Senin 09 Mar 2020 02:20 WIB

Kearifan Lokal Kampung Tajur Ikon Wisata Adat Purwakarta

Wisata edukatif Kampung Tajur ditutup sementara pascaramainya virus Corona.

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Muhammad Fakhruddin
Suasana Kampung Tajur, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Bojong, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (7/3).
Foto: Zuli Istiqomah/Republika
Suasana Kampung Tajur, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Bojong, Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (7/3).

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Zuli Istiqomah/Jurnalis Republika

 

Beranjak 33 kilometer dari pusat kantor pemerintahan Kabupaten Purwakarta kita bisa melihat sisi lain dari kemajuan kota. Terletak di Desa Pasanggarahan, Kecamatan Bojong ada satu kampung unik yang masih kental dengan kearifan lokal. Kampung Tajur namanya. 

Berada di Kampung Tajur membawa bernostalgia dengan kekhasan masyarakat adat Sunda. Berada di atas bukit, nuansa alam yang damai dan tenang membuat lupa dengan pesatnya kemajuan zaman. Udara bersih nan sejuk membuat nyaman dan betah. Banyaknya pepohonan dengan suara aliran air menjadikan suasana khas perkampungan kian terasa. Kampung Tajur menjadi ikon wisata kampung adat di Purwakarta.

Warga Kampung Tajur tinggal di rumah-rumah panggung, rumah khas masyarakat Sunda sejak dulu. Rumah di kampung ini dibuat dari kayu dan anyaman bambu. Untuk mendukung wisata, rumah-rumaH dicat dengan warna serupa yakni putih dan hitam lengkap dengan genteng tanah liat.

Salah seorang pemandu lokal yang juga pengurus Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Kampung Tajur, Maemunah (39) menceritakan desa adat Pasanggrahan sudah ada sejak 1982. Desa ini tetap mempertahankan kearifan lokal masyarakatnya. Hingga tahun 2005, Pemerintah Kabupaten Purwakarta mulai melirik wisata berbasis kearifan lokal. Kampung Tajur pun dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata berbasis desa adat Sunda.

Menurutnya pada awal pengembangan, masyarakat diberi bantuan untuk membuat rumah-rumah lebih nyaman. Tentunya tidak menghilangkan konsep rumah panggung yang memang sedari dulu tidak berubah.

“Sebelumnya karena memang benar-benar masih ikut tradisi zaman dulu, nggak ada kamar mandi di dalam. Warga biasa pakai pancuran saja. Tapi akhirnya dengan dikembangkan wisata ini jadi warga bikin kamar mandi di dalam. Supaya bersih juga kan dan bikin nyaman wisatawan,” tuturnya kepada Republika, Sabtu (7/3).

Kampung Tajur, kata dia, menjadi wisata bimbingan dan pendidikan. Pengunjung yang datang tidak hanya sekadar menikmati dan berfoto-foto di Kampung Tajur. Justru pengunjung diajak merasakan hidup di sebuah kampung yang masih asri dan menjunjung adat.

“Konsepnya si tamu itu bisa hidup bersama-sama dengan masyarakat sini. Jadi kita memang kegiatan seperti orangtua asuh. Konsepnya si tamu itu tinggal dan ikut bersama-sama yang punya rumah. Jadi homestay disini memang tinggal bersama yang punya rumah bukan cuma penginapan saja,” kata wanita yang akrab disapa Mumun tersebut.

Mumun mengatakan wisata di Kampung Tajur yang dikenal wisata lembur kahuripan memang lebih menekankan paket penginapan untuk mengenal kampung adat Sunda. Tamu yang menginap di rumah warga akan ikut kegiatan si pemilik rumah. Sepertj layaknya keluarga sendiri, mereka makan bersama, ikut bertani ke sawah atau mengangon hewan ternak sesuai dengan pekerjaan si pemilik rumah.

Pengunjung diajak treking menaiki bukit di sekitar kampung. Membuat kerajinan tangan khas masyarakat dari bambu atau anyaman plastik bungkus makanan. Hingga bisa juga membuat gula aren sendiri seperti kegiatan sehari-hari warga. “Diajarin juga bikin rengginang, wajik. Makanan khas Sunda,” ucapnya.

Menurutnya kebanyakan pengunjung memang murid-murid SMP dan SMA. Karena konsep wisata yang diunggulkan adalah wisata edukasi. Bukan hanya pelajar asal Purwakarta yang datang. Justru kebanyakan pelajar yang ikut wisata edukatif ini berasal dari kota-kota lain seperti Jakarta hingga Sumatera.

Sekolah dari kota-kota besar ini menginginkan siswanya kembali pada tradisi masyarakat asli Indonesia. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan zaman, banyak generasi muda yang terkontaminasi budaya barat dan melupakan tradisi asli masyarakat tanah air. 

Berada di atas perbukitan, tambahnya, dengan suhu 17-25 derajat, sinyal internet memang tergolong sulit. Masyarakat juga harus menggunakan parabola untuk mendapat siaran televisi. Namun itulah yang ditonjolkan. Pelajar yang ikut wisata edukatif ini dalam beberapa hari lupa dengan gadget dan peralatan elektronik lainnya. 

Tapi bukannya bosan, pengunjung justru sangat menikmati. Suasana yang sejuk dengan semilir angin dan suara ayam serta burung membuat kita nyaman dan terasa kembali ke alam. Pengunjung pun dikatakannya bisa lebih akrab dengan masyarakat sekitar, aktif mengobrol, dan asyik mengikuti kegiatan sehari-hari orangtua asuhnya.

Ia menyebutkan saat ini ada 120 rumah warga yang ada di Kampung Tajur. 43 rumah di antaranya dijadikan homestay. Masing-masing rumah menyediakan dua kamar untuk digunakan tamu dengan maksimal enam orang. Para pemilik rumah juga menjadi pemandu lokal untuk para tamu.

Menurutnya wisata yang dikembangkan pemerintah juga berbasis pada pemberdayaan masyarakat sekitar. Selain berprofesi kebanyakan sebagai buruh tani, masyarakat juga bisa mendapat penghasilan tambahan dari pariwisata ini. Untuk penginapan, biasanya harganya adalah Rp 250 ribu permalam.

“Biasanya ramai itu bulan Oktober sampai Desember. Itu sampai ngantri gantian sekolah yang mau wisata edukasi ke sini,” ujarnya.

Ia mengatakan wisata ini pun terpaksa ditutup sementara waktu pascaramainya virus Corona yang juga sudah masuk di Indonesia. Dengan alasan kesehatan, wisata edukatif ini ditutup sementara. “Sekarang lagi rame Corona. Di sini kita koordinasi dengan dinas pariwisata dan kesehatan jadinya di-pending dulu. Yang sudah daftar di-cancel dulu,” ujarnya.

Ia menyebutkan seharusnya pekan ini ada kunjungan rombongan wisatawan pelajar dari Kota Depok. Namun akhirnya kunjungan ini ditunda terlebih dahulu dengan alasan kesehatan. Penutupan ini pun juga belum diketahuinya sampai kapan. Warga menunggu instruksi lanjuran dari Dinas Pariwisata.

 

Wisatawan yang ingin merasakan sensasi hidup di desa yang masih kental kearifan lokal bisa memghubungi pemandu lokal. Biasanya wisatawan diminta survei terlebih dahulu kemudian memilih paket yang akan diikuti selama menginap.

 

Ia menambahkan masyarakat di Kampung Tajur memang masih mengedepankan tradisi lokal. Selain masih berprofesi sebagai petani, ibu-ibunya juga masih berkegiatan menumbuk padi bersama. Hingga biasanya pada bulan Rajab, warga sering berkumpul mengaji bersama di satu masjid yang ada di kampung.

 

“Jadi kami di sini juga masih benar-benar azas kekeluargaan yang mungkin kalau di kota banyaknya sudah sendiri-sendiri,” kata dia.

 

Kampung Tajur ini menjadi implementasi Pemkab Purwakarta melalui Dinas Pemuda Olahraga Pariwisata dan Kebudayaan (Disporaparbud) atas instruksi Kementerian Pariwisata terkait desa wisata sebagai destinasi wisata. Kepala Bidang Pariwisata pada Disporaparbud Purwakarta, Irfan Suryana mengatakan desa wisata di Purwakarta baru ada satu titik, yakni di Kampung Tajur.

 

Menurutnya, pengunjung ke Kampung Tajur setiap minggunya tak kurang dari 50 orang atau untuk rombongan tak kurang dari 200 orang. Destinasi ini memang memberikan sensasi berbeda yang diburu wisatawan

 

"Yang datang ada dari wilayah – wilayah perkotaan yang memang jenuh datang ke mall sehingga beralih ke desa wisata," kata Irfan.

 

Sementara, terkait kegiatan yang ada di Kampung Tajur, Irfan menyebut banyak edukasi yang dilakukan, mulai membajak sawah, menanam padi, menangkap ikan, hingga membuat gula aren, atau keseharian warga pribumi di desa setempat.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement