilah baru seperti lockdown atau karantina wilayah, work from home atau kerja dari rumah, social distancing atau menjaga jarak sosial, hingga yang umum seperti cuci tangan. Khusus Indonesia, pemerintah memiliki istilah baru yaitu Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Seluruh upaya pencegahan penularan virus corona nyatanya tidak dapat dilakukan oleh semua lapisan masyarakat. Kelompok paling miskin sulit atau bahkan tidak bisa mencegah virus corona menginfeksi tubuhnya.

Upaya paling umum mencegah penularan virus corona yaitu cuci tangan menjadi kemewahan bagi warga miskin atau yang berpenghasilan rendah. Kebutuhan dasar untuk cuci tangan, air bersih dan sabun masih ada sebagian warga miskin yang tak mampu mengakses. Masih banyak warga yang terpaksa berbagi kamar mandi umum untuk beberapa keluarga. Ada pula warga yang harus berbagi sumber air dan sabun bersama. Para penghuni kos-kosan yang masih menggunakan kamar mandi bersama, tidak dapat mengendalikan kebersihan seorang diri. Pemasangan wastafel di berbagai titik tempat umum tidak akan cukup menjangkau mereka agar mudah mencuci tangan.

Menjaga jarak sosial lebih istimewa lagi bagi sebagian orang. Upaya mencegah penularan virus corona tersebut dilakukan dengan menjaga jarak fisik minimal 1-2 meter dari orang lain agar terhindar dari tetesan atau droplet penderita virus corona. Bayangkan bagaimana sulitnya menjaga jarak fisik bagi kaum miskin kota yang tinggal di rumah-rumah petak dan gang-gang sempit. Warga miskin berbagi ruang yang kurang dari 1 meter.

Keistimewaan yang lebih untuk kerja dari rumah tidak dapat dilakukan oleh semua orang, apalagi warga miskin. Para pekerja harian berupah rendah seperti pedagang keliling, pedagang kecil di kaki lima, hingga buruh pabrik tidak dapat begitu saja mengalihkan pekerjaannya untuk dikerjakan di rumah. Tidak dapat bekerja, otomatis kehilangan pendapatan. Mereka harus bertaruh nyawa dengan mengesampingkan risiko tertular virus corona dengan terus bekerja. Selain itu, mereka harus menghadapi ancaman berkurangnya pendapatan hingga pemutusan hubungan kerja (PHK), karena turunnya ekonomi sebagai dampak pandemi virus corona.

Upaya yang paling sulit dilakukan warga miskin berpendapatan rendah adalah karantina wilayah. Warga diminta untuk tidak keluar rumah kecuali untuk kepentingan darurat jika karantina wilayah diberlakukan. Dengan begitu, risiko penularan virus corona dapat ditekan. Upaya itu menjadi ganjil bagi warga miskin yang tidak punya rumah atau tempat tinggal. Warga miskin yang memiliki rumah pun akan kesulitan jika karantina wilayah diberlakukan. Mereka tidak dapat menimbun kebutuhan pokok selama tinggal di rumah seperti warga berpenghasilan tinggi. Tinggal di rumah juga berarti berhentinya pendapatan karena terpaksa tidak keluar bekerja.

Saat keistimewaan itu tidak dapat diakses warga miskin, mereka yang terinfeksi virus corona harus menghadapi permasalahan dalam penanganan pasien. Permasalahan itu ada mulai dari tes virus corona. Tes swab untuk membuktikan adanya virus corona dalam tubuh, hanya dapat dilakukan pada pasien dengan gejala berat. Tes cepat yang tersedia pun tidak dapat sepenuhnya membuktikan adanya virus corona. Tes cepat harus ditindaklanjuti dengan tes swab untuk memastikan positif virus corona. Warga miskin tidak punya pilihan untuk memanggil dokter pribadi untuk mengecek kondisi kesehatan tuan rumah, sekalian bersama pekerja rumah tangga dan sopir.

Saat ini di Indonesia, pasien positif virus corona hanya dapat ditangani oleh rumah sakit rujukan. Namun, rumah sakit rujukan tersebut memiliki keterbatasan kapasitas penanganan. Kondisi itu membuat tidak mengherankan saat kemudian muncul pemberitaan rumah sakit rujukan menolak pasien dengan gejala virus corona hingga meninggal dunia. Sementara, rumah sakit lain juga menolak merawat pasien dengan gejala corona. Dalam salah satu wawancara, juru bicara pemerintah terkait virus corona, Ahmad Yurianto mengakui ada rumah sakit yang menolak pasien corona karena takut citranya jatuh, dan dihindari pasien lain. Dengan berbagai permasalahan dalam penanganan pasien virus corona itu, warga miskin tak punya pilihan untuk mencari pengobatan di rumah sakit Singapura.

Syarat-syarat istimewa dalam upaya pencegahan dan penanganan virus corona itu bukan untuk disyukuri saat kita mampu mengaksesnya. Adanya syarat istimewa itu menunjukkan tuntutan yang harus menjadi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan dasar seluruh warganya, terutama mereka yang paling rentan. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang meniadakan kewajiban negara memenuhi kebutuhan dasar warga, jelas tidak menyentuh syarat-syarat untuk pencegahan dan penanganan virus corona tersebut. Kita tidak akan bisa menuntut negara memenuhi tanggung jawabnya saat ada warga miskin tak tersentuh bantuan langsung tunai yang dijanjikan negara. Dalam skema PSBB, kita juga tidak bisa menuntut negara memenuhi kebutuhan dasar bagi pekerja di-PHK yang tidak tersentuh kartu pra-kerja. Dengan demikian, negara membiarkan warga negaranya mati tanpa sempat tes corona. Mereka mati dengan tidak dikenali saat orang-orang kaya sibuk menyelamatkan diri sendiri.

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement