Rabu 18 Mar 2020 14:24 WIB

Penjelasan KH Cholil Nafis Soal Sholat Jumat dan Corona

Soal corona, KH Cholil Nafis meminta kemashlahatan umum harus didahulukan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
KH Cholil Nafis: Yang Terpapar Corona Haram Shalat Jumat. Foto: Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI)KH Cholil Nafis
Foto: Erdy Nasrul/Republika
KH Cholil Nafis: Yang Terpapar Corona Haram Shalat Jumat. Foto: Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI)KH Cholil Nafis

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis mengatakan, masyarakat yang terpapar virus corona atau covid-19 dilarang untuk melaksanakan ibadah sholat Jumat di Masjid. Hal ini disampaikan berdasarkan pada fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 yang diterbitkan pada Senin (16/3) kemarin.

"Dalam fatwa tersebut menegaskan tentang dua hal, pertama, orang yang terpapar covid-19 harus mengisolasi diri dan haram untuk melaksanakan sholat Jumat karena dapat menularkan dan membahayakan orang lain," ujar Kiai Cholil kepada Republika.co.id, Rabu (18/3).

Baca Juga

Pada prinsipnya, lanjut dia, memelihara kemashlahatan umum harus didahulukan daripada kemashlahatan individu dan menolak keburukan harus didahulukan daripada memperoleh kebaikan. Sementara, kata dia, bagi masyarakat yang sehat dan belum diketahui terpapar virus corona, maka ada dua hal dan kondisi yang perlu perhatikan.

Pertama, jika dia berada di daerah yang rawan tinggi dan menurut otoritas medis dan pemerintah yang dipercaya rawan dan bahaya penularan penyakit, maka ia boleh tidak melaksanakan shalat Jumat. "Kata Boleh itu artinya juga boleh melaksanakan jumatan. Meskipun itu juga bisa jadi udzur untuk tidak melaksanakan shalat jumat," ucapnya.

Kondisi kedua, jika dalam kondisi sehat di tempat yang rendah atau bahkan tak ada tanda penularan virus corona, maka tetap wajib shalat Jumat dengan penuh kehati-hatian dan berikhtiar dengan sebaik-baiknya, seperti menjaga kebersihan dan selalu memelihara wudhu.

"Kata tidak melaksanakan ibadah Jumat itu berbeda dengan meniadakan Jumatan. Tidak melaksanakan sholat Jumat berarti bisa saja hanya dia sendiri yang tak melaksanakan shalat Jumat. Namun, meniadakan shalat Jumat berarti melarang semuanya untuk menyelenggarakan ibadah shalat Jumat," katanya.

"Tentu meniadakan sholat jumat pasti bertentangan dengan semangat beragama dan melanggar kewajiban agama," tegasnya. 

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadinya Wabah Virus Corona atau Covid-19. Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan ketentuan hukum fatwa ini.

Ia mengatakan, pertama, setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi setiap hal yang diyakini dapat menyebabkan terpapar penyakit. Karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama (al-Dharuriyat al-Khams).

"Kedua, orang yang telah terpapar virus Corona, wajib menjaga dan mengisolasi diri agar tidak terjadi penularan kepada orang lain," kata KH Asrorun kepada Republika, Senin (16/3).

Ia menjelaskan, bagi orang yang terpapar Covid-19, sholat Jumat dapat diganti dengan shalat Dzuhur di tempat kediaman. Karena sholat Jumat merupakan ibadah wajib yang melibatkan banyak orang sehingga berpeluang terjadinya penularan virus secara massal.

Baginya haram melakukan aktivitas ibadah sunnah yang membuka peluang terjadinya penularan. Seperti berjamaah shalat lima waktu atau rawatib, sholat Tarawih dan Id di masjid atau tempat umum lainnya. Serta menghadiri pengajian umum dan tabligh akbar.  

Ketiga, orang yang sehat dan yang belum diketahui atau diyakini tidak terpapar Covid-19, harus memperhatikan hal-hal ini. "Yakni dalam hal ia berada di suatu kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang maka ia boleh meninggalkan sholat Jumat dan menggantikannya dengan sholat dzuhur di tempat kediaman, serta meninggalkan jamaah sholat lima waktu, Tarawih, dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya," ujarnya.

KH Asrorun menerangkan, bagi orang sehat yang berada di suatu kawasan yang potensi penularannya rendah berdasarkan ketetapan pihak yang berwenang. Maka tetap wajib menjalankan kewajiban ibadah sebagaimana biasa dan wajib menjaga diri agar tidak terpapar Covid-19. Seperti tidak melakukan kontak fisik langsung dengan bersalaman, berpelukan, cium tangan.  Mereka juga disarankan membawa sajadah sendiri dan sering membasuh tangan dengan sabun.

Ia melanjutkan, keempat, dalam kondisi penyebaran Covid-19 tidak terkendali di suatu kawasan yang mengancam jiwa, umat Islam tidak boleh menyelenggarakan shalat Jumat di kawasan tersebut. Sampai keadaan menjadi normal kembali dan wajib menggantikannya dengan sholat Dzuhur di tempat masing-masing.

"Demikian juga tidak boleh menyelenggarakan aktivitas ibadah yang melibatkan orang banyak dan diyakini dapat menjadi media penyebaran Covid-19, seperti jamaah sholat lima waktu atau rawatib, sholat Tarawih dan Ied di masjid atau tempat umum lainnya, serta menghadiri pengajian umum dan majelis taklim," jelasnya.

KH Asrorun mengatakan, yang kelima, dalam kondisi penyebaran Covid-19 terkendali, umat Islam wajib menyelenggarakan sholat Jumat. Keenam, pemerintah menjadikan fatwa ini sebagai pedoman dalam upaya penanggulangan Covid-19 terkait dengan masalah keagamaan dan umat Islam wajib mentaatinya.

Ketujuh, pengurusan jenazah (tajhiz janazah) terpapar Covid-19 terutama dalam memandikan dan mengkafani harus dilakukan sesuai protokol medis dan dilakukan oleh pihak yang berwenang, dengan tetap memperhatikan ketentuan syariat. Sedangkan untuk menshalatkan dan menguburkannya dilakukan sebagaimana biasa dengan tetap menjaga agar tidak terpapar Covid-19.

"Kedelapan, umat Islam agar semakin mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak ibadah, taubat, istighfar, dzikir, membaca Qunut Nazilah di setiap sholat fardhu, memperbanyak shalawat, memperbanyak sedekah, dan senantiasa berdoa kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari musibah dan marabahaya (doa daf’u al-bala') khususnya dari wabah Covid-19," ujarnya.

KH Asrorun melanjutkan, kesembilan, tindakan yang menimbulkan kepanikan dan menyebabkan kerugian publik. Seperti memborong dan menimbun bahan kebutuhan pokok dan menimbun masker hukumnya haram.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement