Jumat 13 Mar 2020 08:56 WIB

Paris, Salju dan Gerimis

Aku ingin engkau selalu bahagia. Sekarang, esok dan selamanya.

Paris, Salju dan Gerimis (Ilustrasi foto Menara Eiffel)
Foto:

Aku sendirian di kamar. Dari balik jendela Hotel Concorde, kutatap kota Paris di antara gemerlap cahaya dan rinai gerimis.

Pukul sembilan malam waktu Paris. Pukul 3 dini hari waktu Indonesia Barat.

Aku menelepon Khairin.

“Assalamu’alaikum, Rin.”

“Wa’alaikumsalam, Mas.”

“Alhamdulillah sudah bangun. Sudah Tahajud?”

“Ini baru selesai Tahajud. Dari tadi malam mata sulit banget terpejam. Antara bahagia dan ragu-ragu.”

“Ada apa, Rin?”

“Sudah dua pekan Khairin belum datang bulan. Kemarin sore Khairin test, sepertinya positif. Tapi Khairin ragu. Apakah iya Khairin hamil di umur 40? Khairin  sangat berharap, tapi Khairin juga takut kecewa kalau ternyata hal itu tidak benar.”

“Sejujurnya, Khairin sangat mengharapkan semoga Khairin memang betul-betul positif hamil. Ini adalah harapan Mas Irfan, harapan Khairin, dan harapan papa dan mama Mas Irfan. Harapan Abi dan Ummi Khairin juga tentunya. Khairin  menyadari, mungkin hanya kehadiran anak yang bisa menyelamatkan pernikahan kita,” suaranya terdengar parau.

“Rin, maafkan saya jika selama ini sikap dan perkataan saya tentang anak sering membuat Khairin tersinggung dan sedih. Saya berkali-kali shalat Istikharah di Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi. Memohon petunjuk terbaik dari Allah untuk menyelamatkan rumah tangga kita. Dan Allah menjawabnya saat saya berada di Paris. Bagaimana kisahnya, nanti saya ceritakan kalau saya sudah pulang ke Tanah Air.

Yang jelas sekarang saya ingin katakan  satu hal, aku akan tetap mencintaimu, dengan atau tanpa anak yang lahir dari rahimmu. Kita toh bisa mengadopsi anak-anak yatim untuk kita rawat, pelihara dan kasihi. Bahkan kalaupun kita punya anak yang engkau lahirkan, kita akan tetap mengadopsi anak-anak yatim dan  dhuafa, agar rumah kita setiap hari selalu ramai dengan celoteh dan canda anak-anak. Kita carikan guru ngaji untuk mereka, agar sedini mungkin mereka belajar agama Islam dan menjadi penghapal Quran.”

Khairin terdiam. Agak lama. Tiba-tiba terdengar suara tangis.

“Rin….”

“Mas. Betapa bahagia hati Khairin mendengarnya.”

“Aku ingin engkau selalu bahagia. Sekarang, esok dan selamanya. Kita akan menjalani hidup ini seperti keberanian seorang nakhoda melajukan biduknya di tengah lautan. Ombak dan badai pasti datang, namun ombak dan badai itulah yang mengantarkan biduk kita ke pantai.”

“Alhamdulillah. Terima kasih ya, Allah.”

“Rin, kapan terakhir kali aku bilang  ‘I love you’?”

Khairin tidak langsung menjawab.

“Kapan … ya? Mungkin tiga tahun lalu,” ujarnya perlahan.

Aku ingin engkau selalu bahagia. Sekarang, esok dan selamanya. Kita akan menjalani hidup ini seperti keberanian seorang nakhoda melajukan biduknya  di tengah lautan. Ombak dan badai pasti datang, namun ombak dan badai itulah yang mengantarkan biduk kita ke pantai.

Tiba-tiba aku merasa begitu berdosa. Tiga tahun lebih aku menyia-nyiakan istriku hanya karena kami belum dikaruniai anak. Dan itu bukan salah istriku.

“Maafkan aku, Rin. Aku janji, mulai saat ini aku akan selalu membisikkan ‘I love you” setiap jelang tidurmu.” Suaraku bergetar.

“Terima kasih, Mas.”

“Tanggal 10 April  kamu ulang tahun.”

“Oh ya, Khairin hampir lupa tanggal ulang tahun.”

“Aku ingin kita bulan madu yang kedua. Tapi kali ini rutenya Makkah-Madinah-Paris. Umroh plus Paris. Kamu mau ‘kan?”

“Terima kasih, Mas. Indah sekali.”

“Kita akan menyusuri Sungai Seine dengan kapal pesiar. Sambil  memandang kota Paris, kita bicara tentang masa depan. Tentang anak-anak kita, baik mereka yang lahir dari rahimmu maupun anak orang lain yang Allah titipkan kepada kita. Bagiku, mereka tetaplah anak-anak kita.”

Makkah-Madinah-Paris, 2015-2016.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement