Sabtu 28 Mar 2020 08:54 WIB
Makkah

Le Grand Voyage: Banyak Jalan Menuju Makkah

Banyak cara dan jalan untuk ke Makkah

Kafilah haji berjalan di tengah padang pasir ke Makkah.
Foto: google.com
Kafilah haji berjalan di tengah padang pasir ke Makkah.

Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis dan Traveller

Lelaki tua berkewarganegaraan Prancis keturunan Maroko itu terlihat bersungut-sungut. Saat beriktikaf di masjid, anak laki-lakinya pulang dalam keadaan mabuk.

Mereka beradu mulut. “Saya harus menunggu kamu berdoa. Di luar dingin, jadi saya minum sedikit,” kilah si anak.

Adegan itu adalah penggalan film berjudul “Le Grand Voyage”, sebuah film yang diputar pada pembukaan Festival Film Prancis di Jakarta sekian tahun lalu.

Ceritanya tentang pria tua dari Prancis yang akan pergi haji melalui jalan darat dan meminta anak laki-lakinya untuk menyopiri.

Si anak memiliki gaya hidup hedonis, berbeda jauh dengan ayahnya yang sholeh. Sepanjang film ada banyak pesan kemanusiaan yang terselip di dalamnya.

Salah satu yang paling berkesan buat saya adalah adegan di masjid Sultan Ahmed, Istanbul, atau yang lebih dikenal sebagai Blue Mosque.

Masjid itu terlihat indah dengan minaret menjulang. Saat menyaksikan adegan dalam film itu, terselip doa di hati, semoga Allah mengizinkan saya untuk pergi ke Baitullah melalui jalan darat.

Jauh sebelum menonton film itu, saya pun sudah punya mimpi melakukan perjalan darat ke Tanah Suci. Tepatnya, setelah membaca buku “Ayah” yang ditulis Irfan Hamka.

Putra bungsu Buya Hamka itu menuliskan dengan sangat menarik. Ketika ia berkesempatan menemani Buya dan Uminya jalan darat dari Mesir ke Makkah.

Dihadang badai pasir hingga banjir. Berjumpa Arab Badui di gurun yang baik hati. Singgah di Libanon dan bertemu dengan perempuan-perempuan yang menggoda iman.

Saya sampai termimpi-mimpi akan eksotisme rute yang dilalui. Gurun pasir yang menantang. Serunya cerita orang-orang yang ditemui sepanjang perjalanan. Begitu banyak hikmah berserak yang bisa dipunguti.

Ah! Membayangkan sudah berdebar-debar rasanya.

Pernah suatu kali sahabat suami yang bekerja sebagai ekspatriat di Qatar bercerita kalau umrah sekeluarga dengan mengendarai mobil sendiri. Mendengar ceritanya, saya langsung histeris, “Mauuuuu.”

Bagi orang Indonesia, rasanya seperti “mustahil” ke Makkah melalui jalan darat. Terlalu jauh. Tak kurang jarak tempuhnya 7.911 km. Medannya pun terlalu sulit. Karena harus menyebrangi Samudra Hindia.

Sejarah mencatat, satu abad setelah kehadiran Rasulullah SAW, Islam telah menyebar sampai ke wilayah Asia dan Cina. Negeri-negeri yang terbentang jarak ribuan kilometer jauhnya dari Tanah Suci.

Sementara itu ada kebutuhan untuk menjalankan rukun Islam ke-5, yakni pergi haji ke Baitullah. “Kesulitan” itu tak pernah dianggap sulit. Justru mengantarkan para cendekiawan Muslim pada penemuan-penemuan yang luar biasa.

Di antaranya adalah perkembangan ilmu astronomi dan geografi yang mengubah wajah dunia.

Dibutuhkan petunjuk arah navigasi yang saat itu hanya bisa mengandalkan bintang. Hingga berkembang pesatlah ilmu astronomi.

Selain itu, diperlukan peta yang menjadi petunjuk arah rute yang harus ditempuh untuk sampai ke Makkah. Maka berkembanglah ilmu geografi dan munculnya para kartografer (pembuat peta bumi) ternama.

Salah satu nama yang tercatat dengan tinta emas adalah Abu Abd Allah Muhammad Al Idrisi Al Qurtubi Al Hasani Al Sabti. Atau yang dikenal dengan nama Al Idrisi. Orang-orang Barat menyebutnya Dresses.

Ia lahir di Ceuta, Spanyol pada 1100 dan wafat 1165. Dalam bukunya "Cartography of al-Sharif al-Idrisi", S. Maqbul Ahmad menyebutkan bahwa Al Idrisi menempuh pendidikan di Cordoba, Andalusia.

Di usia 16 tahunan, ia telah berkeliling ke separuh belahan bumi. Dari daratan Eropa sampai ke Asia Kecil.

Selama dalam perjalanan itu ia dengan sabar mengumpulkan data geografi. Lalu melengkapinya dengan bertanya pada para saudagar dan pengelana yang melakukan perjalan ke berbagai negeri.

Kepandaiannya membuat Raja Roger II dari Sicilia meminta dibuatkan peta bumi. Permintaan itu oleh Al Idrisi tak langsung disanggupi.

Ia mengajukan syarat, seluruh dokumen sejarah Sicilia saat masih berasa di bawah kekuasaan Islam tidak boleh dihapuskan.

Seperti kita tahu, Sicilia yang sekarang masuk ke wilayah Italia pernah menjadi bagian dari Daulah Islam. Bahkan beberapa panglima perang Shalahuddin Al Ayyubi berasal dari sana. Raja Roger II mengabulkan syarat itu.

Selama 15 tahun Al Idrisi mengumpulkan ribuan data hingga terciptalah 70 lembaran peta datar yang disambungkan dalam simpul melingkar koordinat astronomi.

Sambungan peta-peta itu kemudian dituangkan dalam bola perak yang beratnya kira-kira 400 kg dengan diameter sekitar 80 inci.

Peta dunia yang berbentuk bulat itu yang sekarang kita kenal dengan sebutan globe. Selama lebih dari 3 abad peta bumi itu masih paling akurat dan digunakan sebagai rujukan utama.

Tak hanya menjelaskan secara rinci tentang tujuh benua. Al Idrisi juga melengkapinya dengan rute perdagangan, danau, sungai, dataran tinggi, dan pegunungan.

Untuk melengkapi globe ciptaannya, Al Idrisi menulis kitab “Nuzhat Al Mushtaq Fikhtiraq Al Afaq” atau “Buku Perjalanan yang Menyenangkan ke Negeri-negeri yang Jauh”.

Kitab ini menjadi semacam ensiklopedi yang memuat bagian-bagian dari peta secara detail dan lengkap.

Kartografer Muslim generasi berikutnya yang namanya tercatat dengan tinta emas adalah Muhiddin Piri Reis dari Daulah Utsmani.

Peta dunia yang dibuatnya sudah lebih “canggih” karena tampil dengan gambar-gambar berwarna. Reis pun melengkapinya dengan ilustrasi dan catatan yang relevan tentang kehidupan rakyat, hewan, dan tanaman setempat.

Peta ini juga kerap disebut portolano karena di dalamnya menggunakan skala dan perhitungan matematis.

Catatan-catatan penting dari peta yang dibuatnya ditulis dalam “Kitab-i Bahriya”. Kitab ini terdiri atas 209 bab dengan 215 peta, grafik, dan gambar. Kitab ini dipersembahkannya untuk Sultan Selim I.

Jelaslah bahwa perjalanan ke Baitullah bukan sekadar menjalankan rukun Islam. Namun lebih dari itu, membuat para cendekiawan Muslim menemukan banyak hal yang bermanfaat bagi peradaban dunia.

"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu denan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS Al Hajj: 27).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement