Senin 23 Mar 2020 16:34 WIB

Wabah dalam Catatan Perjalanan Ibnu Batutah

Ibnu Batutah, pengelana Muslim abad ke-14, menuturkan kesaksiannya tentang wabah.

(Ilustrasi) Wabah dalam Catatan Perjalanan Ibnu Batutah
Foto: pxhere
(Ilustrasi) Wabah dalam Catatan Perjalanan Ibnu Batutah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syamsuddin Abdullah Muhammad bin Abdullah al-Lawati ath-Thanjiy bin Bathutha alias Ibnu Batutah merupakan seorang pengelana Muslim abad ke-14. Ia lahir pada 1304 di Kota Tangier, Maroko.

Namanya hingga kini dikenang sebagai salah satu pelancong paling berpengalaman di dunia. Hampir seluruh pelosok bumi pernah ia jelajahi. Mulai dari Afrika Utara, Mali, Spanyol, Mesir, Palestina, Istanbul, Makkah, Madinah, Yaman, dan Somalia. Langkah kakinya juga menjejak di Mombassa, Persia, Irak, Turki (Anatolia), Bukhara. Tak ketinggalan, ia juga pernah mengunjungi Kalkuta, Sri Lanka, Samudra Pasai (Aceh), Vietnam, hingga Kanton, dan Hang-chou di Cina.

Baca Juga

Catatan-catatan perjalanannya dinamakan Rihlah. Di antara dokumen tersebut, ada kesaksiannya mengenai suatu peristiwa wabah.

Berbeda dengan kalangan ilmuwan kedokteran, ia cenderung hanya mencatatkan kesannya terhadap persebaran wabah di daerah-daerah yang disambaginya.

 

Dalam catatan perjalanannya,ia menuturkan suatu kejadian di Halab (Aleppo), Suriah. Waktu itu, bulan Juni tahun 1348. Ibnu Batutah sedang mengikuti pertemuan dengan para ulama setempat.

Tiba-tiba, datanglah seseorang yang mengabarkan, suatu wabah penyakit menyeruak dari arah Mesir dan kini tiba di Gaza.

Ross E Dunn dalam The Adventures of Ibn Battuta: A Muslim Traveler of the 14th Century (2012) menjelaskan perihal ini.

Setelah mendengarkan keterangan dari musafir tersebut, Ibnu Batutah justru memutuskan untuk kembali ke selatan.

Baru sampai di Kota Homs, ia menyadari persebaran wabah sudah merebak di mana-mana. Ia mencatat, tak kurang dari 300 orang warga setempat meninggal dunia akibat penyakit pes.

Ibnu Batutah pun meneruskan langkah kakinya ke Damaskus. Di sana, ia mendapati jumlah korban jiwa sudah mencapai dua ribu jiwa per satu hari saja. Kota itu langsung pun lumpuh. Aktivitas sehari-hari terhenti sama sekali.

Ibnu Batutah menuliskan kesaksiannya:

“Orang-orang di sini berpuasa tiga hari berturut-turut. Akhir hari puasa itu adalah Kamis.

Pada akhir masa puasa itu, seluruh amir (kepala negara), syarif, qadi dan dokter serta seluruh elemen masyarakat berkumpul di Masjid Raya (Damaskus). Begitu masjid itu penuh orang, sepanjang Kamis malam itu mereka menghabiskan waktu dengan mengaji dan berdoa bersama.

Keesokan harinya, setelah shalat subuh berjamaah… mereka semua keluar dari masjid. Setiap orang memegang mushaf Alquran—bahkan amir keluar tanpa mengenakan alas kaki.

Semua penduduk itu melakukan eksodus—semua: laki-perempuan, anak-anak hingga dewasa. Orang Yahudi ikut dengan membawa kitab sucinya masing-masing; orang Kristen juga dengan Alkitabnya; ibu menggandeng anak-anaknya; semua orang larut dalam tangisan; semua memohon belas kasihan Tuhan melalui kitab suci dan nabi masing-masing.”

Waktu itu, orang-orang tak memahami penyebab wabah tersebut. Mereka hanya bisa pasrah kepada Yang Maha Kuasa.

Uniknya, Dunn meneruskan, Ibnu Batutah bisa melewati perjalanan dari Damaskus itu dengan kondisi sehat walafiat. Padahal, gempuran wabah mengepungnya di mana-mana.

Ia melanjutkan langkahnya hingga tiba di Makkah pada 22 Syaban 749 atau 16 November 1348. Di sana, ia melakukan umrah, lalu menunggu hingga musim haji tiba.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement