Selasa 17 Mar 2020 14:23 WIB

Jakarta yang Seakan tak Gubris Imbauan Menjaga Jarak Sosial

Titik pemberhentian transportasi publik ramai meski ada imbuan social distancing.

Calon penumpang antre menunggu bus TransJakarta di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2020). Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencari jalan keluar dan melakukan evaluasi atas terjadinya antrian panjang di halte Transjakarta, dengan hanya mengoperasikan 13 koridor bus mulai pukul 06.00 sampai 18.00 WIB dengan jarak waktu kedatangan bus (headway) 20 menit sekali, dampak dari penerapan (Antara/Nova Wahyudi)
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Calon penumpang antre menunggu bus TransJakarta di Halte Harmoni, Jakarta Pusat, Senin (16/3/2020). Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencari jalan keluar dan melakukan evaluasi atas terjadinya antrian panjang di halte Transjakarta, dengan hanya mengoperasikan 13 koridor bus mulai pukul 06.00 sampai 18.00 WIB dengan jarak waktu kedatangan bus (headway) 20 menit sekali, dampak dari penerapan (Antara/Nova Wahyudi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho

Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah mengeluarkan imbauan agar warga DKI Jakarta menjaga jarak sosial (social distancing) selama 14 hari untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19. Namun, titik pemberhentian transportasi publik di DKI Jakarta nyatanya tetap ramai hingga hari ini.

Baca Juga

Lewat keputusan Gubernur DKI Anies Baswedan, Pemprov DKI Jakarta bahkan sempat memangkas layanan waktu dan intensitas operasional transportasi publik seperti Transjakarta, KRL, dan MRT pada Senin (16/3). Namun, yang terjadi penumpang justru menumpuk di berbagai titik. Bahkan, di sejumlah stasiun, antrean penumpang mencapai bagian luar.

Pada Selasa (17/3) Pemprov DKI membatalkan kebijakannya dan membuka kembali transportasi publik seperti sebelumnya. Berdasarkan pantauan Republika di sejumlah titik seperti Stasiun Lenteng Agung, Pasar Minggu, Tebet, Manggarai, dan Tanah Abang, stasiun tersebut tetap dipadati penumpang pada jam sibuk.

Keadaan serupa juga terjadi di sejumlah halte Transjakarta, misalnya di Halte Ragunan, Pejaten. Armada Transjakarta dari Ragunan menuju ke pusat tampak dipadati penumpang yang seperti hari-hari sebelum adanya imbauan pembatasan jarak sosial yang diumumkan Gubernur Anies Baswedan.

 

Sementara itu, transportasi publik seperti angkot juga tetap dipergunakan oleh masyarakat. Di Tanjung Barat, angkutan umum berwarna oranye masih jamak dipakai berbagai kalangan masyarakat.

 

"Rame-rame saja, Bang, kita mah. Enggak rame banget, cuman enggak ada bedanya (dari sebelum imbauan)," ujar Sarwono, seorang sopir angkot yang tengah menunggu penumpang.

Sementara itu, di stasiun MRT, kondisi pada Selasa (17/3) pagi hingga siang juga cukup ramai. Namun, keadaan ini tidak seramai pada Senin, ketika penumpang menumpuk hingga ke luar stasiun karena adanya pembatasan operasional. Kejadian ini terjadi di Stasiun MRT Fatmawati.

Dengan keadaan yang penuh, rasanya akan sulit menerapkan kewaspadaan jarak 1-1,5 meter antar manusia, seperti yang diinstruksikan Kementerian Kesehatan dalam mengantisipasi penyebaran Covid-19 atau coronavirus.

Salah seorang pengguna Transjakarta, Handayani (55 tahun), mengatakan, dirinya sejak Senin (16/3) tetap menggunakan Transjakarta. Meskipun pada Senin kemarin, ia harus menempuh empat kali pergantian armada dan antrean panjang. Padahal, biasanya ia hanya menempuh satu kali pergantian armada.

"Aku sampai kantor jam 10.55 WIB, empat kali naik busway karena ada rute yang enggak terlayani," ujar warga Cipinang, Jakarta Timur, yang bekerja di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, itu.

Sepulang dari kantornya di Kebon Jeruk, ia menaiki Transjakarta dari Jalan Panjang menunjuk ke Harmoni, lalu menggunakan Transjakarta arah Pulogadung, turun di Senen Sentral, balik ke Halte Budi Utomo, lalu berlanjut naik lagi ke Kampung Melayu.

Handayani mengaku mengetahui instruksi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan soal pembatasan sosial dan imbauan bekerja dari rumah. Namun, kantor tempatnya bekerja tak berlaku sama. Ia tetap harus berangkat kerja.

Wuryandari (25 tahun) juga tetap memilih menggunakan transportasi publik berupa KRL. Moda transportasi tersebut, menurut dia, merupakan moda paling memungkinkan bagi dirinya yang tinggal di Tangerang Selatan untuk bekerja di Kemang, Jakarta Selatan.

Ia tidak memiliki kendaraan pribadi. Sementara itu, tarif angkutan daring dinilainya tidak terjangkau.

 

"Mahal banget, berapa puluh ribu (rupiah) gue dari Tangsel ke Kemang. Kalau bolak-balik bisa cepek (seratus ribu rupah) lebih," ujarnya. Sementara itu, kantornya mewajibkan dirinya tetap bekerja. Pemberlakuan work from home di kantor tempat Wudyandari hanya dilakukan secara selang-seling.

Sementara itu, Alghifary (25 tahun) memilih menggunakan ojek daring. Ia berangkat dari rumahnya di Tebet, Jakarta Selatan, ke Sudirman, Jakarta Pusat. Jarak yang tak terlalu jauh dan biaya yang tak terlampau mahal, kata dia, membuatnya memilih transportasi tersebut di tengah kewaspadaan terhadap virus corona.

"Ribet dengan adanya pembatasan, lagi bahaya juga (adanya corona)," ujar dia.

 

 

Pengamat transportasi Budiyanto menilai baik langkah pembatasan yang sebelumnya. Namun, ia memberikan sejumlah catatan. Menurut dia, perlu diperhatikan bahwa kebijakan tersebut sebaiknya tidak tiba-tiba. Perlu ada perencanaan yang matang dan terencana.

Pembatasan transportasi dan interaksi sosial tidak dibarengi kebijakan perusahaan swasta yang mengharuskan karyawannya tetap masuk. Maka, pemberlakuan pembatasan transportasi justru bak bumerang. Karena itu, kebijakan harus dikoordinasikan sematang mungkin.

"Dikoordinasikan dengan para stakeholder yang bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan, khususnya bidang transportasi," ujar Budiyanto kepada Republika.

Eks kepala Subdit Pembinaan dan Penegakan Hukum Ditlantas Polda Metro Jaya ini juga menilai penting adanya sosialisasi atau ruang yang cukup bagi masyarakat untuk mengetahui kebijakan tersebut. Penumpukan di halte Transjakarta maupun stasin KRL dan MRT, menurut Budiyanto, karena masyarakat belum sepenuhnya paham.

"Secara real time harus disampaikan ke masyarakat. Kebijakan harus dikoordinasikan dengan pemangku kepentingan dan diharapkan terintegrasi," ujar Budiyanto.

Dengan kordinasi yang baik, Budiyanto melanjutkan, masyarakat memiliki alternatif pilihan dalam menggunakan moda transportasi yang lain. Perusahaan juga dapat lebih menekan agar pegawainya tetap bekerja dari rumah.

Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan pembatasan operasional transportasi umum. Namun, ia menyatakan akan mengevaluasi kebijakan pembatasan transportasi umum. Anies akan kembali menormalkan pengoperasian sejumlah transportasi umum di Ibu Kota.

 

"Sesuai arahan presiden terkait penelenggaraan kendaraan umum massal untuk masyarakat maka kami kembali menyelenggarakan dengan frekuensi tinggi untuk penyelenggaraan kendaraan umum di Jakarta," kata Anies dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Senin (16/3).

photo
Membersihkan Kantor dari Corona - (Republika)

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement