Kamis 26 Mar 2020 16:40 WIB
Perang Aceh

Kisah Menambang Uang dari Perang Aceh (2)

Belanda menambang uang dari perang Aceh.

Pasukan Morsase (pasukan khusus Belanda) semasa perang Aceh
Foto: Gahetna.nl
Pasukan Morsase (pasukan khusus Belanda) semasa perang Aceh

Oleh: Beggy Rizkiyansyah, pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Peluru yang dimuntahkan kapal Citadel van Antwerpen pada bulan Maret menandai pecahnya perang Aceh. Tetapi pertanyaaannya, mengapa Belanda menyerang Aceh? Jawabannya, tentu saja terletak pada keuntungan-keuntungan yang akan didapat dari penguasaan terhadap Aceh.

Sejak 1870, atau 3 tahun sebelum perang Aceh, Terusan Suez telah dibuka. Hubungan dengan Eropa menjadi lebih cepat. Jika sebelumnya memakan waktu empat bulan, kini hanya ditempuh dalam lima minggu. Sejak dibuka terusan Suez, maka pelayaran dari Eropa menuju Asia tak lagi melewati selatan (Selat Sunda), tetapi melewati Aden, Kolombo kemudian menuju Selat Malaka. Disinilah letak strategisnya Aceh.Berikutnya tentu saja bukan sekedar lalu lintas perdagangan. Tetapi perdagangan itu sendiri. Aceh sejak abad ke-16 hingga abad ke-19 dikenal sebagai produsen lada terbesar di dunia. Lada telah membuat para uleebalang dan pemilik lahan tanaman lada menjadi kaya.

Belanda tentu membayangkan bagaimana tunduknya Sultan Deli pada Belanda telah memberikan kekayaaan dari hasil perkebunan yang begitu luar biasa. Pihak swasta mengeruk untung yang berlipat-lipat dari kebun-kebun di Deli, Sumatera Timur.  Tentu saja bukan kebetulan. James Loudon dan Fransen ven de Putte adalah  pendukung liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda.

Tangan mereka telah membuka Aceh menjadi satu lahan investasi bagi pihak swasta asing. Pemerintah Hindia Belanda membuka keran investasi sebesar-besarnya kepada perkebunan-perkebunan besar. Aceh Timur dipilih karena berbatasan dengan Deli, yang telah menjadi surga perkebunan yang ditopang modal investor asing. Maka sejak 1898 Aceh Timur memberi karpet merah kepada investor tembakau di Tamiang.

Ika Ningtyas Unggraini dalam Perubahan Sosial dan Ekonomi Aceh Timur Tahun 1907-1942 menyatakan investasi pertama berupa pembukaan kebun karet pada 1907 dan kelapa sawit pada 1912. Jumlah perkebunan modal swasta asing ini terus melonjak di Aceh Timur hingga pada tahun 1923 sudah ada 20 perkebunan, 12 diantaranya karet. Pembukaan kebun karet ini merupakan perluasan dari investasi asing di Sumatera Timur.

Cipratan Minyak Di Balik Perang

Di Aceh Timur, juga dibuka pintu eksplorasi minyak bumi yang memperoleh konsesi di Simpang Kanan dan Simpang Kiri, namun keduanya gagal dan ditutup pada tahun 1901. Namun bukan berarti kisah emas hitam itu berhenti di Aceh. Kisahnya bermula dari Langkat, Sumatera Timur.  Penemuan emas hitam ini ternyata tak bisa lepas dari peran keluarga James Loudon.

Sungguh satu kebetulan yang luar biasa. Adik dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon (1872-1875)  adalah John Francis Loudon, seorang yang bergiat di dunia pertambangan. John Francis Loudon adalah penemu tambang Timah di Belitung. Sebagai ahli tambang, ia menjadi penasehat yang memiliki satu kelompok kecil tetapi sangat berpengaruh yang salah satu anggotanya adalah Hendrik, Pangeran Kerajaan Belanda. Hendrik adalah saudara kandung dari Raja Willem III di Belanda.

Pada 6 Mei 1863 Menteri Kolonial Belanda, Fransen van de Putte mendapatkan informasi betapa pentingnya pencarian sumber daya energi untuk mendukung perkembangan ekonomi di negara koloni. Pada tahun 1866, Kerajaan Belanda mengeluarkan keputusan yang menjamin hak untuk mengembangkan penemuan sumber minyak bagi yang menemukannya.

Fransen van de Putte. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV.

Pada 1890 Raja Willem III memutuskan untuk membentuk Nedderlandsche Maatschappij tot explotatie van Petroleumbronnen in Nederlandsch Indie. Perusahaan eksplorasi minyak milik Belanda yang kelak menjadi bagian dari Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM) atau Royal Dutch Petroleum Company. Berbagai peristiwa ini tentu membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan swasta untuk masuk mengeksplorasi minyak di berbagai wilayah di Hindia Belanda termasuk seputar Aceh. Demikianlah kemudian ‘kebetulan’ kembali terjadi.

Kiprah KNPM terancam ketika pada Juli 1898 sumur di Telaga Said, Langkat mulai mengering. Meluasnya informasi ini membuat saham KNPM di Amsterdam segera berguguran. Tetapi satu wilayah di Aceh menjadi penyelamat KNPM, yaitu Perlak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di kampung Rantaupanjang, Perlak, minyak berbual-bual di tanahnya. Di sinilah koneksi kolonial mulai bekerja. Pada tahun 1894, seorang insinyur mulai terlibat dalam pengeboran minyak di Langkat (perbatasan antara Aceh dengan Sumatera Utara saat ini). Minyak kemudian disuling di Pangkalan Brandan. Insinyur itu memiliki reputasi bukan hanya sebatas insinyur tetapi juga dikenal sebagai ahli diplomasi.

Namanya adalah Hugo Loudon, anak dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang memerintahkan penyerbuan ke Aceh, James Loudon. Hugo Loudon dikenal lihai bernegosiasi termasuk dengan penguasa lokal. Tak lama Hugo Loudon mengambil alih manajemen lapangan pengeboran minyak di Langkat.

Hugo Loudon yang menjadi pemimpin lapangan Koninklijke segera mendesak Gubernur Jenderal Hindia Belanda, J.B. van Heutsz untuk memberi izin penelitian geologis. Izin pun akhirnya turun pada bulan September. Peran Hugo Loudon jelas, ia berusaha meyakinkan penguasa lokal dan pejuang Aceh bahwa mereka tak terkait dengan pemerintah kolonial Belanda. Tentu saja ini adalah omong kosong belaka. Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij (KNPM) atau Royal Dutch Petroleum  berhasil melakukan pengeboran di Perlak berkat diplomasi Loudon.

Pengeboran minyak di Perlak bukan saja menyelamatkan KNPM tetapi juga membuat KNPM mendulang kekayaaan dan menapaki jalannya sebagai perusahaan minyak raksasa. Terima kasih kepada Hugo Loudon. Bukan kebetulan lagi, nantinya dinasti Keluarga Loudon menjadi jajaran petinggi perusahaan minyak dunia yang kelak di kenal sebagai Royal Dutch (Shell). Setidaknya nafsu James Loudon menyerang dan menaklukkan Aceh telah membuahkan hasil yang sangat terang benderang: membuka pintu investasi asing masuk ke Aceh dan memberi jalan bagi anak-cucunya mendulang kekayaan dari perut bumi Aceh.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement