Selasa 31 Mar 2020 21:36 WIB

Pakar Hukum: Wabah Kok Dihadapi dengan Darurat Sipil

Pemerintah seharusnya mengacu pada UU tentang bencana dan karantina kesehatan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Abdul Fickar Hadjar menilai pemerintah telah mengambil keputusan keliru dalam menghadapi penyebaram virus Corona. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya menggunakan dasar hukum soal kebencanaan dan karantina kesehatan guna memerangi virus tersebut.

"Ada jalan pikiran yang tidak logis, darurat wabah kok dihadapi dengan darurat sipil yang lebih merupakan pendekatan politis," kata Abdul Fickar Hadjar di Jakarta, Selasa (31/3).

Baca Juga

Dia pun memaparkan pasal-pasal yang ada dalam darurat sipil dan karantina wilayah. Abdul menyinggung pasal 18 hingga 21 Perppu Penetapan Keadaan Bahaya yang memberikan kekuasaan selama dalam status darurat sipil kepada penguasa darurat sipil. 

Termasuk saat mengadakan pertemuan-pertemuan, akses terhadap gedung-gedung, hak warga berada di luar rumah, tata cara berpakaian hingga aparatur pemerintahan. Kepolisian dan semua badan-badan pencegah bahaya berada di bawah perintah Penguasa Darurat Sipil.

Sedangkan karantina wilayah berdasar UU nomor 6 tahun 2018 Pasal 55 menyebutkan bahwa kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Sementara tanggung jawab penyelenggaraan karantina wilayah sebagaimana dilakukan dengan melibatkan pemerintah daerah dan pihak yang terkait.

Abdul mengatakan, melihat hal tersebut tampak strategi dan paradigma berpikir serta apa yang dihindari dan apa yang dipertahankan. Dia menilai, pemerintah saat ini lebih menentingkan ekonomi dan investasi ketimbang keselamatan rakyatnya.

"Padahal keselamatan rakyat itu konstitusi tertinggi sebuah negara," katanya.

Menurutnya, pemerintah seharusnya berpaku pada UU Nomor 24 tahun 2007 tentang bencana dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang karantina kesehatan. Namun, penerapan kebijakan karantina mengharuskan pemerintah membiayai seluruh masyarakat terdampak.

Abdul menduga, langkah tersebut tidak diambil pemerintah karena mereka tak berani menanggung risiko membiayai masyarakat. Padahal, dia mengatakan, dana tersebut tentu tidak akan lebih besar dibanding dana yang dihabiskan untuk proyek-proyek ambisius seperti pemindahan ibu kota. 

"Ini betul-betul melawan akal sehat," katanya.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo memberlakukan pembatasan sosial skala besar (PSSB) demi memerangi penyebaran Covid-19. Demi mendukung penerapan PSSB di lapangan, Jokowi pun menimbang perlu diterapkannya kebijakan darurat sipil.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement