Selasa 10 Mar 2020 08:46 WIB

Ulama India dan Bangunan Intelektual Kita

Ulama India berperan dalam pembangunan peradaban Islam.

Nashih Nasrullah()
Nashih Nasrullah()

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah*

 “Sesungguhnya Allah SWT akan membangkitkan bagi umat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan memperbarui (tajdid) agama.”

(HR Dawud dari Abu Hurairah RA)

Insiden kerusuhan yang melibatkan Hindu ekstrem terhadap Muslim India tentu tak bisa dibenarkan nalar apa pun, baik nalar sosial, hukum, maupun agama itu sendiri. Kita tentu menyesalkan kejadian yang menewaskan lebih dari 30 orang tersebut. Padahal, India mempunyai kontribusi besar dalam membangun peradaban Islam. Sejarah mencatat umat Islam di India turut berjasa membangun ilmu pengetahuan Islam selama berabad-abad.

Tulisan ini hanya mencoba menitikberatkan pada peran para ulama asal India. Ada sebuah kecenderungan setelah keruntuhan dinasti-dinasti Islam di Jazirah Arab pada abad pertengahan, yakni fakta bahwa justru Islam bangkit di kawasan-kawasan Asia ketika itu, salah satunya di Anak Benua India.

Kebangkitan Islam juga terefleksikan dengan gamblang saat melihat Islam berjaya di nusatara selama berabad-abad. Tak sedikit cendekiawan masa sekarang bahkan menganggap kejayaan itu kembali terukir, terutama di Asia Tenggara, Malaysia, dan Indonesia kerap disebut-sebut sebagai pionirnya. Analisis itu memang cukup beralasan sebab pusat-pusat peradaban Islam yang dahulu pernah berjaya kini tengah berjuang keluar dari konflik tak berkesudahan. 

Inilah mengapa Sayid Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadawi dalam Rijal al-Fikri wa ad-Da’wah fi al-Islam hanya mengulas dua cendekiawan terkemuka asal India, yaitu Syah Ahmad as-Sirhindi dan Syah Waliyullah ad-Dahlawi dalam bukunya itu.

Dalam jilid kedua dari kitabnya itu, An-Nadawi secara khusus mengulas tentang kiprah kedua sosok tersebut. Ia pun mengategorikan kedua nama itu dalam deretan mujadid menyusul para pembaru yang memang berasal dari Jazirah Arab seperti Umar bin Abd al-Aziz, Hasan al-Bashri, al-Ghazali, hingga Ibnu Taimiyyah.

Penghargaan yang diberikan oleh an-Nadawi itu tak berlebihan sebetulnya. Umat Islam di India ketika itu menghadapi permasalahan yang sangat kompleks; praktik keagamaan yang banyak menyimpang dan tekanan dari kolonial Inggris pada saat yang bersamaan. Pembaruan yang ditawarkan oleh keduanya menjadi titik tolak dari perjuangan umat Islam melawan stagnasi secara internal dan rongrongan pihak luar.

Apalagi, bila melihat sumbangsih intelektual yang mereka suguhkan. Ad-Dahlawi, misalnya, menjadi rujukan sanad hadis dari para ulama yang berasal dari India. Bahkan, menurut an-Nadawi, Rasyid Ridha, tokoh pembaru Mesir, menegaskan peranan ulama India, seperti ad-Dahlawi dan pengikutnya, sangat besar dan signifikan dalam menyelamatkan kajian hadis dari kepunahan di dunia Timur.

Lalu, lahirlah para revivalis dari lingkungan terdekat, seperti Syah Abdul Aziz, Sayid Ahmad Syahid, Haji Syariattullah, Titu Mir sebagai pejuang pembaru Islam sepeniggal Shah Waliyullah. Muncul lembaga pendidikan yang mencoba mengembalikan praktik keagamaan Islam dalam koridor yang syar'i, yaitu Madrasah Deoband. Lembaga yang berdiri pada pada 30 Mei 1867 ini banyak mencetak ulama tradisionalis terkemuka di India dan Pakistan.

Gairah intelektualitas Muslim India tak terhenti pada level ini saja. Dorongan untuk menyandingkan Islam dengan modernisme tak terelakkan. Sayid Ahmad Khan (1817-1898 M) didaulat sebagai peletak dasar modernisme Islam. Sosok yang merupakan keturunan Rasulullah SAW ini berpendapat, kemajuan Islam bisa diraih melalui interaksi dan komunikasi peradaban dengan Barat.

Ia mendirikan Lembaga Pendidikan Mohammaden Anglo-Oriental College (MAOC), yang diubah menjadi Universitas Islam Alighar. Dari lembaga ini lahir para cendekiawan seperti Iqbal dan Ali Jina.

Kebangkitan intelektual di India tersebut menginspirasi banyak cendekiawan Muslim di dunia Islam. Ada kesamaan latar belakang dan tujuan mulia di sana. Sebagian besar wilayah Islam tengah diduduki oleh penjajah yang memunculkan gesekan keras peradaban Barat dan Timur.

Umat Islam dituntut bangkit tanpa menghilangkan identitasnya. Jamaluddin al-Afghani di Mesir bahkan mengaku banyak mendapatkan semangat dan motivasi dari geliat pembaruan di India. Pengaruh yang sama juga terjadi di Indonesia meski tidak bersinggungan langsung dengan tokoh-tokoh itu. Gagasan dan pemikiran mereka mengilhami tokoh pergerakan di Tanah Air melalui karya mereka yang masih terdokumentasikan dengan apik.

Dalam The Magnificent Seven; Ulama-Ulama Inspirator Zaman, KH Malik Madani mengungkapkan, misalnya, KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), menukilkan secara utuh argumentasi yang dikemukan oleh Syah Waliyyuah ad-Dahlawi dalam Hujjatullah al-Balighah tentang pentingnya umat Islam berpegang pada keempat mazhab itu.

Dalam banyak karyanya, M Hasbi as-Shiddiqie juga banyak mengutip pendapat Imam ad-Dahlawi. Hal ini mempertegas pengaruh intelektualitas Muslim Anak Benua India terhadap dunia Islam, tak terkecuali nusantara. Upaya melestarikan tradisi keilmuan Islam tersebut tentu adalah bagian dari tajdid yang selalu berkesinambungan dan dinamis.

 

*) penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement