Ahad 15 Mar 2020 09:25 WIB

Setahun Penembakan, Muslim Selandia Masih Merasa tidak Aman

Perlakuan buruk tidak hanya dterima Muslim Selandia Baru.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Ani Nursalikah
Imam Masjid Al Noor Gamal Fouda menyambut anggota klub motor Tu Tangata di masjid tersebut di Christchurch, Selandia Baru, Ahad (15/3). Peringatan nasional setahun penembakan masjid dibatalkan karena virus corona.
Foto: AP Photo/Mark Baker
Imam Masjid Al Noor Gamal Fouda menyambut anggota klub motor Tu Tangata di masjid tersebut di Christchurch, Selandia Baru, Ahad (15/3). Peringatan nasional setahun penembakan masjid dibatalkan karena virus corona.

REPUBLIKA.CO.ID, CHRISTCHURCH -- Aliya Danzeisen bangun sebelum subuh setiap hari untuk mendengarkan berita. Hal ini ia lakukan untuk mempersiapkan anak perempuannya yang masih sekolah dari segala pelecehan yang mungkin mereka hadapi sebagai seorang Muslim.

"Kami tidak merasa lebih aman," kata Pemimpin Komunitas Muslim, Aliya Danzeisen dikutip di Straits Times, Ahad (15/3). Hal ini ia sampaikan sembari merefleksikan kejadian 12 bulan lalu, sejak serangan di masjid Christchurch. Dalam serangan itu, seorang supremasi kulit putih membunuh 51 Muslim pada shalat Jumat.

Baca Juga

Perlakuan buruk yang dialami Muslim Selandia Baru sebelum adanya serangan pada 15 Maret tahun lalu, segera mereda setelah kejadian itu. Danzeisen menambahkan, seluruh populasi Selandia Baru seperti berkumpul atau mendukung di belakang mereka.

Meski sempat mereda, perlakuan buruk itu kini kembali meningkat. Setahun setelah pembunuhan yang mengguncang negara Pasifik Selatan yang biasanya damai, kegelisahan muncul di antara komunitas Muslim di tengah kekejaman dan ancaman yang terus berlangsung.

 

Perdana Menteri Jacinda Ardern, yang menerima pujian atas penanganannya setelah pembantaian, mengakui pada Jumat (13/3) lalu, ada lebih banyak yang bisa dilakukan negara untuk mengatasi supremasi kulit putih. Salah satu pendiri Dewan Wanita Islam Selandia Baru, Anjum Rahman mengatakan ada retorika atau arus bawah kebencian yang tersembunyi.

"Kebencian ini bukan hanya kepada komunitas kami. Kami juga melihat kebencian online terhadap komunitas transgender. Saya tidak akan mengatakan kebencian itu khusus hanya kami, tetapi kami merasakannya," ujarnya.

Wanita Muslim yang mengenakan jilbab disebut menjadi sasaran. Para pelaku berpikir wanita Muslim tampak rentan dan tidak bisa melawan.

Setelah pembantaian di dua masjid di Christchurch, pemerintah Selandia Baru bergerak dengan cepat. Undang-undang senjata diperketat.

Perdana Menteri Ardern bahkan meluncurkan kampanye global untuk menghapus konten teroris dan ekstremis online. Ia juga melakukan penyelidikan yudisial untuk menyelidiki apa yang bisa dilakukan guna mencegah serangan.

Seorang mantan pengacara perusahaan di Amerika Serikat yang pindah ke Selandia Baru 14 tahun yang lalu, Danzeisen mengatakan, ia percaya dukungan yang ditunjukkan kepada Muslim segera setelah penembakan itu mengejutkan mereka yang berada dalam gerakan supremasi pinggiran.

"Akibatnya, itu membuat mereka lebih defensif dan lebih tajam. Mereka menjadi lebih keras," katanya.

Dalam ancaman baru-baru ini terhadap Dewan Wanita Islam, mereka mengatakan tahu apa yang sedang dilakukan oleh dewan, siapa anggotanya, dan siapa yang dewan temui. Bahkan mereka menyebut mengawasi dewan serta mengancam akan memberikan racun.

Danzeisen mengatakan dia merasa penting untuk memberi tahu putri-putrinya yang berusia sekolah menengah tentang insiden global sehingga mereka dapat menangani intimidasi apa pun. Ia telah melakukan hal tersebut selama bertahun-tahun.

Anak-anaknya dididik siap dan dapat menjelaskan kepada teman sebaya atau guru ketika ada masalah internasional. Mereka akan menjelaskan mengapa hal itu terjadi dalam tanggapan mereka. Danzeisen menyebut anak-anak tidak hanya mendapatkan perlakuan buruk oleh teman sebaya, tetapi juga pendidik.

Dampak penyerangan satu tahun lalu menyebar ke luar Selandia Baru. Di Masjid Al Noor, Jabara Akhter Juti mengatakan keluarganya di Bangladesh tetap sangat peduli padanya sejak dia pindah ke Christchurch tahun lalu bersama suaminya.

Imam Masjid Al Noor, Mr Gamal Fouda, mengingatkan dampak ekstremisme yang lebih luas dan tidak hanya terbatas pada umat Islam. "Ekstremisme adalah perang melawan Selandia Baru, tidak hanya melawan Muslim. Karena hari ini melawan satu kelompok, besok melawan kelompok lain. Orang-orang dari latar belakang etnis lain menjadi sasaran," katanya.

Sementara itu, Juru bicara Masjid Tony Green mengatakan ada insiden baru-baru ini di Auckland. Seorang dokter China dilecehkan di depan umum karena virus corona.

"Saya tidak tahu apakah dia lahir di Selandia Baru tetapi dia sudah lama berada di sini dan dia membuat orang-orang meneriakinya, 'kembali ke China'. "Ini masalah global, ini memengaruhi komunitas di seluruh dunia," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement