Selasa 17 Mar 2020 17:05 WIB

Memaknai Kisah Qarun dalam Alquran dan Hilangnya Akal Sehat

Kisah Qarun dalam Alquran adalah pelajaran bagi orang yang berakal.

Kisah Qarun dalam Alquran adalah pelajaran bagi orang yang berakal. Ilustrasi qarun
Foto: Pixabay
Kisah Qarun dalam Alquran adalah pelajaran bagi orang yang berakal. Ilustrasi qarun

REPUBLIKA.CO.ID,  Qarun adalah manusia kaya raya yang hidup di zaman Nabi Musa. Di dalam Alquran dijelaskan, kekayaannya sangat melimpah. Bahkan, untuk kunci-kuncinya saja harus dipikul sejumlah orang dengan badan yang besar dan kuat. (QS Al Qashash [28]: 76).

Tetapi sayang, Qarun berbuat aniaya, ia angkuh dan sombong. Hatinya beku dan akalnya keras, sehingga ia tidak bisa menerima nasihat kebenaran. Ketika diperingatkan agar tidak angkuh dan sombong dengan harta yang dimilikinya ia malah berpaling sembari berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (QS Al Qashash [28]: 78).

Baca Juga

Menurut Ibnu Katsir, ucapan Qarun itu menunjukkan bahwa dia tidak butuh nasihat kebenaran. Bahkan, ia tidak merasa butuh dengan apa pun, termasuk ampunan dan ancaman Allah SWT. Ia merasa dirinya hebat dan harta yang dimilikinya murni karena kepintarannya.

Sikap Qarun yang tidak bisa menghargai orang lain dan selalu menganggap dirinya lebih baik dan lebih terhormat hanya semata-mata karena harta yang dimiliki adalah sikap orang yang kurang akal. Sikap demikian biasanya umum terjadi pada mereka yang dititipi harta kekayaan.

Syekh Ibnu Atha'illah dalam kitabnya, Taj al-'Aruus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus menjelaskan,  “Hal pertama yang semestinya engkau tangisi adalah akalmu. Sebagaimana kekeringan bisa terjadi pada rumput, akal juga bisa mengering. 

Berkat akal manusia dapat hidup berdampingan bersama manusia lain dan bersama Allah. Bersama manusia dengan akhlak yang baik dan bersama Allah dengan mengikuti apa yang diridai-Nya.”

Jadi, kriteria orang berakal atau tidak, sama sekali bukan pada berapa kekayaan yang dimiliki, tetapi pada bagaimana akhlak yang dimiliki, baik akhlak kepada sesama manusia maupun kepada Allah SWT.

Semakin baik akhlak seseorang terhadap sesama manusia dan terhadap Allah SWT maka bisa dipastikan bahwa orang itu adalah orang yang berakal. Sebaliknya, semakin buruk akhlak seseorang terhadap sesama dan terhadap Allah SWT maka bisa dipastikan bahwa orang itu tidak berfungsi akal sehatnya.

Lebih jauh orang berakal adalah orang yang paling ingin mendapat cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah bersabda, “Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya, yaitu yang tawadhu' yang mencintai dan dicintai.” (HR Thabrani).

Di dalam Alquran, orang yang berakal disebut sebagai ulul albab. “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran [3]: 191).

Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang berakal bukanlah orang yang semata-mata kaya, tetapi orang yang memanfaatkan siang dan malamnya untuk zikir dan pikir, sehingga tidak bertambah usia melainkan bertambah baik keimanan dan ketakwaannya, serta semakin baik pula akhlaknya, baik kepada sesama maupun kepada Allah SWT

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement