Selasa 31 Mar 2020 09:17 WIB

Belajar Di Rumah: Pendidikan Anak Itu Tanggungjawab Orangtua

Tangungjawab mendidik anak.

Para santri mengaji.
Foto: Troppen Musseum)
Para santri mengaji.

Oleh: Muhlisin Ibu Muhtarom, Pendidik dan Alumni Universitas Umm Al-Qurra Arab Saudi.

Mewabahnya virus Corona atau Covid 19 telah mempengaruhi berbagai bidang dan aspek kehidupan, termasuk Pendidikan. Pada umumnya lembaga pendidikan dari PAUD hingga Perguruan Tinggi meniadakan Proses Belajar Mengajar (PBM) secara langsung tetapi menggantinya dengan Belajar Di Rumah. Sejauh penelusuran penulis dari beberapa sumber, awalnya masih ada beberapa pondok pesantren yang tetap menahan para santri mukim di asrama pesantren dengan berbagai pertimbangan tetapi dalam beberapa hari terakhir mereka akhirnya juga dipulangkan sementara ke rumah orang tua masing-masing. Hanya tersisa sedikit sekali Pondok Pesantren yang tetap pada kebijakan mengisolasi para santri di dalam asrama karena pandemi global covid 19 ini.

Keberadaan para siswa/i maupun para santri di rumah seperti yang terjadi sekarang ini menimbulkan berbagai dinamika sendiri bagi orang tua selaku wali murid/wali santri. Boleh dibilang setidaknya dari beberapa informasi yang sampai kepada kami, umumnya mereka terkaget dan bingung apa yang harus dilakukan selama anak-anak tersebut tidak masuk sekolah. Terutama sekali wali santri yang memang biasanya anak-anak terbiasa tinggal di asrama dengan berbagai aktifitasnya. Hal ini bisa dimaklumi karena memang kondisi ini bukan liburan panjang yang sudah terjadwalkan.

Meskipun terkesan bercanda namun beredarnya meme dan atau pantun yang menggambarkan betapa tidak mudahnya para orang tua dalam melaksanakan Proses Belajar Mengajar di rumah, bisa jadi mewakili kondisi yang sejatinya. Di antara pantun itu misalnya:

Ular Kobra tidak berbulu,

Binatang berkantong namanya Kanguru,

Wahai Corona cepatlah berlalu,

Karena mama tak pandai jadi guru.

          *****

Juga curhatan beberapa ibu yang menyatakan dengan kondisi anak-anak belajar di rumah terus-menerus dalam dua pekan terakhir ini maka harus disiapkan suplai makanan dan minuman termasuk aneka makanan kecil yang tentu saja berimbas kepada sirkulasi keuangan keluarga yang mengalami percepatan dalam pengeluaran.

Sebuah kesyukuran ketika kemudian dari pihak lembaga pendidikan mengaktifkan sistem pembelajaran daring atau via online baik menggunakan google clasroom, google meet, zoom, skype dan sebagainya. Setidaknya dari 24 jam dalam sehari ada beberapa jam di mana putra-putri mereka tetap belajar dengan guru aslinya. Meskipun PBM daring ini di beberapa daerah terpencil masih terkendala seperti sulitnya sinyal, juga kurang lengkapnya fasilitas HP dan atau Laptop.

Kondisi seperti ini mestinya menyadarkan kita semua bahwa sesungguhnya tanggungjawab pendidikan anak itu ada di pundak orang tuanya. Kelak pada Hari Qiyamat masing-masing orang tua akan dimintai pertanggungjawab terhadap pendidikan anaknya. Adapun keberadaan guru, dosen dan tenaga kependidikan pada dasarnya hanya membantu orang tua dalam mendidik putra-putri mereka. Terlebih bagi orang tua yang memang tidak memiliki dasar-dasar Ilmu Pendidikan, diktadik metodik, serta berbagai syarat dan kompetensi pendidik (pendagogik, profesionalitas, sosial, kepandaian dan sebagaianya) di satu sisi dan di sisi lain waktu mereka harus lebih banyak difokuskan dalam mencari rezeki dan nafkah keluarga maka hal inilah yang menjadi alasan pendidikan anaknya diserahkan kepada lembaga pendidikan via guru-guru.

Namun bagimanapun juga bahwa tanggungjawab orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya meruapkan konsekuensi logis dari posisi mereka sebagai penanggungjawab keluarga untuk menyelamatkan anggota keluarganya dari siksa neraka. Maka sangat mengherankan ketika ada oknum orang tua yang menuduh para guru makan gaji buta karena para siswa diliburkan lama padahal tanggung jawab pendidikan anak pada hakekatnya ada pada orang tuanya. Mestinya segala dana yang dikeluarkanya untuk pendidikan anak diniatkan sebagai infaq Lillahi Ta'ala, bukan justru mengungkitnya. Allah SWT berfirman yang memerintahkan agar orang-orang beriman mengamankan diri dan keluarga mereka dari siksa neraka yang tiada terkira pedihnya:

(یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ قُوۤا۟ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِیكُمۡ نَارࣰا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَیۡهَا مَلَـٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظࣱ شِدَادࣱ لَّا یَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَاۤ أَمَرَهُمۡ وَیَفۡعَلُونَ مَا یُؤۡمَرُونَ)

[Surat At-Tahrim 6]

Seorang anak yang lahir ke dunia ini dalam keadaan fitrah (Islam) dan tidak dikenal istilah anak jadah atau anak haram karena masing-masing telah bersaksi akan Ketuhanan Allah SWT, seperti dijelaskan Al Qur'an:

(وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِیۤ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّیَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ شَهِدۡنَاۤۚ أَن تَقُولُوا۟ یَوۡمَ ٱلۡقِیَـٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِینَ)

[Surat Al-A'raf 172]

Akan tetapi sikap perilaku dan pengaruh orang tua yang akan menjadikannya tetap dalam fitrah keislaman atau justru mengikuti ajaran agama Yahudi, Nashrani atau Majusi. Rasulullah SAW bersabda dalam Hadits Imam Bukhari Nomor 1296

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاءَ

Telah menceritakan kepada kami [Adam] telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Dza'bi] dari [Az Zuhriy] dari [Abu Salamah bin 'Abdurrahman] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] berkata; Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua orang tunyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak dengan sempurna. Apakah kalian melihat ada cacat padanya?"

Maka kerisauan Nabiyullah Ya'qub AS terhadap Keimanan dan Keislaman anak-anaknya sepeninggalnya haruslah menginspirasi para orang tua semuanya, hal mana masih banyak orang tua lebih khawatir terhadap ekonomi dan status sosial anaknya dibandingkan kualitas keIslaman mereka. Simaklah dengan iman dialog ideal antara Ya'qub dengan anak-anaknya ketika jelang ajalnya:

(أَمۡ كُنتُمۡ شُهَدَاۤءَ إِذۡ حَضَرَ یَعۡقُوبَ ٱلۡمَوۡتُ إِذۡ قَالَ لِبَنِیهِ مَا تَعۡبُدُونَ مِنۢ بَعۡدِیۖ قَالُوا۟ نَعۡبُدُ إِلَـٰهَكَ وَإِلَـٰهَ ءَابَاۤىِٕكَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِیلَ وَإِسۡحَـٰقَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدࣰا وَنَحۡنُ لَهُۥ مُسۡلِمُونَ)

[Surat Al-Baqarah 133]

Bahkan sekiranya orang tua cuek terhadap pendidikan anak yang pada akhirnya menyesatkan dalam kehidupan yang tidak Islami serta menjadikannya sengsara masuk neraka maka mereka akan menuntut para orang tuanya diberi adzab berlipat akibat kelalaian tersebut:

(قَالَ ٱدۡخُلُوا۟ فِیۤ أُمَمࣲ قَدۡ خَلَتۡ مِن قَبۡلِكُم مِّنَ ٱلۡجِنِّ وَٱلۡإِنسِ فِی ٱلنَّارِۖ كُلَّمَا دَخَلَتۡ أُمَّةࣱ لَّعَنَتۡ أُخۡتَهَاۖ حَتَّىٰۤ إِذَا ٱدَّارَكُوا۟ فِیهَا جَمِیعࣰا قَالَتۡ أُخۡرَىٰهُمۡ لِأُولَىٰهُمۡ رَبَّنَا هَـٰۤؤُلَاۤءِ أَضَلُّونَا فَـَٔاتِهِمۡ عَذَابࣰا ضِعۡفࣰا مِّنَ ٱلنَّارِۖ قَالَ لِكُلࣲّ ضِعۡفࣱ وَلَـٰكِن لَّا تَعۡلَمُونَ)

[Surat Al-A'raf 38]

Jadi, sesibuk apapun dan bagaimanapun kondisi orang tua hendaknya tetap berupaya mendidik anak-anaknya agar tetap dalam KeIslaman. Terlebih dalam suasana kebijakan Stay at Home seperti sekarang ini maka orang tua berkesempatan untuk mengasah, mengasuh dan mengasihi anak-anak untuk menciptakan suana Rumahku Surgaku dengan berbagai kegiatan Islami seperti Sholat Berjama'ah, Tadarrus Al Qur'an, diskusi atau musyawarah, membersihkan pekarangan rumah, memperindah taman, menghafalkan doa harian, mendawamkan dzikir pagi dan sore dan lain sebagainya.

Yakinlah bahwa kesungguhan, kecapekan, keletihan, kesusahan dalam mendidik anak untuk menjadikan mereka anak sholeh/ah akan berakibat luar biasa bagi masa depannya dan menjadi investasi kebaikan serta kebahagian orang tua manakala sudah meninggal dunia maka mereka akan mau dan mampu mendoakan orang tuanya, dimana pada saat itu segala harta dunia tiada lagi berguna:

إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (صحيح مسلم)

Perlu juga ditanamkan keyakinan kepada anak-anak jika mereka saat ini berbakti kepada orang tuanya maka suatu saat kelak anak-anak mereka juga akan berbakti kepada mereka. Islam memang tidak mengenal karma tetapi mekanisme sebab akibat sikap dan perbuatan adalah keniscayaan:

بَرُّوْا أَبَاءَكُمْ تَبُرُّكُمْ أَبْنَاءُكُمْ (رواه الطبراني)

Berbaktilah engkau kepada orang tuamu niscaya anak-anakmu akan berbakti kepadamu.

Sekiranya sekarang ada sebagian orang tua yang meraskan betapa sulitnya mendidik anak-anaknya bisa jadi karena dulu ketika masih jadi anak-anak juga sulit dididik oleh orang tuanya. Hendaknya segera bertaubat kepada Allah SWT dan minta maaf kepada orang tuanya jika masih ada, jika sudah tiada maka doakanlah orang tua dan perbanyaklah berbuat amal kebaikan yang diatasnamakan untuk orang tua.

Selamat Berbahagia Bersama Keluarga.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement