Senin 30 Mar 2020 17:21 WIB

India Jadi Contoh Dilema Lockdown

Lockdown di India memicu eksodus rakyat miskin kota ke desa.

Warga India mengantre di sebuah terminal bus perbatasan Uttar Pradesh dekat New Delhi, India, Sabtu  (28/3). India menghadapi gelombang eksodus warga dari kota ke desa akibat lockdown.
Foto: EPA/STR
Warga India mengantre di sebuah terminal bus perbatasan Uttar Pradesh dekat New Delhi, India, Sabtu (28/3). India menghadapi gelombang eksodus warga dari kota ke desa akibat lockdown.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dwina Agustin, Sapto Andika Candra, Antara

Perdana Menteri India Narendra Modi pada Ahad (29/3) meminta maaf kepada warga, terutama masyarakat miskin. Permintaan maaf tersebut menyusul keputusan lockdown selama 21 hari akan memakan korban manusia dan berdampak pada perekonomian.

Baca Juga

"Saya pertama-tama ingin meminta maaf kepada semua warga negara saya," kata Modi dalam pidato nasionalnya. Modi mengatakan, warga miskin pasti akan menilai keputusannya merupakan hal yang membuat masalah baru. Namun, dia menjelaskan, keputusan itu merupakan langkah yang harus diambil karena tidak ada pilihan lain. "Langkah-langkah yang diambil sejauh ini ... akan memberi India kemenangan atas corona," ujar Modi.

Modi sebelumnya mengumumkan lockdown selama tiga pekan untuk mencegah penyebaran virus corona. Modi memerintahkan 1,3 miliar orang di negara itu untuk tetap berada di dalam rumah sampai 15 April, dengan mengatakan bahwa itulah satu-satunya harapan untuk menghentikan epidemi. 

Namun, perintah itu telah menyebabkan jutaan orang India yang miskin, menganggur, dan kelaparan menentang lockdown. Ratusan ribu pekerja yang hidup dengan upah harian meninggalkan kota-kota besar seperti Delhi dan Mumbai dengan berjalan kaki ke rumah mereka di pedesaan. Banyak di antaranya memiliki keluarga. Mereka mengatakan tidak punya makanan atau uang.

Politikus oposisi Rahul Gandhi menyatakan, pemerintah tidak mempertimbangkan akan terjadinya perpindahan penduduk besar-besaran atas keputusan lockdown. Pemerintah India dinilainya tidak memiliki rencana darurat untuk eksodus warga terdampak kebijakan lockdown.

"Sangat memalukan bahwa kami telah mengizinkan warga negara India diperlakukan seperti ini dan pemerintah tidak memiliki rencana darurat untuk eksodus ini," kata dia ketika banyak warga berjalan kaki untuk kembali ke desa dari ibu kota India.

Pemerintah India pun kemudian pada Senin (30/3) mengatakan tidak berencana memperpanjang masa 21 hari lockdown. Saat ini India tengah berjuang untuk menjaga pasokan bahan pokok tetap mengalir dan mencegah puluhan ribu orang keluar ataupun melarikan diri ke pedesaan.

India memiliki 1.071 kasus virus corona yang 29 di antaranya telah meninggal. Jumlah kasus corona di India memang kecil jika dibandingkan dengan Amerika Serikat, Italia, dan China. Namun, para pejabat kesehatan memprediksi India masih beberapa pekan lagi menuju lonjakan besar kasus baru Covid-19.

Variasi lockdown

Tidak hanya India yang telah memberlakukan kebijakan lockdown. Dari negara teokratis seperti Arab Saudi sampai Italia yang liberal hingga komunis otoritarian seperti China, semua menerapkan lockdown dengan menutup akses ke situs-situs wabah dan pusat-pusat kerumunan massa.

Setiap negara menerapkan kebijakan lockdown secara berbeda-beda. Italia mengurung Lombardia yang merupakan wilayah terparah. Drone dan data ponsel sampai digunakan untuk melacak pergerakan warga. Hanya ada suara megafon perintah tetap diam di rumah dan sirene di jalanan.

Saudi menerapkan jam malam di Mekah, Madinah, dan Riyadh. Adapun China menjadi yang paling keras menerapkan lockdown dalam skala yang mungkin paling ideal. Pasalnya, China memiliki "kemudahan" yang tak dipunyai negara-negara demokrasi sehingga leluasa melakukan "pemaksaan" pada tingkat yang paling esktrem sekalipun, seperti dilakukan di Wuhan, tempat asal virus ini.

Semua akses di China ditutup total. Tak ada angkutan umum ataupun kendaraan pribadi. Semua toko, kecuali toko sembako dan farmasi, tutup. Orang-orang tak boleh keluar rumah kecuali ada alasan jelas. Dua bulan setelah lockdown, China tak pernah lagi melaporkan kasus baru virus corona kecuali kasus impor.

Lockdown dianggap lebih efektif karena pada era ketika masyarakat global sudah begitu tak bersekat, siapa pun berisiko ditulari virus yang fatal bagi lansia dan mereka yang mengidap penyakit berat itu. Namun, tidak semua negara menerapkan lockdown, termasuk Amerika Serikat dan juga Indonesia.

Negara yang efektif menerapkan lockdown umumnya sudah siap mengantisipasi terhentinya kegiatan usaha akibat lockdown, bahkan ketika perekonomian sudah sempoyongan oleh rusaknya sistem pasokan dan permintaan akibat virus corona.

Saat lockdown, kehidupan normal berhenti. Restoran, sekolah, kampus, kantor, toko, pasar, bahkan tempat ibadah tutup sementara demi mencegah kerumunan besar yang bisa mempercepat penularan Covid-19. Arus barang tersendat. Pembeli berkurang. Dunia usaha pun terganggu.

Jika hal itu terjadi berbulan-bulan, habislah semuanya. IMF sampai memprediksi resesi lebih mengerikan dibandingkan Depresi Besar 1930-an tengah mengintip dunia.

Dampak resesi ekonomi itulah yang mungkin menjadi pertimbangan utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga kini belum mengambil kebijakan lockdown. Terlebih, India sudah memberikan contoh ketika kaum miskin kaget dan tak siap menghadapi lockdown, yang terjadi kemudian adalah kekacauan.

Alih-alih menerapkan lockdown, melalui rapat terbatas hari Senin (30/3), Jokowi memilih memberlakukan kebijakan pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penerapan penjarakan fisik (physical distancing). Penetapan status darurat sipil menjadi opsi terakhir.

"Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga, tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil," kata Jokowi dalam rapat terbatas, Senin (30/3).

Presiden pun memerintahkan jajaran menterinya untuk segera menyiapkan aturan pelaksanaan di level provinsi, kabupaten, dan kota agar pembatasan sosial skala besar dan pendisiplinan penjarakan fisik bisa benar-benar diterapkan di lapangan. Jokowi pun meminta agar pemimpin daerah memiliki visi yang sama dengan pusat dalam penanganan dan pencegahan penyebaran penyakit Covid-19 ini.

"Dan saya ingatkan kebijakan kekarantinaan kesehatan termasuk karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan pemda," kata Jokowi.

Presiden juga meminta seluruh apotek dan toko yang menjual kebutuhan pokok tetap buka dan melayani kebutuhan masyarakat. Syaratnya, semua protokol penjarakan fisik tetap harus dijalankan di seluruh tempat publik.

"Bagi UMKM, pelaku usaha, dan pekerja informal, tadi sudah kita bicarakan, pemerintah segera siapkan perlindungan sosial dan stimulus ekonomi. Ini nanti yang akan segera kami umumkan kepada masyarakat," katanya.

photo
Pemerintahan Presiden Joko Widodo menyiapkan 9 jurus untuk mencegah perlambatan ekonomi nasional di tengah merebaknya wabah corona atau Covid-19. - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement