Jumat 20 Mar 2020 16:57 WIB

Mengganjar Sanksi Bagi Pelanggar Social Distancing

Pemberian sanksi pelanggar social distancing bantu jaga lebih banyak orang di rumah.

Calon penumpang kereta api menerapkan himbauan social distancing  di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Kamis (19/3). (Thoudy Badai/Republika)
Foto: Thoudy Badai/Republika
Calon penumpang kereta api menerapkan himbauan social distancing di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Kamis (19/3). (Thoudy Badai/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Febryan A, Imas Damayanti

Jumlah kasus positif corona jenis baru di Tanah Air bertambah. Kondisi sama terjadi untuk kasus kematian akibat virus corona jenis baru atau Covid-19.

Baca Juga

Dengan 32 orang meninggal dan total 369 kasus positif, artinya kini angka kematian akibat corona ada di kisaran 11 persen.

"Ada 60 kasus baru, sehingga jumlah total adalah 369. Kemudian ada penambahan satu kasus sembuh sehingga total menjadi 17. Dan tambahan kasus meninggal sebanyak 7 orang sehingga total 32 orang," jelas Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, Jumat (20/3).

Sementara pemerintah belum memberlakukan pengetatan dalam bentuk lockdown, atau sudah melakukan tes massal untuk membantu mengidentifikasi dini kasus positif corona, maka upaya pembatasan jarak menjadi solusi yang paling bisa dilakukan. Sosiolog dari Universitas Indonesia Imam B Prasodjo menyatakan negara bisa memberlakukan sanksi apabila masyarakat Indonesia masih belum menyadari pentingnya melakukan pembatasan sosial untuk mencegah penyebaran penularan virus corona baru Covid-19.

Imam dalam keterangan pers Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jakarta, Jumat (20/3), menyimpulkan adanya masyarakat yang tidak mematuhi imbauan pembatasan jarak sosial untuk mencegah penularan virus dikarenakan masyarakat tidak menyadari pentingnya hal tersebut sebagai langkah pencegahan.

Selain itu, menurut Imam, ialah karena tidak adanya sanksi yang jelas apabila masyarakat tidak melakukan pembatasan interaksi sosial sehingga malah tetap berada di luar rumah atau bahkan mengunjungi tempat-tempat pariwisata. "Harus ada regulasi, di saat yang sama ada sosialisasi untuk mendisiplinkan tentang tanggung jawab sosial. Itu yang harus ditargetkan di bangsa ini," kata Imam.

Dia mencontohkan di negara Italia yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19 terbesar setelah China bahkan menurunkan aparat kemanan untuk mendisiplinkan masyarakatnya yang masih berkerumun di luar ruangan saat terjadi pandemi Covid-19 yang mencapai 41 ribu lebih kasus di negaranya.

"Oleh karena itu daripada itu berlakukan karena sudah mewabah, kita sekarang harus sadar sendiri dulu. Kalau kita tidak sadar juga, saya khawatir negara memaksa orang dilarang berkerumun karena tidak ada kesadaran, dan membahayakan keselamatan yang lebih besar," kata Imam.

Imam mengajak masyarakat Indonesia untuk berbaris mengatur barisan untuk melawan ganasnya penyebaran virus Covid-19.

"Berbaris berbeda dengan berkerumun, berbaris harus menyatukan langkah dengan satu visi. Ini bukan main-main, di negara lain sudah terjadi bagaimana dahsyatnya pengaruh virus yang mewabah," kata Imam.

Selain penerapan sanksi, Imam menyarankan pula pemerintah menerapkan konsep sterilisasi per area guna menghambat penyebaran virus corona (Covid-19). Konsep ini dinilai lebih tepat dibandingkan lockdown (karantina wilayah) karena aktivitas perekonomian tetap bisa dijalankan.

Imam menamakan konsepnya itu Block to Block Sterilization. Yakni sebuah konsep yang menekankan proses pemeriksaan kesehatan secara ketat bagi setiap orang yang keluar-masuk di area publik yang bersifat vital seperti pasar tradisional, mal dan masjid. Jika ditemukan orang yang menunjukkan gejala terjangkit virus, maka ia tak boleh dibiarkan masuk.

Ia mencontohkan penerapan konsep itu pada pasar tradisional. Setiap pedagang sebelum berjualan harus menjalani pemeriksaan suhu tubuh terlebih dahulu. Begitu pun setiap pembeli yang datang. Lalu apabila ada yang orang yang dalam kondisi sakit, maka harus segera dievakuasi guna menjalani pemeriksaan.

"Pasar tradisional itu tempat orang bertransaksi dan berkumpul. Kalau orang belanja itu dibebaskan, ada saja satu orang yang sudah terinfeksi lalu masuk ke pasar itu, wah bakal seluruh orang yang terinfeksi," kata Imam, kepada Republika.co.id, Kamis (18/3).

Imam menambahkan, jika ditemukan orang dengan gejala serupa Covid-19, maka petugas kesehatan harus datang menjemput. Sebab, tidak semua orang mau secara sukarela mendatangi rumah sakit. "Pemerintah yang harus proaktif membiayai itu semua," ucapnya.

Menurut Imam, konsep ini adalah jalan tengah antara penanggulangan wabah Covid-19 dan upaya menjaga stabilitas perekonomian. Sebab, jika lockdown diterapkan, maka sektor perekonomian akan sangat terpukul lantaran terhentinya aktivitas jual beli maupun aktivitas perindustrian.

Ia mencontohkan pada Provinsi DKI Jakarta. Jika kota yang merupakan pusat perekonomian Indonesia itu ditutup, maka semua orang dari kota satelit seperti Depok, Bogor, dan Tangerang, tidak akan bisa masuk. "Kalau petugas dan pekerja itu tidak boleh masuk, ya konsekuensinya ekonomi dan sosial juga," kata Imam.

Direktur Eksekutif Dompet Dhuafa Imam Rulyawan mengatakan, menyikapi orang yang menyepelekan pembatasan jarak harus dilakukan dengan pendekatan rasio dan hati. Kepada mereka, kata dia, perlu diingatkan kembali bahwa wabah Covid-19 ini bukan hanya masalah lokal saja, namun sudah menjadi permasalahan global yang sangat diseriusi.

“Kita perlu akses informasi sebanyak-banyaknya dan beritahukan kepada mereka,” kata Imam saat melakukan live streaming di akun Instagram resmi Dompet Dhuafa, Jumat (20/3).

Bagi orang yang menyepelekan social distancing, dia mengingatkan jangan sampai Indonesia bernasib serupa dengan Italia. Di sana pada awal mula kasus Covid-19 merambah negara tersebut, kebijakan social distancing kerap disepelekan.

Anjuran untuk bekerja ataupun beraktivitas di rumah bukan tidak diserukan berbagai elemen di negeri Serie A itu, hanya saja social distancing belum dijadikan kesadaran yang berarti bagi warganya kala awal kasus merebak.  “Jadi mereka (warga Italia) dianjurkan kerja di rumah, tapi bukannya (kerja) di rumah, justru mereka mengerjakan pekerjaannya di kafe samping rumah," ungkapnya.

Akibat perlakuan inilah, menurutnya, kasus Covid-19 di Italia melonjak sangat cepat. Bahkan hingga kini, kasus kematian pasien Covid-19 di Italia lebih tinggi dibandingkan kasus kematian di China.

Ketua BEM Universitas Gajah Mada Atiatul Muqtadir menyarankan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk memberikan pemahaman kepada orang-orang yang menyepelekan social distancing. Umumnya, dia menyebut, pelaku social distancing lebih banyak berasal dari kalangan muda yang menganggap fisik mereka sehat.

“Karena merasa sehat, kita menjadi sombong akhirnya menyepelekan social distancing. Tanpa disadari, kesombongan kita itu justru bakal mengundang virus-virus masuk, dan selanjutnya menyebarkannya ke orang lain,” ungkapnya.

*****

Tiga kategori masyarakat yang enggan lakukan pembatasan jarak atau interaksi sosial menurut sosiolog, Imam Prasojo:

Terpaksa

Kategori pertama adalah masyarakat yang terpaksa untuk tetap keluar rumah demi menghidupi perekonomian keluarga. Contohnya seperti pedagang kaki lima, buruh harian, dan sopir angkutan daring.

"Misalnya kayak pedagang kaki lima. Bisa jadi mereka paham, tapi karena harus bekerja untuk makan, maka mereka tidak ada pilihan," ujar Imam.

Bebal

Kedua, kategori masyarakat yang ignorant (bebal). Yakni mereka yang sama sekali tidak tahu bahaya Covid-19 dan ada pula mereka yang sebenarnya paham akan bahayanya tapi malah lebih menuruti egonya.

Contohnya, kata Imam, orang-orang yang memanfaatkan situasi gawat Covid-19 untuk pergi berwisata. Padahal kemungkinan tertularnya semakin besar saat mendatangi objek wisata.

"Kelompok kedua itu sebenarnya dia punya pilihan, tapi karena kenaifannya kalau tidak mau mengatakan kedunguannya, kemudian membahayakan orang lain termasuk keluarganya," kata Imam.

Ideologis

Kategori masyarakat berikutnya adalah tipe  ideologis. Mereka yang memahami bahaya Covid-19 tapi tidak mau berdiam diri di rumah karena pilihan ideologi ataupun keyakinan.

"Bahwa Tuhan itu menentukan sakit atau tidak sakit, takdir yang menentukan. Kalau itu yang menjadi keyakinannya, lebih susah," ujar Imam.

photo
Menjaga jarak antarmanusia atau social distancing. - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement