Senin 23 Mar 2020 16:14 WIB

Fudhail bin Iyadh, Bekas Perampok yang Jadi Gurunya Ulama

Fudhail bin Iyadh sebelum dikenal sebagai ulama besar pernah menjadi perampok.

(Ilustrasi) Fudhail bin Iyadh, Bekas Perampok yang Jadi Gurunya Ulama
Foto: pxhere
(Ilustrasi) Fudhail bin Iyadh, Bekas Perampok yang Jadi Gurunya Ulama

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di wilayah Khurasan (Asia Tengah), pada abad kedelapan hiduplah seorang perampok, Fudhail bin Iyadh. Sosok yang biasa melakukan kejahatan di rute antara Abu Warda dan Sirjis itu amat ditakuti. Jangankan bertemu muka. Siapapun pengelana jalur itu bila mendengar namanya disebut saja sudah merinding ketakutan.

Suatu malam, sejumlah pedagang ingin melewati lembah pada jalan tersebut untuk menuju Sirjis. Mereka menyadari, daerah itu sangat rawan perampokan. Apalagi, kawanan Fudhail bin Iyadh kerap beroperasi di sana.

Baca Juga

Maka, mereka berunding terlebih dahulu dalam kemah sebelum meneruskan perjalanan. Seorang di antara mereka berkata, “Sungguh, Fudhail bin Iyadh dan gerombolannya biasa melancarkan aksinya di daerah ini. Kita harus berbuat apa?”

Seorang yang lebih alim dari ketiganya menjawab, “Siapkanlah panah-panah kita. Kita akan memanah ke arah mereka bersembunyi. Jika anak panah kita tepat mengenai sasaran, hendaknya kita melanjutkan perjalanan. Bila tidak begitu, sebaiknya kita kembali saja.”

“Akan tetapi,” lanjut dia, “Kita tidak sekadar memanah. Lebih dahulu kita membacakan ayat-ayat Alquran. Semoga Allah menolong kita.”

Masing-masing pria itu menggumamkan beberapa Kalamullah sebelum menjalankan rencana itu. Sementara, tak jauh di sana Fudhail bin Iyadh dan kawan-kawannya sudah bersemangat untuk menggempur kafilah dagang tersebut. Para penjahat itu berniat langsung menyergap begitu mereka mendekati lembah yang gelap.

Tiga pedagang dalam kafilah itu pun bersiap. Orang yang pertama melepaskan anak panahnya setelah membaca Alquran surah al-Hadid ayat 16.

Artinya, “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.”

Fudhail bin Iyadh ternyata mendengar ayat tersebut dibacakan. Tiba-tiba, tubuhnya terasa bergetar hebat. Ia pun merintih, berteriak keras, bahkan kemudian jatuh pingsan. Para anak buahnya mengira, bosnya itu terkena tembakan panah. Akan tetapi, tak ada satu pun luka di tubuh Fudhail bin Iyadh.

“Aku telah terkena anak panah Allah!” seru Fudhail sebelum tak sadarkan diri.

Para pengikutnya membangunkan Fudhail bin Iyadh. Ia pun kembali sadar meskipun tubuhnya kini basah oleh keringat.

Sementara itu, pedagang berikutnya mulai melepaskan anak panah kedua ke arah Fudhail sembari membaca surah adz-Dzariyat ayat 50. Artinya, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.”

Fudhail pun mendengar ayat ini dibacakan. Kini, ia berteriak lebih keras, “Wahai kalian semua! Aku terkena anak panah Allah!”

Orang terakhir dari kafilah itu meluncurkan panahnya sembar mengucapkan surah az-Zumar ayat 54. Terjemahannya, “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”

Lantunan ayat ini semakin membuat Fudhail gelagapan. Ia pun menyuruh seluruh anak buahnya untuk pergi meninggalkannya.

“Kalian semua, pulanglah! Sungguh, rasa takutku kepada Allah telah merasuk dalam jiwaku. Aku akan meninggalkan semua kejahatan yang selama ini kulakukan!”

 

Bertemu raja

Fudhail sendiri langsung melangkahkan kakinya ke arah Makkah. Belum sampai di sana, ia berkemah di suatu daerah dekat Narawan.

Yang Fudhail tak ketahui, Sultan Harun al-Rasyid di istananya sedang bermimpi dalam tidurnya. Suatu suara gaib menyeru kepadanya dalam keadaan tak sadar itu, “Sungguh, Fudhail bin Iyadh takut kepada Allah dan memilih mengabdikan diri kepada-Nya. Sambutlah ia di negerimu!

Sultan al-Rasyid keesokan paginya menyuruh beberapa orang untuk menemukan Fudhail bin Iyadh. Setelah beberapa waktu, orang-orang suruhan itu dapat membawa Fudhail ke istana di Baghdad.

“Wahai Fudhail,” kata Sultan, “Aku melihat dalam mimpiku, suatu suara menyeru kepadaku tentang keadaanmu. Aku diseru agar menyambutmu datang.”

Fudhail terkesima. Ia lantas menyeru ke arah langit, “Ya Rabb, Dengan kemurahan dan keagungan-Mu, Engkau telah mencintai seorang hamba yang berdosa, yang telah menjauh dari-Mu selama 40 tahun!”

Fudhail kemudian diterima Sultan Harun al-Rasyid dengan sambutan yang baik. Ia pun kini telah berubah total. Taubat nasuha yang dilakukannya telah membuatnya kembali ke jalan cahaya. Sejak saat itu, ia mencurahkan seluruh waktu hidupnya untuk belajar dan ibadah.

 

Menjadi ulama besar

Ia cukup lama menetap di Kufah, sebelum menghabiskan sisa usianya di Tanah Suci. Pada puncak kariernya sebagai ulama, ia dijuluki masyarakat sebagai ahli ibadah di dua kota suci (’abid al-haramain). Fudhail wafat pada Muharram 187 H atau 803 M di Makkah.

Sejak meninggalkan dunia kemaksiatan, Fudhail bin Iyadh menekuni berbagai ilmu agama, terutama hadis. Ia berguru dari banyak ulama pada masanya. Di antaranya adalah Sufyan ats-Tsauri, al-A’masy, Manshur bin Mu’tamir, dan Hisyam bin Hassan. Selain itu, ada pula nama-nama lainnya, semisal Sulaiman at-Taimy, ‘Auf al-‘Araby, ‘Atha’ bin as-Saaib, serta Shafwan bin Salim.

Pada akhirnya, ia dikenal sebagai pakar ilmu hadis dan memiliki banyak sanad. Beberapa tokoh yang di kemudian hari menjadi ulama besar tercatat pernah berguru kepadanya. Sebut saja, Imam Syafi’i, Ibnu al-Mubarok, al-Humaidy, dan Yahya bin al Qaththan. Kemudian, Abdrurrahman bin Mahdi, Qutaybah bin Sa’id, serta Bisyr al Hafy.

 

Untaian nasihat

Fudhail juga kerap memberi nasihat-nasihat penuh hikmah dalam setiap majelis ilmu. Ia juga menjadi tempat orang-orang bertanya perihal agama dan kehidupan. Suatu ketika, Fudhail bertanya kepada seseorang, “Berapa usiamu sekarang?”

“Saya 60 tahun,” jawabnya.

“Kalau begitu, sejak 60 tahun lalu engkau berjalan menuju Rabbmu dan mungkin hampir sampai kini,” terang Fudhail.

Orang yang ditanya kemudian mengucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raajiun.”

Mendengar itu, Fudhail kembali bertanya, “Apakah engkau tahu makna perkataan yang baru saja engkau ucapkan?”

Orang itu menggelengkan kepalanya.

“Barangsiapa yang memahami bahwa semua manusia adalah milik Allah dan kepada-Nya akan kembali, maka hendaklah menyadari pula, mereka akan dimintai pertanggungjawaban. Maka, hendaklah mempersiapkan diri dengan memperbaiki akhlak dan perbuatannya. Berharaplah agar Allah mengampuni kesalahan masa lalu. Akan tetapi, bila tetap melakukan keburukan, sungguh termasuk orang-orang yang merugi.”

Fudhail juga kerap menasihati murid-muridnya perihal keutamaan ikhlas.

Menurut dia, rasa ikhlas merupakan kunci ketenteraman hidup. Popularitas di tengah manusia tidak berarti apa-apa bila hal itu justru melupakan diri dari mengingat Allah.

Pesannya, “Jika engkau mampu untuk tidak dikenal, maka lakukanlah. Engkau tidak akan merugi walaupun tidak dikenal. Engkau pun tidak akan merugi walaupun tidak dipuji. Engkau tidak akan merugi walaupun kamu tercela di mata manusia, asalkan dalam pandangan Allah engkau terpuji.”

Nasihat lainnya berkenaan dengan bahaya riya. Fudhail mengingatkan, janganlah ibadah menjadi alat untuk meraih simpati manusia. Hendaknya setiap amal ibadah yang kita lakukan di dunia semata-mata hanya karena Allah Ta’ala.

“Engkau berhias untuk manusia, bersolek untuk mereka, dan engkau terus berbuat riya sehingga mereka mengenalmu sebagai orang yang saleh. Mereka melaksanakan kebutuhan engkau, melapangkan tempat duduk untuk engkau, dan berinteraksi dengan engkau karena mereka salah duga selama ini. Keadaanmu benar-benar buruk jika demikian adanya (riya).”

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement