Senin 30 Mar 2020 06:31 WIB

Totalitas Dalam Penanganan Covid-19

Kemanusiaan paling utama dalam wabah covid-19 ini

Sunarsip menulis tentang wabah covid-19 dan dampak ekonomi
Foto: istimewa
Sunarsip menulis tentang wabah covid-19 dan dampak ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Sunarsip

People first, economy later. Begitu kira-kira salah satu tagline yang menggema saat ini, ketika dunia sedang dihadapkan pada wabah Covid-19 atau virus korona. “Selamatkan manusia dulu, ekonomi nanti.” 

Dalam konteks Indonesia, tagline di atas sebenarnya juga relevan. Sekarang ini, kalau kita berbicara tentang ekonomi atau pertumbuhan ekonomi praktis juga tidak terdapat momentum yang mendukung. 

Mari kita lihat kondisi saat ini: (i) nilai tukar rupiah melemah hampir Rp 16.500 per dollar Amerika Serikat/AS) dan (ii) harga minyak mentah juga turun di sekitar 30 dolar AS.

Pertama, pelemahan rupiah berarti impor mahal, yang berarti memukul aktivitas produksi manufaktur kita yang masih banyak mengandalkan bahan baku impor. Sudah begitu, pasokan dolar AS juga terbatas. 

Ini mengingat banyak pemodal asing yang menaruh dananya di Indonesia kini menariknya kembali (capital outflow). Dengan kata lain, dalam situasi seperti ini, apakah masih banyak industri yang tetap beroperasi? Rasanya akan jauh berkurang.

Tentunya terdapat pula yang (secara teori) diuntungkan oleh pelemahan rupiah ini, yaitu eksportir, terutama eksportir komoditas pertanian. Masalahnya, apakah dalam realitanya para eksportir ini menikmati keuntungan dari pelemahan nilai tukar? Sepertinya tidak.

Harga minyak turun biasanya akan diikuti oleh harga komoditas lainnya. Studi McKinsey (2014) memperlihatkan korelasi yang kuat antara harga minyak dan harga komoditas (pertanian). 

Di samping itu, negara-negara tujuan ekspor juga melakukan pembatasan aktivitas industrinya untuk mengurangi penyebaran Covid-19. Dengan kata lain, selain menghadapi rendahnya harga, para eksportir kita juga dihadapkan pada sepinya pembeli.

Kedua, harga minyak turun. Sejumlah pihak mengatakan, penurunan harga minyak positif bagi belanja pemerintah, yaitu dari sisi beban subsidi energi (listrik dan BBM). 

Bahkan, penurunan harga minyak ini dapat menjadi momentum untuk menurunkan harga BBM dan listrik. Terlebih dalam situasi saat ini, ketika rumah tangga dan dunia usaha membutuhkan stimulus untuk menjaga daya beli (bagi rumah tangga) dan mengurangi kerugian (bagi dunia usaha).

Tetapi, jangan lupa bahwa bila harga minyak dan harga-harga komoditas rendah, dampaknya juga negatif bila dilihat dari sisi penerimaan negara (pajak dan bukan pajak). Terlebih, kemampuan penerimaan pajak kita saat ini masih rendah, terlihat dari rendahnya rasio pajak (tax ratio) terhadap PDB.

Oleh karena itu, memang menjadi kurang relevan bila dalam situasi krisis akibat Covid-19 ini kita membicarakan bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebab, sudah hampir pasti: pertumbuhan ekonomi akan melemah.

Namun, itu tidak berarti bahwa aktivitas ekonomi menjadi berhenti total selama 2020. Ruang bagi aktivitas ekonomi masih terbuka. Peluang tumbuh juga masih terbuka meskipun rendah. 

Kuncinya adalah efektivitas dalam melokalisasi penyebaran Covid-19, baik kewilayahan maupun durasi. Bila kita mampu membatasi penyebaran Covid-19 dengan durasi waktu yang lebih pendek, kita memiliki ruang bagi pemulihan ekonomi pasca-Covid-19. Sebaliknya, bila gagal, biayanya akan lebih mahal dan ekonomi berpotensi terkontraksi.

Indonesia sebenarnya lebih beruntung daripada negara-negara lain karena memiliki wilayah dengan karakteristik kepulauan. Dengan begitu, ruang untuk melokalisasi atau membatasi penyebaran Covid-19 masih terbuka. 

Bila kita berhasil melokalisasi penyebaran Covid-19 ini maka aktivitas perekonomian, terutama di daerah di luar Jawa, berpotensi tidak terganggu sehingga pertumbuhan ekonomi nasional bisa dijaga.

Kita menyadari bahwa pemerintah menghadapi situasi sulit saat ini. Musibah Covid-19 membutuhkan biaya besar. Di sisi lain, tekanan ekonomi lesu membuat ruang gerak pemerintah untuk menggenjot penerimaan menjadi terbatas. 

Alih-alih menggenjot penerimaan negara, pemerintah dan otoritas ekonomi lainnya justru harus menggelontorkan beragam stimulus (fiskal, moneter, dan perbankan) untuk mengurangi beban ekonomi akibat Covid-19 ini.

Lalu, apa yang perlu dilakukan pemerintah yang kini menghadapi tekanan ganda ini: ekonomi lesu, sumber penerimaan terbatas, di sisi lain kebutuhan belanja untuk Covid-19 meningkat?

Pertama, pemerintah dan DPR harus sepakat bahwa kita sekarang berada dalam kondisi darurat. Karena itu, kebijakan yang diambil juga harus didasarkan pada protokol kondisi darurat. Pemerintah dan DPR harus sepakat bahwa kita harus totalitas (at all cost) untuk mengatasi Covid-19 berikut dampaknya.

Di bidang fiskal, pemerintah dan DPR harus membuka ruang bagi pelebaran defisit APBN, di atas 3 persen terhadap PDB. Konsekuensinya, bila saldo anggaran lebih (SAL) dan sumber pembiayaan internal lainnya tidak cukup untuk menutup defisit fiskal, pemerintah dan DPR harus menyepakati tambahan utang baru. 

Saya mengusulkan agar semaksimal mungkin utang baru nanti diperoleh dari sumber-sumber bilateral yang biayanya lebih rendah dibandingkan dengan penerbitan surat utang.

Kedua, pemerintah perlu menyiapkan anggaran untuk jaring pengaman sosial bagi kelompok masyarakat yang terdampak akibat berhentinya aktivitas perekonomian selama penanganan Covid-19. 

Pengalaman negara lain, misalnya, pemerintahnya memberikan subsidi gaji kepada individu dan perusahaan yang terpaksa menghentikan aktivitas perusahaannya sebagaimana diterapkan Prancis, Jepang, dan Korea Selatan. Tujuannya agar pekerja fokus tinggal di rumah.

Di Cina, misalnya, pemerintahnya tidak hanya memberikan kompensasi berupa tunai (mirip bantuan langsung tunai/BLT) juga memperluasnya dalam bentuk kompensasi barang (in-kind). 

Pemerintah Cina juga mempercepat pembayaran manfaat asuransi bagi pengangguran dan memperluas jaring pengaman sosial. Sementara itu, Korea Selatan meningkatkan besarnya dana cadangan (allowances) bagi para pencari kerja usia muda, bahkan memperluas manfaat allowances ini bagi rumah tangga berpenghasilan rendah.

Ketiga, pemerintah perlu memberikan ruang keringanan pembayaran pajak bagi penduduk dan perusahaan yang tidak mampu membayar pajak. Di Cina, misalnya, pemerintah mengurangi beban pajak bagi perusahaan-perusahaan di sektor yang paling terdampak akibat Covid-19 ini, yaitu transportasi, pariwisata, dan perhotelan. Korea Selatan, Cina, Italia, dan Vietnam memberlakukan penangguhan pembayaran pajak untuk memberikan ruang cash flow bagi perusahaan.

Keempat, pemerintah perlu menggerakkan seluruh elemen (termasuk swasta dan BUMN) agar terlibat dalam mengatasi Covid-19. Dana-dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan (swasta dan BUMN) perlu didorong agar dialokasikan bagi pengentasan Covid-19, terutama di daerah pandemik. 

Ketentuan alokasi penggunaan dana program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL) di BUMN yang sebelumnya diperuntukkan bagi penerima di daerah sekitar operasional BUMN perlu diatur kembali agar memungkinkan bagi BUMN yang jauh dari lokasi pandemik dapat berkontribusi, sebagaimana pernah dilakukan ketika tanggap darurat bencana tsunami pada tahun 2005.

Totalitas dalam penanganan Covid-19 memang membutuhkan biaya. Namun, besarnya biaya tersebut akan sangat tergantung pada efektivitas langkah-langkah pemerintah dalam melokalisasi penyebaran Covid-19. 

Bila penyebaran Covid-19 ini dapat dilokalisasi dalam kurun waktu yang pendek, biaya yang ditanggung juga akan semakin rendah. Dan yang terpenting, jumlah korban Covid-19 juga bisa ditekan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement