Selasa 24 Mar 2020 19:48 WIB

Apa Hukum Menceraikan Istri dalam Keadaan Marah?

Bagaimana hukum Islam memandang suami yang menceraikan istri saat marah?

Ilustrasi Apa Hukum Menceraikan Istri dalam Keadaan Marah?
Foto: thawell
Ilustrasi Apa Hukum Menceraikan Istri dalam Keadaan Marah?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kajian fikih, setidaknya terdapat dua pembahasan tentang hukum cerai yang disampaikan dalam kondisi psikis marah.

Pertama, kasus ketika orang yang menyatakan cerai dalam keadaan marah atau emosi (Thalaq al-Ghadhban). Kedua, saat suami menyatakan cerai, tetapi tidak sungguh-sungguh bermaksud menceraikan istrinya (Thalaq al-Hazil).

Baca Juga

Menurut para ulama, cerai yang dijatuhkan oleh orang yang sedang marah dianggap tidak terjadi cerai atau belum jatuh talak. Sebab, orang itu dianggap dalam keadaan tidak sadar.

Ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad saw dari Aisyah RA, "Tidak ada cerai dan tidak ada pembebasan budak dalam keadaan tidak sadar (ighlaq)" (HR Ahmad, Abu Daud, dan Hakim).

Ighlaq dapat dipahami sebagai marah (ghadhab), dipaksa (mukrah), dan gila (junun). Menurut Ibn Taimiyah, ighlaq adalah kondisi tidak sadar sehingga tanpa sengaja keluar kata-kata atau sesuatu yang tidak diketahui.

Menurutnya, termasuk dalam kelompok ini ialah cerai yang dilakukan orang yang dipaksa, orang gila, dan orang yang hilang kesadaran lantaran mabuk atau marah.

 

Tiga level marah

Namun, kita pun perlu mengetahui tingkat-tingkat marah. Menurut Saayyid Sabiq, ada tiga tingkatan marah.

Pertama, marah yang menghilangkan kesadaran sehingga seseorang tidak mengerti apa yang diucapkannya. Tidak terjadi cerai dalam kondisi ini, tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Kedua, marah dalam batas-batas yang masih terkendali. Seseorang masih mengerti apa yang diucapkan. Cerai dalam keadaan ini dianggap efektif alias terjadi cerai.

Ketiga, marah yang sangat besar, tetapi secara umum orang itu masih sadar. Namun, marah seperti ini cenderung lepas kontrol. Ini mengundang perdebatan di kalangan ulama ihwal hukumnya. Namun, peluang tidak terjadi cerai cenderung lebih kuat.

 

Cerai main-main?

Kini, tentang cerai dari orang yang main-main atau tidak secara sungguh-sungguh bermaksud menceraikan.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini. Menurut jumhur ulama, terjadi cerai dalam kasus ini.

Pendapat itu didasarkan pada hadis Nabi SAW, "Tiga hal yang sungguh-sungguhnya jadi sungguhan, dan main-mainnya pun jadi sungguhan pula. Tiga hal itu adalah nikah, talak, dan rujuk" (HR Ahmad, Abu Daud, Ibn Majah, Tirmidzi, dan Hakim dari Abu Hurairah).

Menurut sebagian ulama yang lain, seperti Al-Baqir dan Jakfar Al-Shadiq, begitu pula Imam Ahmad dan Malik, tidak terjadi cerai dalam kasus ini.

Mereka menetapkan beberapa syarat untuk terjadinya cerai. Misalnya, adanya pernyataan cerai (tanpa ada paksaan dari siapapun), mengerti makna pernyataan itu, dan ada kehendak atau niat untuk menceraikan.

Bila tidak ada niat untuk menceraikan, maka pernyataan cerai dianggap hanya main-main belaka. Jadi, dalam hal ini, tidak terjadi cerai. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah: "Dan jika mereka berketetapan hati untuk cerai, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (al-Baqarah: 227).

Berdasarkan ayat di atas, para ulama itu berpendapat, cerai memerlukan niat atau kesengajaan yang mantap untuk menceraikan. Adapun orang yang main-main, tentu tidak ada niat dan tidak ada kehendak yang sungguh-sungguh untuk menceraikan.

Oleh karena itu, menurut mereka, pernyataan cerai dari orang yang main-main dipandang tidak terjadi cerai atau belum jatuh talak.

Di atas itu semua, tentunya kata cerai tak boleh sembarangan diucapkan. Jangan karena suatu kesalahan yang kecil saja, seorang suami mengancam istri dengan kata cerai.

sumber : Tanya jawab fikih Koran Republika bersama Tutty Alawiyah (almh)
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement