Selasa 17 Mar 2020 14:29 WIB

Covid-19 Tambah Bukti Sejarah Terancamnya Manusia oleh Virus

Virus berasal dari bahasa latin yang berarti racun.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Indira Rezkisari
Model tiga dimensi dari partikel virus SARS-CoV-2 virus atau dikenal sebagai 2019-nCoV. Virus tersebut adalah penyebab Covid-19 atau virus corona jenis baru.(EPA-EFE/NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH )
Foto: EPA-EFE/NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH
Model tiga dimensi dari partikel virus SARS-CoV-2 virus atau dikenal sebagai 2019-nCoV. Virus tersebut adalah penyebab Covid-19 atau virus corona jenis baru.(EPA-EFE/NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH )

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Susamto Somowiyarjo, memiliki pandangan sendiri soal pandemik Covid-19. Covid-19 memperpanjang bukti sejarah terancamnya peradaban manusia oleh virus.

Sejarah mencatat, kehidupan manusia terancam mulai dari serangan virus polio pada 3700 yang menyerang penduduk Mesir Kuno, sampai virus cacar yang menyerang Raja Firaun (Ramses V). Virus berulang kali turut menimbulkan penyakit yang mematikan bagi hewan dan tumbuhan.

Baca Juga

Misal, berjangkitnya virus sereh yang menghancurkan hampir seluruh tebu dan mengancam industri gula di Jawa akhir abad ke-19. Lalu, banana bunchy top virus, penyakit kuning yang membuat kelangkaan pisang ambon dan pisang raja.

Kata virus sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti racun, dan memiliki lebih dari 10 definisi. Tapi, pada era milenial, definisi yang paling diterima adalah nukleo-protein yang infeksisus.

Semua jenis virus memiliki kesamaan sifat umum, tersusun dari asam nukleat dan protein, resisten terhadap antibitika. Tapi, tidak mampu bertahan lama pada benda mati dan infeksinya tidak selalu menimbulkan gejala.

"Di era milenial, diagnosis virus berbasis gejala penyakit sudah saatnya ditinggalkan karena virus yang sama dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada inang yang berbeda," kata Susamto lewat rilis yang diterima Republika, Selasa (17/3).

Tapi, strain yang berbeda dari virus yang sama dapat menimbulkan gejala yang berbeda pada inang yang sama. Satu individu inang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis virus.

Infeksi virus tidak selalu timbulkan gejala, gejala sangat dipengaruhi faktor lingkungan dan tidak bisa diagnosis virus yang masih dalam masa inkubasi. Pengenalan gejala masih diperlukan sebagai petunjuk awal sebelum diagnosis molekular.

"Pakar virologi berhutang budi kepada George Kohler dan Cecar Milstein, penemua teknologi hibridoma untuk memproduksi antibodi monoklonal (AM) yang dapat digunakan untuk pengembangan diagnosis virus manuisa dan hewan," ujar Susamto.

Sumbangan bioteknologi terhadap diagnosis virus tercermin dengan meluasnya penggunaan PCR untuk berbagai virus. Peneliti virus dari UGM dan Universitas Utsunomia berhasil pula mengembangkan diagnosis molekular potable.

Tapi, lanjut Susamto, lebih sensitif dan spesifik yaitu loop-mediated isothermal amplification (LAMP). Hasil penerapan LAMP untuk diagnosis begomovirus di DIY, Jateng, Bali dan NTB, diterbitkan di Journal of Virological Methods.

"Saya berpendapat, yang mungkin saja memberikan gambaran bias, masih ada pakar virus Indonesia yang belum menguasai teknik dan peralatan molekular mutakhir, belum memiliki konsep serba cukup untuk menghadapi ancaman virus," kata Susamto.

Ia melihat, di era milenial pendekatan-pendekatan bioteknologi yang berpijak kepada teori sel dan biologi molekular wajib dilakukan. Tapi, harus dalam pengembangan yang spesifik, sensitif, murah, cepat dan tidak cemari lingkungan.

"Diagnosis molekular dapat membantu pakar virus dalam melepaskan diri dari kerugian mental oleh teori-teori lama yang sudah saatnya diperbarui," ujar Anggota Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement