Rabu 11 Mar 2020 15:24 WIB

Kemenkes Klarifikasi Status KLB DBD Tingkat 4 di NTT

Kemenkes membantah kurangnya fasilitas jadi faktor utama kematian akibat DBD di NTT

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Dokter memeriksa perkembangan kesehatan seorang pasien terserang demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di bangsal anak RSUD TC Hillers Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (11/3/2020).(Antara/Kornelis Kaha)
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Dokter memeriksa perkembangan kesehatan seorang pasien terserang demam berdarah dengue (DBD) yang dirawat di bangsal anak RSUD TC Hillers Maumere, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (11/3/2020).(Antara/Kornelis Kaha)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengklarifikasi kejadian luar biasa (KLB) penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Banyaknya kasus membuat pemerintah daerah kabupaten ini menetapkan status KLB.

"KLB di NTT (Sikka) kalau disebut tingkat 4 sepertinya tidak ada. Jadi KLB ya KLB saja," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi saat dihubungi Republika, Rabu (11/3).

Baca Juga

Ia mengakui, jumlah tenaga yang terbatas dengan kasus yang banyak, khususnya di Sikka serta memang terlambat dirujuk menjadi penyebab kematian.

Terkait kurangnya fasilitas medis dan obat-obatan, ia membantahnya. Ia menjelaskan sebenarnya tidak ada obat atau alat medis khusus untuk menangani DBD.

 

"Yang penting tidak terlambat, monitor ketat tanda perdarahan, cairan yang cukup sehingga tidak terjadi syok," katanya.

Nadia menambahkan mulai 1 Januari 2020 hingga pekan ke-11 tahun ini atau 11 Maret 2020, kasus dan kematian akibat DBD terus terjadi.

"Total kematian 104 jiwa dan total kasus 17.781," ujar dia kepada Republika, Selasa (10/3).

Ia menambahkan, total kasus dan kematian tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ia memperinci angka kematian terbesar di NTT yaitu 32 jiwa, Jawa Barat 15 jiwa, Jawa Timur 13, Lampung 11, Jawa Tengah empat, Bengkulu tiga, Sulawesi Tenggara tiga, Sulawesi Barat dua, Kalimantan Tengah dua, Kalimantan Timur dua, Sumatra Utara dua, Kalimantan Barat dua, Kalimantan Selatan dua, Riau dua, Sulawesi Tengah dua, Sulawesi Utara dua, Jambi satu, Kepulauan Riau satu, Bangka Belitung satu, Sumatra Selatan satu, dan Nusa Tenggara Barat satu. 

Sementara itu, ia menyebutkan puluhan ribu kasus DBD terjadi di 371 kabupaten/kota di 28 provinsi melaporkan kasus DBD. Rinciannya 3.423 kasus di Lampung, NTT 2.711 kasus, Jawa Timur 1.761 kasus, Jawa Barat 1.420 kasus, Jambi 703 kasus, Jawa Tengah 648 kasus, Riau 602 kasus, Sumatra Selatan 593 kasus, DKI Jakarta 583, Nusa Tenggara Barat 558 kasus, Sumatra Barat 490 kasus, Kalimantan Selatan 425 kasus, Sulawesi Utara 424 kasus, Kalimantan Barat 412 kasus, Sumatra Utara 399 kasus, Bangka Belitung 379, Kalimantan Timur 285 kasus, Kepulauan Riau 273, Yogyakarta 272, Kalimantan Tengah 246, Bengkulu 205, Sulawesi Tenggara 188,  Aceh 179, Sulawesi Barat 177, Banten 128, Sulawesi Tengah 108, Sulawesi Selatan 98, Maluku Utara 91.

"Bahkan, kabupaten yang menetapkan kejadian luar biasa (KLB) adalah Kabupaten Sikka dan Kabupaten Belitung," katanya.

Untuk menangani kasus DBD, Nadia mengaku pihaknya telah menerapkan mesin fogging, raket nyamuk, insektisida, larvasida, dan repellent nyamuk. Selain itu, ia menambahkan, pihaknya melakukan pendampingan dan evaluasi fogging. Tak hanya itu, ia menyebutkan survei dan pengendalian vektor juga telah dilakukan.  Kemudian ia menambahkan, Kemenkes juga memantau kasus dan menganalisa data di posko DBD.

"Khusus Kabupaten Sikka juga ada penambahan tenaga kesehatan, baik dari kabupaten lain atau dari TNI dan tentunya TNI yang ada di Kabupaten Sikka," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement