Jumat 13 Mar 2020 08:56 WIB

Paris, Salju dan Gerimis

Aku ingin engkau selalu bahagia. Sekarang, esok dan selamanya.

Paris, Salju dan Gerimis (Ilustrasi foto Menara Eiffel)
Foto:

Selama umroh, aku berkali-kali melakukan shalat istikharah dan bermunajat kepada Allah. Baik di Masjidil Haram Makkah maupun Masjid Nabawi Madinah.

Selama di Makkah, kami menginap di lantai 5  Hotel  Fairmont  yang lokasinya persis di bawah jam raksasa dan punya pemandangan view Kakbah.

Aku rutin keluar kamar hotel  pada pukul 02.00 agar bisa shalat Tahajud di Multazam dan Shubuh berjamaah di  baris pertama Masjidil Haram.  Apalagi pada hari Jumat, imam shalat Shubuh adalah Syeikh Sudais yang sudah sangat dikenal di Indonesia. Suaranya sangat merdu, dan beliau seringkali menangis saat membacakan ayat-ayat sedih atau ancaman Allah terhadap orang-orang yang membangkang kepada Allah SWT.

Selama di Madinah, kami menginap di Hotel Dar  Iman Continental  yang berbatasan langsung dengan pelataran Masjid Nabawi bagian belakang. Di Masjid Nabawi, setiap malam aku pun selalu berusaha mendapatkan tempat shalat dan berdoa di Raudah, tempat yang paling makbul untuk berdoa.

Sampai di Paris, kami tidak langsung check in di hotel. Hisyam mengajak kami mengunjungi beberapa obyek wisata dan tempat belanja di Paris, antara lain toko duty free yang biasa dikunjungi wisatawan, yaitu Benlux dan Paris Look.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Paris sangat identik dengan parfum. Bahkan ada yang menyebut Paris sebagai surga parfum. Banyak yang mengatakan, parfum yang dijual di Paris lebih bagus mutunya dibandingkan yang dijual di Indonesia,” ujar Hisyam.

Paris di bulan Februari. Salju berangsur pergi, namun gerimis musim dingin masih terus-terusan membasahi kota paling romantis itu. Hisyam juga mengajak kami  menunaikan shalat Zhuhur dan Ashar jama’ qashar di Grande Mosquee de Paris, yang merupakan masjid agung kota Paris.

“Masjid dengan gaya Spanyol-Maroko ini  memiliki menara setinggi 33 meter dan merupakan masjid pertama dan terbesar di Prancis,” ujar Hisyam.

Menjelang pukul lima sore kami naik kapal pesiar mini Bateaux Mouches menyusuri Sungai Seine. “Perjalanan ini kurang lebih 1 jam 15 menit, bolak-balik hingga ke tempat kita berangkat ini. Sepanjang perjalanan, kita akan disuguhkan pemandangan yang indah mengenai kota Paris,” tutur Hisyam.

Banyak penumpang yang duduk di bangku di dalam ruangan kapal. Namun ada pula yang berdiri dari buritan perahu sambil menikmati pemandangan kota Paris.

Aku lihat Pak Jamal berdiri sendirian di pojok kapal. Aku sangat penasaran dengannya. Selama umroh, lelaki yang kutaksir usianya sekitar 60 tahun itu  sangat rajin ke Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.  Namun yang paling menarik perhatianku adalah dia sebentar-sebentar menelepon. Baik saat di bandara, hotel, masjid maupun tempat belanja. Agak panjang lebar dia bicara. Sepertinya menanyakan tentang kondisi istrinya.

Terus terang aku penasaran. Karena itu aku sengaja menghampirinya.

“Pak Jamal, mohon maaf, saya usil. Selama di Tanah Suci, saya lihat Bapak sangat sering  menelepon. Apakah ada masalah? Barangkali saya bisa bantu,” kataku hati-hati.

“Mas Irfan. Saya memang sangat sering menelepon ke rumah. Menanyakan kondisi istri saya ke anak-anak?”

“Istri Bapak kenapa?”

“Ia sakit stroke sudah 10 tahun. Selama ini saya yang merawatnya. Alhamdulillah, saya punya usaha bisnis sendiri yang cukup besar. Bisnis tersebut saya kendalikan dari rumah, sehingga saya bisa sepenuhnya mengurus istri saya yang sakit.”

“10 tahun, Pak?”

Ia mengangguk.

“Bapak tidak menikah lagi? Maaf, mungkin pertanyaan saya tidak sopan.”

“Mas Irfan, bagaimana mungkin saya menikah lagi pada saat istri saya sakit stroke dan ia sangat membutuhkan perhatian saya? Rasanya tidak adil kalau saya menikah lagi, sedangkan selama 25 tahun perkawinan kami sebelumnya ia begitu perhatian dan merawat saya maupun anak-anak dengan sangat baik,” ujarnya.

“Luar biasa, Pak. Itu sebabnya Bapak seringkali menelepon ke rumah ya?”

“Ya, Mas Irfan. Jadi, saya ini dipaksa umroh oleh anak-anak saya yang berjumlah empat orang. Apalagi si bungsu, namanya Aisyah, bulan lalu diwisuda sebagai dokter. Anak-anak memaksa saya untuk umroh. Kata mereka, sebagai hadiah buat ayah. Dan mereka, terutama si bungsu, siap menjaga mama mereka selama 24 jam selama saya melaksanakan umroh. Tapi, biar bagaimanapun, saya tetap khawatir terhadap keadaan istri saya. Makanya, setiap hari saya berkali-kali menelepon anak-anak saya untuk memastikan bahwa kondisi mama mereka baik-baik saja,” papar Pak Jamal.

Pembicaraanku dengan Pak Jamal  tadi membuat hatiku tersentak. Tiba-tiba saja aku begitu merindukan Khairin. Aku sudah berniat, begitu sampai di hotel segera mandi dan shalat Maghrib dan Isya dijamak. Setelah itu aku ingin segera menelepon Khairin.

“Mas  Irfan,  saya  izin mau ke kamar Ketua Rombongan sebab ada yang harus didiskusikan,” kata Mas Bambang, teman sekamarku.

“Ok, Mas."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement