Rabu 18 Mar 2020 20:11 WIB

Membaca Angka Kematian Corona di Indonesia

Angka kematian akibat corona di Indonesia dua kali lipat dunia.

Calon penumpang menunggu jadwal keberangkatan pesawat di Terminal Keberangkatan Domestik Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Rabu (18/3/2020). Angkasa Pura I menerapkan konsep
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Calon penumpang menunggu jadwal keberangkatan pesawat di Terminal Keberangkatan Domestik Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Bali, Rabu (18/3/2020). Angkasa Pura I menerapkan konsep

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Indira Rezkisari, Dessy Suciati Saputri, Sapto Andika Candra

Korban jiwa akibat virus corona di Tanah Air terus bertambah. Sebanyak 19 kasus meninggal dilaporkan per Rabu (18/3), sedangkan kasus positif naik menjadi 227.

Baca Juga

Dari angka tersebut artinya angka kematian (mortality rate) akibat kasus positif corona Indonesia adalah setinggi 8,37 persen. Angka kematian Indonesia sebenarnya cukup tinggi bila dibandingkan dengan angka kematian dunia.

Berdasarkan data WHO per 17 Maret 2020, tercatat ada 179.111 kasus positif corona di dunia. Angka kematian dunia juga per kemarin adalah 7.426.

Artinya angka kematian dunia adalah setinggi 4,1 persen. Separuh dari angka kematian di Indonesia. Saat ini tercatat sudah terjadi 19 kematian akibat corona di Indonesia dan 227 kasus positif.

Sebagai perbandingan, China memiliki angka kematian sebesar 3,98 persen. Negara lain dengan kasus positif yang jumlahnya banyak juga adalah Italia. Di sana angka kematiannya setinggi 7,9 persen. Sedangkan di Iran angka kematiannya adalah 6,5 persen.

Sementara, negara yang disebut berhasil meredam laju persebaran corona angka kematiannya tergolong rendah. Di Korea Selatan terdapat 8.413 kasus positif. Sedangkan jumlah kasus meninggalnya sebanyak 84. Artinya angka kematian di sana adalah 0,99 persen.

Beberapa waktu lalu, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan virus corona berbahaya bila dilihat dalam angka. Faktanya mortality rate atau angka kematiannya secara global lebih tinggi dari flu musiman. Flu musiman membunuh 0,1 persen yang terinfeksi.

Masyarakat dunia mungkin sudah memiliki imunitas menghadapi flu musiman. Virus corona jenis baru berarti belum ada manusia yang sudah memiliki imunitas menghadapinya. Artinya, penduduk dunia sangat rentan bila berhadapan dengannya.

Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, mengatakan jumlah orang yang terpapar positif corona namun bisa dipastikan jauh lebih besar dari angka yang terdata. Dikutip dari Business Insider, dia mengatakan penyebabnya adalah 80 persen dari kasus corona sebenarnya bersifat 'mild' alias tidak ganas.

Mereka yang melaporkan diri ke rumah sakit di sisi lain biasanya sudah dalam kondisi berat gejalanya. Mereka yang positif namun gejalanya tidak berat kerap kali tidak mencari pengobatan medis sehingga mereka ini tidak terdaftar sebagai pasien positif.

"Jadi ada kelompok lain yang asimptomatik (tidak menunjukkan gejala) atau minimal sekali gejalanya," kata Fauci. "Nanti kita akan lihat penyusutan di angka kematian keseluruhan."

Fauci menekankan, flu memiliki angka kematian 0,1 persen. Sedangkan virus corona jenis baru sudah berkali-kali lipat dari flu.

"Itu alasan saya menekankan, kita harus bisa berada di depan penyakit ini dan mencegahnya," kata dia.

Meskipun flu memiliki angka kematian yang rendah, jumlahnya juga tidak main-main. Saat musim flu di tahun 2018-2019, sebanyak 35 juta orang Amerika mengidapnya dan 24 ribu orang meninggal akibatnya.

photo
Pemerintah kini mulai mengkaji untuk melakukan rapid test pemeriksaan virus corona secara cepat. - (AP Photo/John Minchillo)

Peningkatan Pesat Kasus

Juru Bicara Pemerintah Penanganan Virus Corona Achmad Yurianto saat konferensi pers memberi rincian kasus corona di Indonesia. Ia mendetilkan, sebanyak empat kasus positif ditemukan di Banten, satu kasus di Yogyakarta, 30 kasus positif di DKI Jakarta, 12 kasus di Jawa Barat, dua kasus di Jawa Tengah, satu kasus di Sumatera Utara, satu kasus di Lampung, satu kasus di Riau, dan satu kasus di Kalimantan Timur.

"Dari proses penyelidikan yang kami lakukan dan kemandirian yang bersangkutan, ada dua kasus positif," tambah Yurianto, Rabu (18/3).

Sementara itu, jumlah kasus sembuh dan bisa dipulangkan secara akumulatif yakni sebanyak 11 kasus. Di antaranya yakni satu kasus dari Banten, sembilan kasus di Jakarta, dan satu kasus di Jawa Barat.

Terkait jumlah kasus meninggal akibat corona Yurianto mengaku masih terkendala dalam pendataan dari rumah sakit. Sejumlah rumah sakit disebutnya belum melaporkan jumlah kematian terkini.

Sehingga total kasus meninggal dunia yang ada yakni 19 orang, yakni satu kasus meninggal di Bali, satu kasus di Banten, 12 kasus di DKI Jakarta, satu kasus di Jawa Barat, dua kasus di Jawa Tengah, satu kasus di Jawa Timur, dan satu kasus di Sumatera Utara.

"Memang saat ini sedang akselerasi untuk menjadi semakin naik jumlah penderita. Ini kita maklumi dan menjadi gambaran yang lazim di beberapa negara lain terkait fase-fase awal dari munculnya kasus positif Covid-19," jelas Yurianto.

Yuri beranggapan kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 yang signifikan dalam beberapa waktu ke depan merupakan pola yang lazim terjadi di negara lain di fase awal penyebaran Covid-19. Malah, Yuri memprediksi Indonesia akan menghadapi jumlah penderita Covid-19 yang semakin bertambah pesat.

"Diharapkan pada April (2020) kita sudah melihat hasilnya dan kita berharap ini sudah mulai terkendali. Tapi saat sekarang memang betul sedang naik karena kontak tracing kita melakukan secara intens sehingga kita menemukan semakin banyak kasus ini," jelas Yuri.

Penambahan pasien positif Covid-19, menurut Yuri, disebabkan dua hal. Pertama adalah tracing atau penelusuran terhadap siapapun orang yang sempat melakukan kontak langsung dengan pasien positif Covid-19 gencar dilakukan. Kedua, ujar Yuri, semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk secara mandiri dilakukan pemeriksaan.

"Ini sebuah tantangan besar kita kesadaran masyarakat semakin meningkat, tentunya sarana fasilitas agar mereka bisa dicek melalui lab bisa kita tingkatkan," jelasnya.

Pemerintah pun mulai mengkaji untuk melakukan rapid test pemeriksaan virus corona secara cepat. Rapid test yang dilakukan ini memiliki cara yang berbeda dengan pemeriksaan yang selama ini dilakukan.

"Kami juga rapat di pagi hari bersama Menkes untuk melakukan kajian terkait rapid test seperti di negara lain. Perlu dipahami rapid test ini memiliki cara yang berbeda dengan selama ini yang kita gunakan," jelas Yurianto.

Yurianto mengatakan rapid test ini akan menggunakan spesimen darah, dan tidak membutuhkan spesimen dari tenggorokan. Salah satu keuntungan dari rapid test ini yakni tak dibutuhkan sarana pemeriksaan laboratorium pada bio security level dua. Artinya, pemeriksaan rapid test ini dapat dilaksanakan di hampir seluruh laboratorium kesehatan yang ada di rumah sakit di Indonesia.

"Hanya permasalahannya adalah bahwa karena yang diperiksa adalah immunoglobulin maka kita membutuhkan reaksi immunoglobulin dari seseorang yang terinfeksi paling tidak seminggu. Kalau belum terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu, kemungkinan immunoglobulin akan memberikan gambaran negatif," jelas Yurianto.

Kendati demikian, masyarakat juga harus memahami pentingnya melakukan isolasi diri di rumah. Karena pada kasus positif pemeriksaan rapid test tanpa gejala atau yang memiliki gejala minimal, indikasinya harus melaksanakan isolasi diri di rumah dan dengan monitoring oleh puskesmas atau fasilitas kesehatan terdekat.

"Tanpa kesiapan untuk memahami dan mampu melaksanakan isolasi diri maka tentunya semua kasus positif akan berbondong-bondong ke rumah sakit padahal belum tentu membutuhkan pelayanan rumah sakit," ujar dia.

Kasus positif dari pemeriksaan rapid test ini harus dimaknai bahwa yang bersangkutan memiliki potensi untuk menularkan penyakitnya kepada orang lain. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya masyarakat melakukan isolasi diri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement