Kamis 19 Mar 2020 21:07 WIB

Siswa Terpaksa Belajar Kelompok di Rumah karena Minim Kuota

Home learning dan online learning bukan sekedar memberi tugas-tugas online.

Rep: Mabruroh/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ilustrasi belajar dari rumah.
Foto: Yogi Ardhi/Republika
Ilustrasi belajar dari rumah.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) banjir pengaduan siswa akibat home learning. Mereka mengaku harus mengerjakan tugas berat atau pekerjaan rumah (PR) dengan batas waktu pengumpulan tugas yang cepat.

"Sampai hari ini, Kamis, 19 Maret 2020, bagian pengaduan online Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sudah menerima 51 pengaduan sejumlah siswa dari berbagai daerah yang mengeluhkan beratnya penugasan dari para guru yang harus dikerjakan dengan deadline yang sempit, padahal banyak tugas yang harus dikerjakan segera juga dari guru mata pelajaran yang lain. 'Kami kelelahan dan tertekan' demikian isi keluhan anak-anak pengadu," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti dalam siaran pers, Kamis (19/3) malam.

 

Retno berujar, pengaduan tersebut berasal dari berbagai daerah dan jenjang pendidikan SD, SMP dan SMA/SMK. Adapun wilayah para pengadu di antaranya dari DKI Jakarta, Bekasi, Cirebon, Kuningan, Puwokerto, Tegal, Kediri, Surabaya, Pontianak (Kalimantan Barat), dan Pangkal Pinang (Bangka Belitung), Tangerang dan Tangerang Selatan (Banten).

 

Retno menceritakan, siswa dari Jakarta mengeluhkan bahwa mendapatkan tugas membuat film pendek dengan waktu hanya dua hari. Tidak hanya itu, mereka juga harus meng-upload dan minimal mendapatkan 200 like.

 

"Padahal membuat film sampai proses edit tidak mungkin dua hari, apalagi dengan kondisi guru bidang studi lain juga memberikan berbagai tugas yang bahkan wajib diselesaikan hari itu juga," kata Retno.

 

Kemudian ada juga yang mengeluhkan bahwa teman-temannya datang ke rumahnya karena tidak memiliki cukup kuota untuk mendengarkan pembelajaran dari gurunya. Sehingga yang terjadi terpaksa belajar berkelompok karena masalah kuota dan akses internet, padahal niatnya merumahkan anak-anak agar tidak berkontak dengan banyak orang.

 

Kemudian ada juga orangtua siswa yang menceritakan bahwa anaknya sudah berada di depan laptop pukul 06.00 WIB karena ada gurunya yang akan menyampaikan tugas pukul 6 pagi tersebut. Sementara tugas-tugas lain datang kemudian dan dengan deadline pendek.

 

"Akibatnya anak tersebut tak sempat sarapan dan baru makan jam 13.00 WIB. Ibunya khawatir hal tersebut malah menurunkan imun anaknya karena lelah dan telat makan," kata Retno.

 

Selain itu, ada juga orangtua lain yang menyampaikan bahwa anaknya masih duduk di bangku kelas 3 SD tetapi setiap hari mendapat 40-50 soal yang harus dikerjakan. Kemudian ada juga siswa kelas VII SMP menyampaikan bahwa dia mengerjakan soal-soal dari jam 7 pagi hingga pukul 17.00 WIB dan saat dia menghitung total yang dia kerjakan mencapai 255 soal.

 

“Pak/bu, maaf mengganggu. Saya hanya ingin mengeluh sedikit, semenjak adanya belajar online kami dituntut mengerjakan tugas yang waktu pengumpulannya tidak efektif. Apalagi setelah sekolah saya membagikan rapot dan para guru memberikan tugas yang cukup banyak 13 pelajaran 13 LKS (Lembar kerja siswa) harus diisi semua dalam 2 minggu, setelah 2 minggu adanya pemberitahuan belajar online itu membuat tugas kita bertambah dan tidak wajar pak/bu. Ini sistemnya lebih parah daripada masuk sekolah, sekolah hanya masuk dari senin-jumat saja kalo ini bisa sampai minggu dan bisa merebut liburan kita,” kata seorang siswa. 

 

Bahkan ada juga siswa yang melaporkan bahwa tensinya naik karena tugas-tugas dan harus menggunakan telepon genggam untuk mengerjakannya. “Pak/bu, saya salah satu siswa dari Kuningan Jawa Barat, saya anak SMA kelas 10. Pak/Bu tolong ya tugas sekolah yang saya harus kerjakan tidak seperti biasanya, padahal kalau sekolah lebih enak tugasnya, tapi sejak  belajar di rumah tugasnya melebihi seperti sekolah, sampai tensi saya naik pak/bu 180/100, padahal usia saya masih 16 tahun, tapi anak seumuran saya sudah kena darah tinggi, tensi saya naik karena saya menghadap ke telepon genggam terus selama berjama-jam untuk mengerjakan tugas-tugas," keluh siswa lain. 

 

Atas keluhan dan aduan tersebut, KPAI mendorong para pemangku kepentingan di pendidikan membangun rambu-rambu bagi para guru sehingga proses home learning bisa berjalan dengan menyenangkan dan bermakna. Bukan justru menjadi beban bagi peserta didik dan bahkan bisa mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya.

 

"Ini harus diwaspadai karena bisa menurunkan imun anak-anak. Selama para siswa di rumah, jangan terlalu bebani dengan tumpukan tugas yang sangat banyak. (Jika) Mereka cemas dan terbebani, akan berpengaruh pada melemahnya sistem imun (kekebalan tubuh), yang berdampak pada mudahnya serangan virus," ujar Retno.

 

Retno berharap, para guru bisa menjadikan pembelajaran daring sebagai sarana untuk saling memotivasi, menumbuhkan rasa ingin tahu anak, mempererat hubungan dan saling membahagiakan. Ketika kondisi bahagia, maka sistem imun akan menguat. 

 

"Dalam kondisi seperti ini, kompetensi akademik bukan merupakan prioritas tapi yang jadi prioritas adalah kompetensi survive (bertahan hidup) dan saling mengingatkan untuk hidup sehat dan selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar," ungkapnya.

 

Home learning dan online learning kata Retno bukan sekedar memberi tugas-tugas online. Para guru kata dia, harus keluar dari kebiasaan bahwa tugas ke siswa sama dengan memberi soal. "Guru harus kreatif dalam memberikan penugasan," tegasnya.

 

Retno juga meminta kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah tidak perlu menuntut guru wajib melaporkan proses pembelajarannya. Karena yang terjadi, guru menekan siswanya juga untuk mengerjakan tugas-tugasnya.  "Kalau guru tidak ditekan maka guru juga tidak akan menekan muridnya juga. Guru dan murid harus tetap dijaga agar terus bahagia dan sehat," kata Retno.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement