Rabu 11 Mar 2020 06:29 WIB

Dia Menyentuh Pipi Orang-Orang

Bolehkah kusentuh pipimu?

Dia Menyentuh Pipi Orang-Orang (ilustrasi cerpen)
Foto: Rendra Purnama
Dia Menyentuh Pipi Orang-Orang (ilustrasi cerpen)

REPUBLIKA.CO.ID, "Bolehkah kusentuh pipimu?"

Lelaki itu mengajukan pertanyaan itu dengan dua tangan yang sudah terangkat setinggi bahu perempuan di hadapannya. Waktu seperti terhenti saat ia menunggu jawaban dari si perempuan, sebelum lekas-lekas ia turunkan tangannya.

"Maaf, saya tak bermaksud...," katanya.

Matanya segera berpaling ke bawah, mondar-mandir tak menentu arah.

Suaranya saat menyampaikan pertanyaan tadi rupanya cukup nyaring. Orang-orang di dekat mereka yang mendengar pertanyaan lelaki itu, untuk beberapa saat menoleh, mengawasi gerak-gerik si lelaki bagaikan polisi yang siaga untuk bertindak.

Mereka baru kembali meneruskan urusan mereka masing-masing ketika melihat perempuan di hadapannya justru memungut kedua tangan lelaki itu dengan hangat, menuntunnya menyentuh pipinya. "Tentu saja boleh," jawab perempuan itu seraya melekatkan kedua telapak tangan si lelaki ke pipinya.

Pertemuan antara lelaki dan perempuan itu bukanlah yang pertama kali. Sebulan terakhir sebelum mereka kencan di kafe tertutup itu, mereka setidaknya sudah bertemu empat kali. Lelaki itu adalah dosen filsafat di Universitas A untuk program pascasarjana, dan perempuan itu adalah mahasiswanya. Di luar pertemuan di kelas, keduanya beberapa kali berpapasan di lorong kelas dan beradu pandang saat makan di kantin kampus. Pada perjumpaan kesekian, perempuan itu memberanikan diri mendekati lelaki itu lebih dulu.

"Kau bermaksud mengajakku kencan?"

Tidak ada jawaban dari perempuan itu, tapi gestur yang ditunjukkannya, terutama melalui alisnya yang terangkat sebelah, memberi jawaban yang cukup asertif bagi si lelaki. Dari sanalah hubungan mereka berawal.

Sesudah kencan singkat di kafe itu, si lelaki mengantar si perempuan pulang sampai di depan rumahnya. Dalam keterpisahan selepas melambaikan tangan, keduanya saling memikirkan satu sama lain. Di kamarnya, si perempuan jantungnya berdegup kencang, sulit percaya bahwa dirinya baru saja mengencani dosennya. Sementara itu, dalam keadaan menyetir sendirian, lelaki itu masih terbayang-bayang wajah si perempuan; tak yakin ia apakah perempuan yang barusan dikencaninya benar-benar nyata adanya.

Lelaki itu punya kebiasaan aneh: selalu ingin menyentuh pipi orang-orang yang baru ditemuinya. Kebiasaan itu muncul sejak ia masih mahasiswa magister tingkat akhir.

Ia pernah ditinju oleh pacar teman sekelasnya yang ia sentuh pipinya. Setamat kuliah, kebiasaan itu bukannya hilang, malah semakin parah ketika ia mulai mengajar. Di am pus, ketika seorang mahasiswa mendatanginya dan memuji tulisannya yang terbit di surat kabar nasional, ia langsung menyentuh pipi mahasiswa itu, dan mahasiswa itu langsung lari tunggang-langgang, mengira ia seorang homoseksual.

"Jika kau sedang bersama seseorang yang kau kenal, mintalah tolong padanya untuk memastikan keberadaan orang itu tanpa harus menyentuh pipinya," demikian pesan istrinya.

Pesan istrinya itu dipahaminya dengan baik. Setiap kali ada orang baru yang datang padanya, lelaki itu akan bertanya pada orang yang berada di dekatnya yang sudah ia kenal, Apakah kau bisa melihat dia? Kenalan-kenalannya akan tertawa sebelum dengan senang hati membantunya.

Mereka sudah tahu belaka penyakit apa yang dideritanya. Sedangkan, kepada orang baru yang muncul di hadapannya, ia akan memberi penjelasan untuk menghindari mereka tersinggung.

"Sampai sekarang, aku masih sering melihat hal-hal yang tidak ada di sini. Kuharap Anda mengerti."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement