Rabu 11 Mar 2020 16:25 WIB

Perludem: Penyederhanaan Parpol tak Harus Naikkan PT

Perludem menilai penyederhanaan parpol tak perlu naikkan ambang batas parlemen.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/3). (Republika/Mimi Kartika )
Foto: Republika/Mimi Kartika
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini usai diskusi Perspektif Indonesia di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (30/3). (Republika/Mimi Kartika )

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penyederhanaan partai bisa direalisasikan tanpa harus menaikkan ambang batas parlemen sebesar 7 persen. Perludem menilai menaikkan ambang batas parlemen justru akan berdampak negatif.

"Penyederhanaan partai juga bisa dilakukan tanpa harus meninggikan ambang batas, misalnya dengan memperkecil besaran daerah pemilihan," ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini di Jakarta, Rabu (11/3).

Baca Juga

Hal ini disampaikan Titi untuk menanggapi Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartanto dan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang sepakat mendorong menaikkan ambang batas parlemen hingga 7 persen pada pemilu berikutnya. Menurut Titi, menyederhanakan partai bisa dilakukan dengan cara lain, misalnya memperkecil daerah pemilihan.

Selain itu, bisa juga dengan menerapkan ambang batas pembentukan fraksi di parlemen. Menurut dia, cara ini bisa dilakukan tanpa harus menaikkan ambang batas parlemen dalam pemilu. Namun tetap membuat parlemen menjadi sederhana.

 

"Sehingga pengambilan keputusan di parlemen juga menjadi lebih sederhana," kata Titi.

Titi menambahkan menaikkan ambang batas parlemen justru memberikan dampak negatif yang lebih banyak. Ambang batas parlemen yang tinggi akan membuat semakin banyak suara sah yang terbuang.

Apabila semakin besar angka dan semakin banyak partai yang tidak bisa mengonversi suara yang mereka peroleh menjadi kursi di parlemen, maka hal tersebut dapat berakibat pada timbulnya ketidakpuasan politik. "Hal itu dapat membuat apatisme politik warga, atau bahkan bisa berdampak buruk mengakibatkan benturan dan konflik politik," ujar Titi.

Ambang batas yang tinggi juga dinilai bisa memicu pragmatisme politik, di mana alih-alih mereka memperkuat ideologi dan kelembagaan partai, malah disikapi dengan mengambil jalan pintas dengan melakukan politik uang yang lebih masif dengan harapan bisa merebut suara melalui praktik jual beli suara.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement